Alfiyyah: Antara Cinta dan Cita-cita di Pesantren

Asap masih mengepul hangat dari gelas yang baru saja dituang susu jahe ke dalamnya. Di samping kanan gelas ada mendoan, sate ati dan sate puyuh. siap untuk dinikmati. sedang di samping kiri ada delapan rokok gudang garam surya yang terbungkus plastik. Kemudian di atas meja angkringan berbagai macam sate jeroan terhidang lengkap dengan nasi kucing sebagai primadona angkringannya. Namun, ada yang lebih menarik dari semua itu, yaitu di depan gelas susu jahe tadi, ada tiga orang pembeli yang semuanya memakai sarung dan peci. Mereka adalah Kang Molen, Kang Yazid dan Kang Kalong.

“Aku bingung. Kenapa dia jadi begitu,” keluh Kang Yazid membuka pembicaraan.

“Kenapa? Masih mikirin gadis kuningan itu ya?” Kang Molen menanggapi keluhan Kang Yazid. Seolah-olah ia paham apa yang sedang dikeluhkan oleh sahabatnya itu.

Mungkin kedua temannya sudah mengetahui cerita cintanya dengan gadis pujaan hati yang berasal dari kabupaten kuningan itu. Gadis bernama Malihatul Muna, salah satu santriwati di pondok pesantren Babakan.

“Rokoknya dihisap dulu biar nggak pusing,” saran Kang Molen.

“Waktu liburan kemarin aku coba menghubungi dia lewat Chat WhatsApp. Tapi lagi-lagi cuma di-read doang. Terus waktu ketemu di sekolah, aku tanya kenapa? Dia malah ngambek dan marah. Aneh kan? Kemudian dia malah bilang gini, “Sudahlah Kang kalau masih mengirimiku puisi lagi, aku akan menjauh.” Kang yazid melanjutkan ceritanya sambil menghempaskan asap rokok yang barusan dihisapnya. Kepulan asap muncul dan hilang perlahan disapu angin malam dan lalu lalang kendaraan yang lewat.

“Lah kok dikirimi puisi malah ngambek. Kenapa?” tanya Kang Kalong.

“Aku juga nggak tahu. Padahal aku cuma tiga kali mengiriminya puisi. Atau mungkin karena isinya, ya?” Kang yazid bertanya sendiri dengan kening mengkerut.

Kang Molen menyerobot sambil terkekeh. “Sudah jangan dipikiri dulu, sekarang mah waktunya nyantai, ngerokok, makan, terus kalau sudah kenyang kita balik ke pondok.”

Malam ini adalah malam Selasa. Seperti sudah terjadwal Kang Molen, Kang Yazid dan Kang Kalong kabur dari pesantren hanya untuk nongkrong di warung angkringan Prapatan. Sekadar menghilangkan kejenuhan di pesantren sambil bercerita ngalor-ngidul.

Kelakuan mereka memang termasuk pelanggaran. Entah kenapa semesta seakan selalu berpihak kepada mereka. Belum pernah sekalipun pengurus keamanan memergoki mereka nongkrong-nongkrong begitu.

Tetapi mereka tidak tahu bahwa malam itu sepasang mata elang menatap tajam gerak-gerik mereka dari radius lima ratus meter.

***

Udara pagi yang sejuk ditambah penjelasan guru pengajian yang syahdu, sukses membuat sebagian besar santri tingkat lima itu tertidur. Setelah pengajian bubar mereka beranjak pergi begitu saja menuju kamar masing-masing.

“Itu ada pengumuman apa ya? Kok rame banget.” Kang Yazid berbicara kepada kedua temannya, tanganya menunjuk ke arah majalah dinding yang terpampang di depan kantor keamanan. Karena penasaran mereka akhirnya mendekat. Yang ternyata nama kami bertiga terpampang di sana komplit dengan ta’ziran apa yang harus kami jalani.

Kang Molen berbisik sambil menatap kedua temannya. “Perasaan waktu malam aman-aman aja, ya. Kok bisa ketahuan sih.”

Kang Yazid dan Kang Kalong hanya mengendikkan kedua bahu. Pasrah.

***

Malihatul Muna, gadis manis yang menginjak dewasa itu duduk sendirian di tangga komplek Varia. Sayup-sayup lantunan nadhom Alfiyyah menemaninya sore itu. Kerudung berwarna ungu muda membalut wajahnya, terlihat begitu serasi dengan wajahnya yang cantik jelita. Kemudian dari arah bawah seorang santriwati berjilbab seadanya tamapk menghampirinya.

“Mun ada titipan surat nih,” seru santriwati itu sambil menyodorkan sebuah amplop putih tanpa nama.

“Dari siapa mbak?” tanya Muna heran.

Santriwati itu mengendikan kedua bahu. “Nggak tahu siapa, Mbak. Pokoknya dia cukup tinggi, putih dan bawa Alfiyyah di tangannya.”

Muna meneguk ludah dalam-dalam. Ia tahu siapa pengirim surat yang dimaksud.

Mendadak gadis berlesung pipi itu gusar. Di satu sisi ia amat senang. Tapi di satu sisi yang lain ia justru khawatir, kalau-kalau perasaannya kepada lelaki tengil itu berdampak buruk pada hafalannya.

Ya, itulah salah satu alasan kenapa waktu itu Muna marah kepada lelaki yang dijuliki pangeran Alfiyyahnya itu. Gara-gara hafalannya menjadi kacau-balau. Senyuman manis lelaki itu yang hadir di pikirannya.

Di depan pintu belakang itu Muna makin gusar.

“Please! Muna kamu harus tegas, Mun. Belum saatnya,” gumamnya dalam hati.

Maka dengan berat hati Muna merobek-robek amplop surat dari Kang Yazid. Lantas ia buang ke bak sampah di luar benteng pondok.

“Maafkan aku, Kang…” lirihnya hampir tak terdengar.

***

Usai pengajian magrib, geng tiga serangkai itu menghadap kantor keamanan. Gara-gara ketahuan nongkrong di angkringan Prapatan. Beberapa santri lain pun ikut menjamur bangunan lantai dua itu.

Kang Molen dan Kang Kalong menatap keheranan tatkala Kang Adnan selaku ketua keamanan meminta Yazid mengikutinya.

Yazid bertanya, “Ada apa Kang? Kok saya beda sendiri.”

“Pelanggaranmu berlapis,” jawab lelaki berperawakan agak besar itu.

Kening Yazid mengkerut. “Maksudnya, Kang?”

“Udah nggak usah banyak tanya. Sini ikut saya,” perintah Kang Adnan sembari melanggang pergi.

Kedua teman Yazid tak bisa mengelak. Mereka seolah bertanya lewat tatapan mata heran.

Yazid makin bertanya-tanya. Kenapa ia malah dibawa ke pendopo?

Dan keheranannya pun terjawab oleh kenyataan yang amat mengejutkan. Kini di depannya, di sebelah timur area pendopo, Yazid melihat gadis pujaan hatinya tampak terduduk lesu dengan kepala menunduk. Dua orang pengurus keamanan putri mengelilinginya.

Tubuh Yazid bergetar hebat. Apalagi saat ekor matanya menangkap potongan-potongan kertas yang disambungkan berada di tengah-tengah pendopo. Ia terbelalak.

Baru saja Yazid duduk. Ia langsung ditodong pertanyaan menohok oleh ketua keamanan putri.

“Sudah berapa lama Kang Yazid berpacaran sama Mbak Muna?” tanya Mbak Bubah.

Lidah Yazid kelu. Terlebih ia mendengar isak tangis gadis pujaan hatinya itu.

Yazid menjawab terbata, “Sa … saya nggak berpacaran, Mbak.”

Mbak Bubah mendecak. Ia kembali berbicara dengan nada tegas, “Nggak usah ngelak. Udah banyak bukti. Dan asal Kang Yazid tahu, ya, sekalipun Kang Yazid nggak berpacaran. Tetapi tingkahmu itu sukses membuat rusak hafalan Mbak Muna.”

Kedua pundak Yazid merosot. Ucapan Mbak Bubah serasa menampar-nampar kesadarannya. Hatinya makin terasa sakit saat Mbak Bubah menjelaskan perihal takjiran yang tetap diberikan kepada Muna. Ya, gadis itu semakin menunduk dalam sembari menutup wajahnya dengan telapak tangan, berusaha menyembunyikan tangisnya.

Sesaat sebelum Yazid melaksanakan takjiran akibat berpacaran. Lelaki berjanggut tipis itu membaca surat yang ia tulis di sepertiga malam dengan berlinang air mata.

Assalamualaikum Wr. Wb.

Kepada pujaan Hatiku yang didekap rindu berkali-kali

Digoda cinta sepanjang hari

Sabarlah…
Jangan biarkan surat-surat cinta mengganggu hafalan kita di Pesantren.

Kuatkanlah…
Untuk sementara, biarlah temu kita tinggalkan, kirim surat kita gagalkan, dan bayangan indah kita hapuskan.

Di kejauhan…

Aku sedang sibuk berjuang, belajar memantaskan diri dan mempersiapkan bekal.

Ini tentang kewajiban, Sebuah tugas kepesantrenan, yang mengharuskanku menyelesaikan hafalan Alfiyyah.

Jika dikau rindu…

Temui aku di dalam kenangan, di balik beningnya air mata, atau
pada bait-bait do’a yang selalu engkau persembahkan. Aku akan selalu bersemayam didalamnya.

Bila waktunya tiba…

Aku akan datang ke rumahmu, yang mana pintunya selalu terbuka lebar untukku, seperti janji yang kau ucapkan padaku.

Memperkenalkan keluargaku kepada keluargamu, untuk memintamu dari tangan ayahmu. Lalu, di saat do’a diamini oleh tamu undangan, di situlah Aku menjadi kekasihmu yang sah.

Bersabarlah…
ku jatuhkan kata putus setelah kau selesai membaca salam penutup surat ini.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
tertanda; Yazid Halumma Jaro

“Muna … maafkan aku,” lirihnya hampir tak terdengar.

Di keremangan bilik penjara berukuran 3×3 meter itu Yazid terduduk lemas. Air matanya meleleh saat ia mencoba memutholaah hafalan nadzom Alfiyahnya. Ia masih hafal keseluruhan bait. Namun setiap kali ia melantunkan tiap bait Alfiyah sambil memejamkan mata, bayang-bayang wajah Malihatul Muna hinggap di kelopak matanya. Rindu. Ia sungguh merindukan gadis pujaan hatinya itu.

***

{{ reviewsTotal }} Review
{{ reviewsTotal }} Reviews
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

Pentingnya Suami Memperhatikan K...
Maraknya Angka Kematian Ibu menjadi kabar duka bagi masyarakat...
Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...
الحرمة خير من الطاعة
Di manapun dan dengan siapapun kita hidup pasti ada yang naman...

Hubungi kami di : +62851-5934-8922

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon