Belum lama ini, aku sempat berkunjung ke suatu tempat yang terbilang ramai. Tempat tersebut seringkali menjadi destinasi untuk berkunjung orang-orang dari berbagai daerah. Selama berada di tempat, aku berniat untuk pergi ke kamar mandi. Sambil mengantri, aku melihat sekitar yang ramai oleh anak-anak, seorang ibu yang tengah mengantri juga sepertiku. Aku memperhatikan betapa sibuknya ibu tersebut yang ke kamar mandi bersama anaknya. Belum lagi, air keran yang tiba-tiba mati. Tentu saja hal ini memakan waktu yang tidak sebentar hingga tak terasa aku telah tertinggal 3 rakaat dari sholat maghrib berjamaah bersama imam.
Di lain waktu, aku mencoba untuk memastikannya dengan meminta bantuan kepada temanku untuk menghitung jumlah kamar mandi laki-laki dan perempuan. Benar ternyata, semuanya berjumlah 4 ruang kamar mandi baik itu laki-laki maupun perempuan. Secuplik kisah sederhana tadi mengingatkanku akan pentingya memberikan fasilitas kepada pihak yang membutuhkan. Seketika aku merasa flashback pada istilah “Keadilan Hakiki Perempuan” melalui pemaparan Ibu Nyai Hj. Nur Rofi’ah yang saat itu mengisi orasi ilmiah Wisuda Marhalah 1 Ma’had Aly Kebon Jambu, kemarin.
Keadilan hakiki perempuan yang dimaksud adalah bagaimana sekiranya kita bisa memenuhi kebutuhan masing-masing sesuai dengan keadaan yang diembannya. Perempuan, misalnya. Mereka memiliki pengalaman biologis yang berbeda dengan laki-laki. Di antaranya: menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui. Jika dikaitkan dengan kamar mandi tadi, maka perempuan yang tengah menstruasi dan ibu yang seringkali mengasuh anak akan menghabiskan waktu yang tidak sebentar untuk beraktivitas di kamar mandi. Tentu saja, jumlah kamar mandi juga perlu disesuaikan untuk kalangan yang berkebutuhan khusus karena melihat pengalaman biologis perempuan yang berbeda dengan laki-laki.
Dalam kitab Manba’ As-Sa’adah, kitab karangan Dr. Faqihuddin Abdul Kodir menyebutkan bahwa pengalaman reproduksi perempuan menjadi tanggung jawab bersama, Mulai dari suami, anak, hingga kebijakan negara. Hal ini terekam melalui QS Luqman ayat 14
قال تعالى معبرا عن حالة الحامل ووجوب الشكر الولد لابويه وخاصة لامه
(وَوَصَّيْنَا الْإِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِ حَمَلَتْهُ أُمُّهُ وَهْنًا عَلَىٰ وَهْنٍ وَفِصَالُهُ فِي عَامَيْنِ أَنِ اشْكُرْ لِي وَلِوَالِدَيْكَ إِلَيَّ الْمَصِيْرُ)
فوصى الله كل انسان برعاية والديه والشكر عليهما ويخص بالذكر عن امهه التي حملته وولدته وارضعته بكل جهد منها والشكر للام الحامل يكون بتغذيتها غداء سليما مناسبا ومعاونتها ماديا وتساندها نفسيا وتسهيل امورها في هذا الوظيفة سياسة بالنسبة لصاحب الدولة[1]
Allah Swt menjelaskan keadaan atau kondisi wanita hamil, wajib bersyukur kepada kedua orang tua, terkhusus kepada ibu.
Artinya: “Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu.”
Allah mewasiatkan agar melayani kedua orang tua dan bersyukur kepadanya. Terkhusus kepada ibu yang hamil dan melahirkan dengan susah payah. Rasa syukur tersebut dapat diwujudkan dengan memberikan gizi untuk keselamatan janin, memberikan materi dan kebutuhan yang mencukupi, mendukung keselamatan psikologinya, memudahkan urusannya dalam hal-hal politik, maupun kebijakan negara.
Hal ini kemudian menjadi penting dikarenakan dalam al-Qur`an juga menyebutkan perintah untuk berbuat baik kepada orang tua. Termasuk kepada ibu yang dalam ayat tersebut disebutkan beberapa pengorbanan yang dirasakannya dalam proses hamil, melahirkan hingga menyusui. Sehingga, sekalipun pengalaman biologis perempuan hanya dialami oleh perempuan saja, akan tetapi, tanggung jawab untuk mendukung, menemani, dan memfasilitasinya menjadi amanah bersama. Baik dari pihak suami, keluarga, masyarakat hingga pemerintahan pun penting untuk andil dalam gerakan ini.
[1] Faqihuddin Abdul Kodir, Manba’ As-Sa’adah, Cet.7, (Cirebon: Baitul Mubadalah Linnasyri wal ‘ilam,2023), hlm.61