Di momen HUT RI yang ke-79 santri diajak untuk mengingat para pendahulu mereka. Bangsa asing yang konon 350 tahun lamanya menjajah negeri ini, hengkang sudah, tak lagi menjejakkan kaki untuk kembali datang. Tentu ini patut untuk dirayakan dan disyukuri oleh segenap bangsa Indonesia. Karena berkat Rahmat Tuhan yang Maha Esa serta kegigihan para bunga bangsa dalam merebut kemerdekaan dari genggaman tangan penjajah, kita dapat menghirup udara segar kebebasan, kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan.
Di momen ini juga Pondok Kebon Jambu menggelar prosesi upacara pengibaran bendera merah putih sebagai wujud suka cita dan rasa syukur atas anugerah kemerdekaan yang kini dirasakan manfaatnya oleh pesantren-pesantren di Indonesia. Dahulu pesantren merupakan sasaran yang menjadi incaran para penjajah kolonial. Sebab, pesantren kerap kali menjadi tempat bagi pergerakan dan pemberontakan para kyai, santri dan masyarakat guna merebut kemerdekaan negeri ini. Seperti pemberontakan yang pernah terjadi di Banten yang dilancarkan oleh kyai, santri, dan masyarakat petani banten. Pemberontakan tersebut di komandoi oleh KH. Abdul Karim seorang Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wa Naqsabandiyyah.
Dalam kesempatan kali ini Nyai Hj. Awanillah Amva berdiri sebagai Pembina upacara. Di hadapan para santri putra maupun putri, Yayu Awa (sapaan akrab beliau) menyampaikan sebuah pesan dan amanat kepada para santri yang tengah berbaris rapih. Beliau menyampaikan bahwa para santri harus selalu menjadi ikon bagi perubahan keadaan dan santri harus mampu menjadi agen perkembangan dalam pendidikan sebagai wujud dalam keberlanjutan perjuangan kemerdekaan.
Beliau mengatakan ada empat ruh santri yang dapat menjadi potensi untuk memajukan bangsa ini. Pertama, santri harus memiliki sifat pengabdian atau khidmah. Filosofi kerja di pesantren adalah mengabdi. Maka jangan heran jika menemukan keadaan bahwa seorang guru di pesantren tidak memiliki gaji. Mereka hidup dengan sederhana di pesantren. Namun kondisi inilah yang membuat mereka lebih tangguh dan memiliki rasa sosial yang tinggi.
Yang kedua, santri terdidik dengan sifat mandiri, dan salah satu ciri orang sukses adalah memiliki jiwa yang mandiri. Yang ketiga ialah ruhul jihad, yang berarti tekad dan komitmen yang kuat dalam menghadapi penderitaan serta memenuhi kebutuhan bangsa dengan kesungguhan yang kuat akan dapat menaklukkan semua aral melintang yang ada di hadapannya. Sikap ini pula yang menyebabkan santri berani bergerak melawan penjajah meskipun harus berhadapan dengan kubangan darah.
Potensi yang terakhir adalah cinta ilmu dan wawasan yang luas. Di pesantren, para santri ditempa untuk menjadi insan yang ilmiyah dan amaliyah, juga amaliyah dan ilmiyah, menjadi insan yang berilmu dan diamalkan, juga mengamalkan ilmu dengan mengetahui ilmu tersebut guna mewujudkan sosok santri yang alim dan bertakwa.
Sebelum mengakhiri amanatnya, Yayu Awa menyampaikan sedikit kata yang diambil dari kalamnya Benazir Butho, seorang Perdana Mentri perempuan. Ia berkata, “Saat yang paling indah dari sebuah kapal adalah ketika ditambatkan di dermaga. Ia tampak cantik sekali bermandikan cahaya. Tapi jangan pernah lupa, kapal tidak pernah dibuat untuk ditambatkan di dermaga, justru kapal dibuat untuk menghajar gelombang dan membelah lautan.”
Yayu menjelaskan tentang perkataan Benazir Butho tadi dengan konteks santri di pesantren. “Semuanya kita melihat di sini entah itu santri putri ataupun santri putra begitu tampak cantik, begitu tampak ganteng dan mempesona. Tapi semuanya ini bukan karena kegantengan atau kecantikan semata. Kegagahan ataupun kecantikan kalian adalah di saat memberikan sumbangsih, kontribusi, memberikan harokah, pergerakan untuk menjawab gelombang dan lautan problema dalam dunia ini.”