Sejak dulu impian Zuddin adalah memondokkan anaknya ke Kediri, di Pondok Pesantren naungan KH. Qaafi Zaidan. Pondok Pesantren Hidayatu Tahfidzul Qur’an (PPHTQ) Lirboyo.
“Aku berharap, kelak putriku nanti akan menjadi juru bicara dalam Bahtsul Masail. Berpendapat menyuarakan jawabannya tentang problematika zaman dengan Fikih Madzhab Syafi’i. Dia akan handal membedakan mana kitab Syafii dan Wahabi. Serta akan mengetahui semua Mushannif Syafi’iyah. Bahkan mungkin, dia mendebat Pentasheh lantaran kecakapannya itu di Bahtsul Masail Se-Wilayah Kediri.”
Istrinya, Noor Ishlah, mengaminkan saja perkataan suaminya, sebab suaminyalah yang paling tahu tentang lembaga kepesantrenan di Jawa hingga Madura. Dia hanya mesantren sampai Aliyah, selepas itu diboyong ke rumah untuk membantu Ibunya menjaga cabang toko milik saudara.
“Aku menyaksikannya sendiri saat ikut ngaji Pasaran ketika di Kediri. Di mana aku mendapat kesempatan menyaksikan Acara Hari Santri Nasional di Kabupaten. Bisa dibilang aku adalah penonton ilegal. Aku ikut rekanku yang saat itu seorang Multimedia Pondok yang meliput berjalannya acara. Dan salah satu acara yang aku tonton adalah Bahtsul Masail Putri Se-Jawa. Aku sangat tercengang dengan santriwati yang jawabannya menukik tapi rasional, tegas tapi berpedoman, dan kaku tapi bisa dipakai oleh zaman. Saat kutanya, kata temanku datangnya dari PPMTQ asuhan KH. Qaafi Zaidan. Saat itulah, ketakjubanku berubah menjadi harapan. Yang mana aku ingin salah satu keturunanku seperti santriwati yang berwawasan dan cerdas itu. Sangat membanggakan!” katanya saat bercerita pada seorang rekan dagang.
Dan putri kesayangannya, Elfah Iriana Muhammad yang telah beranjak remaja itu setiap hari selalu didongengi Ayahnya perihal sebuah Lembaga Kepesantrenan yang ketat dan sangat salafi, di tanah Jawa Timur bernama Kota Kediri. Lembaga Kepesantrenan yang masyhur dan terbesar di indonesia, serta diakui pesantren salaf terbaik di jawa, di Desa Lirboyo.
“Ada pula rekan Ayah, namanya Wirda, seorang tahfidz, mesantren di PPTQ. Kabarnya sekarang anaknya juga di pesantrenkan di PPHTQ. Putrinya itu sering mewakili pesantrennya menghadiri acara nasional sebagai Qari.”
Tentunya Elfah terkesan dengan cerita Ayahnya. Membuatnya merasakan euforia menakjubkan yang menjadikannya semangat dan tak sabar untuk segera berangkat ke Kediri. Dia telah menyiapkan segala sesuatunya mulai dari tekun mempelajari kitab-kitab yang akan dijadikan tes penentu kelas dan menghafal nadzham untuk tes serupa. Dia ingin masuk ke kelas 1 Tsanawiyah.
Namun meski manusia bisa berencana dengan sematang-matangnya, segalanya bisa menjadi puing saja ketika garis Tuhan berkehendak lain. Kala itu 2020, masa di mana dunia diteror oleh virus bernama korona, yang akarnya di Wuhan lalu merajalela hingga Indonesia. Seluruh sesepuh dan pengasuh pesantren Lirboyo atas wewenang dari pemerintah daerah, kemudian mengeluarkan maklumat untuk memulangkan santri yang baru 6 bulan di sana semenjak semester tahun ajaran baru dimulai. Elfah pun turut pula dipulangkan. 30.000 santri dari berbagai penjuru Nusantara, dengan 300 bus yang tak henti beroperasi siang dan malam memulangkan santriwan-santriwati ke kampung halamannya, mulai dari Sabang sampai Merauke.
3 bulan, 4 bulan, hingga hampir setahun, tidak mungkin Zuddin memaksakan diri mengantar Elfah ke Lirboyo kembali. Selain kondisi ekonominya yang morat-marit, prosedur di sana ketat setelah adanya PSBB. Tentunya rumit jika Elfah di sana. Dia dan istrinya pun tak henti-hentinya kahwatir akan keadaan sekarang. Mana pula dia tega memberangkatkan Elfah kembali ke tanah yang jauhnya puluhan kilo meter dari tempatnya tinggal.
6 bulan di sana, Elfah pun tentunya baru beradaptasi dan belajar menyesuaikan diri pada lingkungan. Dia juga masih belajar berteman dengan orang-orang yang berasal dari daerah berbeda, belum terlalu fokus pada pelajaran atau sesuatu yang diminati, hanya sekedar mengikuti kegiatan dan belajar semata. Elfah belum menemukan passionnya di pesantren, sebagaimana yang diharapkan Zuddin agar Elfah tertarik pada pendalaman Kitab Kuning dan Musyawarah mingguan atau bulanan supaya dia pun berminat pada Bahtsul Masail.
Kini 6 bulan di rumah Elfah seakan kehilangan semangat belajar. Dia melihat putrinya seperti kura-kura tanpa cangkang yang kehilangan arah tujuan.
“Mesantren di mana saja, Kang. Yang penting diberi kemampuan menuntut ilmu,” Noor Ishlah berpendapat. Sedangkan istrinya itu pun pasti paham dan tahu bahwa tak mungkin membiarkan Elfah berlama-lama di rumah. Keputusan harus segera diambil sebab jika tidak putrinya akan tertinggal ajaran tahun ini. Hal itu tidak dia inginkan. Terlebih putrinya seperti sudah memasrahkan diri mengikuti kemana saja kedua orang tunya memberi jalan untuknya.
Maka berangkatlah Zuddin dan keluarganya itu ke Babakan Ciwaringin. Mendaftarkan Elfah ke pesantren Ibunya dahulu, Pondok Pesantren Kebon Jati Al-Ihsany, yang diasuh oleh seorang perempuan paruh baya berpengaruh bernama Ny. Hj. Amaliyah Varia Aini.
Meski di lembaga kepesantrenan dan tempat yang jelas-jelas berbeda, Zuddin tetap berharap pondokan tempat istrinya mesantren dulu memiliki kurikulum yang sama dengan yang di PPHTQ. Tak bermasalah baginya meski pesantren tersebut dipimpin oleh seorang perempuan, sebab hal itu sudah banyak terjadi di jaman sekarang mengingat kiprah perempuan sudah setara dengan laki-laki. Sebagaimana yang ia saksikan dalam bahtsul masail, tentang santriwati yang mungkin kecerdasannya sejajar dengan santri putra. Karenanya, sembari menggandeng harapannya tak bosan dia menanyakan perkembangan putrinya saat anak sulungnya itu menelepon di setiap hari jum’at.
“Sudah khatamkah Imrithinya, Nak?”
“Ayah, di sini sangat sulit mengkhatamkan Imrithy.”
“Mengapa?”
“Waaah, pasti fokus Elfah jadi bercabang, ya antara sekolah dan madrasah?”
“Hmmm, kalau di PPHTQ, Elfah akan fokus pada madrasah saja. Fokus belajar agama.”
“Tidak papa, Ayah. Elfah tidak terbebani. Yang penting Elfah bisa mengikuti semuanya meskipun tidak bisa memegang penuh salah satunya.”
Lain waktu, “Ayah dengar ada Bahtsul Masail di adakan di pondokmu? Apa Elfah ikut?”
“Ayah, Bahtsul Masail itu khusus untuk anak-anak Ma’had Aly. Santri senior yang sudah kuliah.”
Zuddin terdiam. Berpikir cukup lama.
Semenjak itu dia sadar bahwa tak perlu berharap lagi pada pesantren putrinya kini. Dari mulai provinsi dan kota pun jelas banyak perbedaan antara Kediri dan Cirebon. Sudah jelas bahwa Lirboyo dan Babakan memiliki banyak perbedaan baik dari kualitas maupun kuantitas pembelajaran. Yang satu berlandaskan salafiyah klasik dan yang satu sudah semi modern.
Pondok putrinya sekarang berada pada toleransi lembaga, yakni kepesantrenan dan budaya nasional. Maka tak heran jika banyak mengadopsi sistem globalisasi dan modernitas zaman milenial. Sedangkan dia bukanlah orang yang bisa berada dalam kondisi tersebut. Dia adalah orang yang berpegang pada kemurnian kesalafiyahan pesantren. Dan pasti putrinya berada dalam kondisi yang sulit sebab tidak menekuni secara mendalam kesalafiyahan tersebut.
Cukup lama Zuddin menimbang bahwa dia harus menjadikan putrinya itu cerdik cendekia di bidang Kitab Kuning dan Duta Bahtsul Masail. Maka, lagi-lagi dia menentukan tekad untuk putrinya agar setelah kelulusan Tsanawiyah nanti Elfah akan diberangkatkan ke Kediri. Dia sudah membicarakan itu dengan istrinya agar Elfah tak perlu melanjutkan sekolah formal.
“Elfah, kau akan berangkat ke PPHTQ kembali, Nak. Nanti di sana Elfah akan masuk 1 Aliyah, mulai mendalami Alfiyah Ibnu Malik, Baijuri dan mengikuti Musyawarah persemester yang diadakan se-Pondok Pesantren Lirboyo,” ujarnya senang saat menyambangi putrinya. 3 bulan sebelum kelulusan.
Tapi Elfah terdiam. Menatap ayahnya cukup lama.
“Tapi Elfah tidak mau, Ayah…” ucapnya pelan. Berhati-hati agar tak mematahkan harapan ayahnya.
“Elfah ingin di sini saja. Banyak teman-teman Elfah di sini. Guru-guru Elfah juga baik. Elfah tidak mau lepas dari cerita-cerita dan nasihat Ibu Nyai. Elfah ingin jadi Abdi Dalem di sana bersama teman Elfah.”
Berbalik kini Zuddin yang terdiam mendengar ucapan anaknya.
“Elfah sedang bingung. Elfah sedang menikmati kebersamaan dengan teman-teman Elfah dan mengikatnya dengan kata solidaritas. Karena itu Elfah terjebak dalam kenyamanan tersebut. Padahal belum tentu pertemanan itu terus membersamai Elfah dalam menuntut ilmu…”
“Ayah… Elfah ingin di sini saja. Elfah ingin masuk Osis di Madrasah Aliyah di sini,” terang putrinya mantap. Yang justru menjadi beban pikiran bagi Zuddin.
Sepulang dari mengunjungi putrinya, Zuddin berembuk dengan istrinya.
“Bagaimana, Bu?”
Noor Ishlah tak bisa berucap sepatah katapun. Sementara di lubuk hatinya yang paling dalam, dia tak tega mengirim putrinya jauh ke provinsi lain dalam keadaan begini. Apalagi melihat binar putrinya yang terlihat sangat nyaman di pondokan sekarang, dia sangat tak ingin memutus binar kebahagiaan itu. Karena dia sendiri mengalami, mesantren di Kebon Jati banyak kenangan dan kejadian yang membekas serta berkesan dalam ingatan. Akan sulit memisahkan diri dari keadaan semacam itu.
Namun Noor Ishlah tak juga membujuk suaminya atau menentang keputusan suaminya. Dia bertekad tak akan bersuara. Biarlah itu merupakan negosiasi antara seorang putri dan ayahnya.
Hanya saja Noor Ishlah justru kaget saat suaminya itu membiarkan putrinya tetap di Kebon Jati.
“Mungkin setelah lulus Aliyah dia mau diberangkatkan ke PPHTQ-nya.”
Meski begitu harapan agar pembelajaran yang diberikan serupa dengan PPHTQ tak juga lepas dari pantauan Zuddin. Terlebih terdengar kabar bahwa diadakan Bahtsul Masail bagi siswa-siswi Aliyah di Kabupaten, dan Elfah menjadi salah satu peserta yang mengikuti Bahtsul Masail tersebut.
“Bagaimana Bahtsul Masailnya, nak?” tanya Zuddin bersemangat di ujung telepon.
“Ayah, ternyata zaman sekarang sudah tidak relevan berbahtsul masail dengan kitab-kitab klasik. Tapi, tetap saja hal itu tidak bisa dihilangkan sebab Bahtsul Masail adalah identitas NU,” jawab putrinya. Membuat Zuddin tercengang sebab tak menyangka putrinya akan berkata sejauh itu.
“Betul, Nak. Karena Bahtsul Masail itu identitas NU yang tidak meninggalkan ulama klasik, maka setiap warga NU harus bertekad melestarikannya dengan mempelajari kitab-kitab ulama terdahulu,” sahut Zuddin bijak.
Di lain waktu putrinya justru mencurahkan perasaan senang dan bangganya bisa melanjutkan mondok di Kebon Jati.
“Guru-guru Elfah dan Ustadzah yang mengajar Elfah bilang bahwa ada satu hal menarik dari Kebon Jati ini, yaitu tentang kesetaraan gendernya, Ayah.”
Zuddin mengiyakan saja. Dan berpesan agar Elfah tetap fokus belajar kitab kuning di sela-sela sekolah formal dan kegiatan organisasinya.
Dia mencoba memaklumi karena pernah dia dengar sebelumnya bahwa pesantren kebon Jati memiliki sejarah panjang yang berkaitan dengan pemberdayaan perempuan sehingga tak heran jika kemudian perjalanan itu menjadikannya sebagai tempat terpilih dalam sebuah acara Pertemuan Para Ulama Perempuan Indonesia (P4I). Seharusnya dia berbangga, tapi dia masih terbayang dengan bahtsul masail, kitab kuning, dan madzhab syafi’iyah.
“Setelah lulus nanti, Elfah ingin kemana?” tanya Zuddin pada satu kesempatan saat kunjungan bulanan.
“Elfah ingin lanjut ke Ma’had Aly di sini saja, Ayah…” jawab putrinya mantap. Tak begitu memperhatikan raut Zuddin yang menampakkan sedikit kekecewaan.
Zuddin menghela nafas. Dia tidak lagi bisa memaksa. Anaknya jelas sudah punya jalan dan tujuan hidup sendiri.
“Baiklah…” jawab Zuddin pasrah. Kepasrahan yang hanya bisa didengar istrinya saat berbincang berdua di kamar.
“Elfah pernah bercerita kalau dia mengamati santriwati di sana. Mereka setelah mesantren biasanya mayoritasnya langsung menikah, sedangkan Elfah tidak mau,” ujar istrinya.
Zuddin terhenyak. “Bagaimana bocah seumur Elfah bisa berpikiran demikian, Bu?”
Noor Ishlah hanya menggeleng pelan.
Namun rupanya benar saja jika Elfah telah bertekad dengan jalannya di Kebon Jati. Elfah sering menjadi Panitia dalam acara seminar-seminar. Bahkan Elfah juga sering diundang menjadi pembicara. Saat ada kunjungan, Elfah yang dipercaya memandu tamu. Bahkan bakat menulisnya pun tengah diasahnya dengan serius. Beberapa tulisannya berhasil di muat entah di Website Pesantren maupun Umum. Bahkan lantaran prestasinya itu Elfah sering diajak Ning-nya menghadiri acara-acara besar atau pertemuan bergengsi.
Jika memang sudah begitu garisnya, mungkin Zuddin bisa berharap pada putri keduanya, adik Elfah, agar mau mesantren di PPHTQ. Akan tetapi setelah melihat sepak terjang Elfah, bisa saja dia berubah haluan dengan bersikap toleran pada keinginan anak-anaknya dan tidak terlalu mengatur. Bahkan setelahnya, mungkin dia akan bersikap demokratis atas pilihan putri-putrinya nanti terkhusus putri keduanya. Meski dia tetap memperhatikan dan masih menyimpan secercah harap pada putri keduanya, dia sudah bertekad tidak akan memaksa lagi dan membiarkan saja putrinya ingin mesantren di mana. Jika patuh dipesantrenkan di PPHTQ dia bersyukur, jika enggan pun dia tidak akan kecewa.
“Ayah, mulai bulan depan, Ayah tidak perlu kirimi Elfah uang lagi. Ayah simpan saja untuk keperluan Adik.”pinta putrinya via WhatsApp.
Zuddin tak lekas menjawab meski dia tahu persis putrinya itu sudah mendapatkan penghasilan atau bisyaroh atas prestasinya, dalam benaknya dia masih ingin mengirimi putrinya belanja bulanan. Namun jika putrinya berkehendak demikian, mungkin akan ia turuti dan fokus membiayai sekolah putri keduanya.
Lamunannya terpecah tatkala datang kabar rencana pernikahan dari putri sepupunya yang anaknya mesantren di Kediri. Padahal usia anaknya itu baru 19 tahun. Memang tak salah menikahkan anak saat usianya baru 19 tahun. Tetapi tetap saja di jaman sekarang hal itu bisa masuk dalam kategori pernikahan usia dini. Sebab anak di usia 19 baru merasakan lulus sekolah, belum paham betul perjalanan dunia luar apalagi rumah tangga. Dia sendiri pun tahu jika anak sepupunya itu tak begitu tahu dunia luar saking lamanya mendekam di dalam pondok. Tapi dia tak akan menghakimi dan ikut campur sebab itu keputusan sepupunya.
Ah, jika memang ada kebolehan membandingkan sudah sepatutnya dia berbangga dengan Elfah akan jalan yang dipilihnya, dengan berdamai dan mengikhlaskan impiannya dulu. Dia pun sepakat akan berdamai dengan semuanya dan mengubur harapan masa lalu dengan berprasangka baik akan harapan di masa depan. Elfah memiliki bakat, kemampuan serta minat yang akan ditekuninya untuk masa depannya. Dengan begitu benarlah keputusannya agar bisa menjangkau dunia luar dengan ikut organisasi dan kuliah. Sebab itulah yang dibutuhkan jaman sekarang dan untuk ikut andil dalam garda terdepan mengikuti perubahan teknologi, juga yang terpenting membuka seluas-luasnya cakrawala paradigma serta cara pandang.
Elfah tengah menjalani hidup yang berbeda dengan zamannya. Dia sedang bertumbuh dan berkembang di era-nya. Masa yang segalanya tengah memperjuangkan laku-lampah perempuan dalam ruang publik.
“Iya, Nak. Semoga Elfah sehat dan sukses selalu. Do’a Ayah selalu ada dalam langkah Elfah.”[]