Muludan Bisa Menjadi Obat dari Berkurangnya Silaturahmi

Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, dimana sosok agung dilahirkan sebagai seseorang yang menjadi penutup para Nabi. Momen ini sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh umat Islam, karena sudah menjadi agenda khusus tersendiri yang biasa dilakukan di bulan Rabiul Awal. Di Jawa sendiri momen ini biasa disebut dengan agenda muludan, yang di dalamnya berisikan penyambutan bulan keahiran Nabi, berisi sholawat-sholawat kepada Nabi dengan diiringi tabuhan hadroh.

Muludan sendiri biasanya diadakan full dari awal sampai akhir bulan Rabiul Awal, dari satu mushola ke mushola yang lainnya. Semua orang berbondong-bondong pergi ke tempat yang sudah ditentukan setiap harinya, membawa kitab Barjanzi atau Simtudduror untuk disenandungkan dengan segenap puji dan doa yang keluar dengan merdu dari lantunan mulut mereka, untuk jungjungan mereka Baginda Nabi Muhammad saw.

Selain pujian dan doa yang digemakan kepada Sang Nabi, muludan juga bisa menjadi momen yang sangat langka di zaman yang maju ini. Momen langka yang mulai hilang dimakan zaman dengan segala teknologi yang dimaksud adalah silaturahmi. Silaturahmi yang ada di zaman sekarang sangatlah berkurang. Alih-alih majunya tekologi dapat mempermudah segala hal yang jauh agar bisa dikerjakan dengan hanya memencet dan menggeser sebuah android, malah mengurangi rasa persaudaraan yang dulu ditanamkan oleh Nabi kita semua.

Saling berkunjung ke rumah tetangga untuk sekedar bertanya satu dua hal yang mereka butuhkan, dan tidak terlewat menyapa orang-orang yang mereka temui saat di jalan. Betapa indahnya semua momen yang terjadi beberapa waktu kebelakang tersebut, saling bertukar cerita tentang permasalahan hidup dan memberikan solusi satu sama lain. Itulah yang menjadikan mereka sesama umat Islam yang berada dalam satu lingkungan selalu hidup rukun. Karena mereka selalu terbuka satu sama lain, dan menjadikan momen tatap muka, saling sapa, berkunjung, dan hal-hal lainya yang bisa membuat kenyamanan di dalamnya.

Tapi apakah kalian sadar? Semua itu hampir hilang, lenyap dimakan kesibukan yang terikat oleh teknologi yang di dalamnya hampir tidak ada kesempatan untuk membuat momen yang diajarkan oleh Nabi kita semua. Tegur sapa yang menghilang, membuat orang-orang yang berpapasan merasa mereka tidak saling kenal, bahkan dalam sebuah rumah pun bisa terjadi jika di dalamnya sibuk dengan benda yang bisa di bawa kemana-mana itu.

Melihat momen muludan yang sangat krusial ini, muludan sendiri bisa menjadi obat untuk sibuknya diri dari teknologi yang membuat kita jauh dari silaturahmi karena muludan memungkinkan untuk membuat orang-orang satu desa berkumpul dalam satu mushola, untuk menciptakan momen silaturahmi yang sudah jarang ditemukan di zaman ini. Kapan lagi kita menemukan momen muludan yang datang setahun sekali, dan belum tentu kita bisa menemukanya lagi di tahun yang akan datang.

Kita harus membuang pemikiran-pemikiran miring yang mengatakan bahwa muludan adalah suatu aktivitas yang tidak selaras dengan ajaran Nabi. Pemikiran yang selalu memojokkan muludan ke dalam suatu sudut yang dicap dengan bid’ah, berasalan tidak adanya landasan agama dalam aktivitas muludan, dan menyamai aktivitas yang dilakukan oleh kaum Nasrani dalam perayaan hari kelahiran Nabi Isa AS. Dengan ungkapan semua itu, mereka yang berpikiran miring menganggap bahwa muludan adalah bid’ah. Bid’ah itu suatu kegiatan, aktivitas, benda, dan apa saja yang tidak ada di zaman Nabi.

Untuk melawan pemikiran miring tersebut, kita harus melihat sisi baik dalam aktivitas muludan yang sangat mengandung nilai-nilai toleransi dan keagamaan. Karena bid’ah sendiri terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan ada juga bid’ah sayyiah. Untuk yang dilarang oleh agama sendiri adalah bid’ah sayyiah, kita tidak bisa melarang kedua bid’ah sekaligus. Jika memang semuanya disamakan, teknologi yang ada di zaman sekarang juga itu harus dinamakan bid’ah,  karena sesuatu tersebut tidak ditemukan di zaman Nabi dan bahkan menimbulkan kemadharatan yang sangat luas.

Dalam muludan sendiri tidak terdapat aktivitas-aktivitas yang bisa merusak nilai ajaran Nabi. Melainkan terdapat nilai-nilai kehidupan yang banyak ditemukan di dalamnya mulai dari nilai toleransi antar umat Islam dengan niat silaturahmi dalam momen yang dilaksanakan, saling menyapa, membawa makanan yang dibuat di rumah dengan niat shodaqoh kepada sesama, melantunkan sholawat kepada Sang Junjungan yang kelak memberikan syafaat kepada kita nanti di akhirat.

Apakah kita akan tetap membiarkan semua ajaran dan kenyamanan yang Nabi berikan hilang? Kita harus cermat dalam menyikapi situasi. Kita sudah mulai kehilangan ajaran-ajaran yang Nabi berikan, apakah kita juga akan termakan perkataan-perkataan miring tentang muludan tersebut? Jangan sampai kita kehilangan salah satu obat penawar dari kurangnya silaturahmi sesama umat Islam. Bagaimana kita bisa merangkul umat selain Islam, jika umat Islam sendiri saja terpecah belah?

{{ reviewsTotal }} Review
{{ reviewsTotal }} Reviews
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...
الحرمة خير من الطاعة
Di manapun dan dengan siapapun kita hidup pasti ada yang naman...
Perempuan dalam Sistem Pendidika...
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang agamis dan juga...

Hubungi kami di : +62851-5934-8922

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon