Melihat berita Palestina yang kini porak-poranda, hati kecil ini teriris tak tahan melihat hancurnya kota dan murungnya wajah-wajah tak berdosa bahkan tak tahu apa-apa. Nyatanya di zaman yang katanya sudah maju ini, peperangan tak dapat dicegah seberapa pun pendidikan dan informasi tentang hak asasi manusia disuarakan hingga serak dan berbusa.
Entah kemana akal sehat dan hati nurani saat manusia malah saling membunuh hanya karena urusan sengketa tanah. Palestina yang tanahnya diyakini suci oleh tiga agama besar, menjadi rebutan untuk dimiliki dan diduduki penganut fanatik tiga kepercayaan itu.
Siapa yang hendak disalahkan jika setiap pelaku punya pedoman atau dalil tersendiri dalam melakukan sesuatu termasuk merampas tanah suci itu? jika merujuk pada pengertian agama yang berasal dari bahasa Sanskerta, “A” berarti “tidak” dan “Gama” berarti “kacau”, maka tolak ukur kebenaran suatu agama bisa dilihat dalam ajakannya untuk menolak kekacauan apalagi peperangan. Namun apakah kita akan diam saja jika suatu hari tanah kita juga menjadi sasaran untuk dirampas?
Perlu dikhawatirkan tentunya, syukur dan rasa hormat yang utama mestinya kita ungkapkan secara konsisten, mengingat atas perjuangan para pahlawan yang bergerilya dan petinggi negara yang tak lelah-lelahnya berdiplomasi, akhirnya kita bisa hidup damai tanpa takut musuh datang atau kiriman rudal dari seberang. Betapa dari sosial media yang aksesnya tak terbatas kita bisa melihat sendiri negara-negara hancur lebur dalam peperangan yang tak berkesudahan. Hal yang paling menyedihkan dalam kenyataan itu, bahwa negara yang paling banyak mengalami perang adalah negara yang paling banyak penganut agama Islamnya, bahkan mengklaim Islam sebagai agama resmi negaranya.
Indonesia yang 86,7% penduduknya beragama Islam, patut berbangga dapat hidup tenang dan tetap rukun dengan pemeluk agama lain di bawah satu kesatuan panji Pancasila. Tentu ini adalah hal yang membanggakan dan membuat iri negara-negara tetangga yang mengaku sebagai negara Islam.
Sebagai seorang santri sekaligus warga lokal tanpa jabatan di Kementerian, nyatanya tak banyak yang bisa kita lakukan untuk membantu saudara-saudara kita di Palestina maupun di negara-negara yang sedang mengalami konflik serupa. Mungkin aksi bela yang nyata dan pernah sekali-kalinya kita upayakan hanyalah mengirim baju bekas dan uang yang tak seberapa saat ada pengumpulan donasi pada kardus yang bertuliskan “Pray for Gaza”, hanya mampu mengucap “Amin” dalam qunut dan doa khotib saat mendengar “Allahumma sallimna wal muslimin”, hanya ikut merasa berduka cita ketika melihat video pengeboman yang baru-baru terjadi dan menghanguskan bangunan indah Masjid al-Aqsha. Bukankah semua itu termasuk pembelaan?
Hanyalah nasihat Kakak kelas yang menyadarkan saya untuk mensyukuri jasa para pahlawan negeri hari ini, saat kami belajar bersama di Mushola pesantren, dia berkata,
“Nul, sebisa mungkin kita mesti belajar dengan giat, segala fasilitas yang hari ini kita miliki harusnya membuat kita lebih semangat mencari ilmu, orang tua kita dulu tak pernah merasakan lampu, mereka mengaji di samping nyala lilin dan cerobong pertomak yang cahayanya tak begitu terang juga tak tahan lama, belum lagi orang dulu seringkali tak tenang kalau sembahyang, mereka takut kalau-kalau saat mereka bertakbir musuh menyerang dan mendobrak, bahkan jika di sela-sela sujud ada suara helikopter menyebrang, mereka takut sekali saat bangun bom dijatuhkan”
Saya merenung sendiri, “Dalam damainya negeri dan kehidupan seadanya seorang santri, jihad bukan lagi tentang mengangkat parang melawan penjajah, bukan lagi ikut curi-curi senjata milik company, bukan lagi pergi dengan sembunyi untuk menaruh granat di kapal-kapal dan basecamp musuh. Jihad santri hari ini adalah melawan kantuk saat mengaji, tak malu bertanya untuk memaknai setiap kalimat dalam kitab yang tak dimengerti, membunuh malas saat adzan berkumandang. Dan aktif diskusi membahas persoalan umat di zaman yang kian semrawut.”
Tak mudah memang, namun pak Jokpin pernah berpuisi, “Bahwa untuk menjadi gagah kita harus menjadi gigih, bahwa untuk menjadi bintang kita mesti tahan banting”, tapi tetap saja satu hal paling masuk akal, bahwa untuk menjadi bintang, kita harus meninggalkan bumi.
Sekian…