Bullying itu Menyakitkan, Jangan Ya Dek Ya!

Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, rasanya miris dan sedih. Apalagi berita tentang adanya bullying di pesantren, entah bahasa apa yang bisa mewakilkan saya selain malu?!

Sebagai santri, menjaga diri dan nama baik pesantren adalah sebuah keharusan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan agama memiliki tanggung jawab besar untuk mengemban harapan orang tua, keluarga bahkan agama. Orang tua yang menitipkan anaknya ke pesantren dengan harapan tumbuh menjadi pribadi yang baik, keluarga menginginkan anggota keluarganya bisa menjadi orang yang bermanfaat, sedang agama menjadikan pesantren sebagai lumbung kader-kader yang akan menegakkan agama di manapun dan kapanpun mereka berada.

Namun, tak ada gading yang tak retak. Sebagai tempat belajar sekaligus tempat tinggal, bertemu dan berinteraksi dengan orang-orang yang sama setiap hari, kadang ada saja gesekan antar penghuninya. Dari mengantri, rebutan beli jajan, sampai masalah personal pasti ada. Tapi, untuk mengancam, menyudutkan, dan membuat mental teman santri yang lain, tidak boleh dibiarkan keberadaannya.

Sebagai santri sekaligus korban bullying ketika di pesantren, saya dapat merasakan bagaimana beratnya menjadi seorang korban bullying. Bukan hanya mental, kadang ada juga kasus bullying yang sampai merugikan secara material. Meskipun sudah berlalu, dampaknya sangat mengakar sampai sekarang.

Katanya, “bullying cuma bisa dihadapi oleh orang yang kuat mentalnya.” Apa yang ada di pikiran anda ketika membaca kalimat tersebut? Apakah benar bullying hanya bisa dihadapi oleh orang-orang yang mentalnya kuat? Bagaimana mereka bisa menguatkan mentalnya? Apakah orang-orang yang gugur ketika dibully tandanya lemah?

Banyak orang-orang yang akhirnya menjadi orang yang tahan banting ketika berhasil bertahan di tengah tekanan bullying, tak sedikit juga orang akhirnya gugur ketika menghadapinya. Sebagai ‘mantan’ korban, bullying berdampak besar terhadap mental, pikiran hingga kemampuan sosial saya secara pribadi. Saya sempat takut masuk kamar, sempat takut berbicara, sempat takut berekspresi hanya karena saya masih hidup berdampingan dengan pembully. Selain itu, saya sempat menjadi perempuan penyendiri, takut karena pembully lebih punya banyak teman untuk diajak membully, hingga proses belajar sayapun sempat terganggu, hari-hari diisi dengan berusaha mendamaikan diri.

Jika anda sendiri merupakan korban bullying, ada beberapa cara yang bisa dilakukan untuk menghadapi bullying. Pertama, tetap tenang. Dengan bersikap tenang, pelaku akan merasa caranya tidak ‘mempan’ untuk membuat korban merasa takut dan tersudutkan. Kedua, menjaga diri. Jaga diri dari konfrontasi dengan pelaku, jangan dilawan langsung, apalagi sampai membuat kegaduhan. Ketiga, ceritakan situasi yang sedang anda hadapi kepada pengurus atau orang yang dianggap lebih dewasa, hal tersebut bisa membuat diri lebih tenang, setidaknya mereka bisa memberi nasehat atau sebagai tempat curhat.

Jika di sekitar kita terdapat korban bullying, cara yang bisa kita lakukan di antaranya adalah kita bisa memberikan rasa aman dan perlindungan kepada korban, dengan demikian korban tidak merasa sendiri. Selain itu kita bisa memantau situasi, perhatikan bagaimana ketika pelaku melakukan aksinya kepada korban, sehingga kita bisa mengambil sikap seperti melerai, menggagalkan aksi hingga mendamaikannya, Tapi, jika belum mampu, langkah yang bisa ditempuh adalah melaporkan kepada pengurus atau orang yang dianggap lebih dewasa sehingga bisa mengambil sikap yang bijak untuk mengatasinya.

Jika anda adalah orang dewasa, pengurus atau orang tua, peran anda sangat dibutuhkan oleh korban, anda tempat terbaik untuk mereka berlindung. Hal tersebut saya lakukan ketika menghadapi tekanan dari bullying, orang tualah yang bisa memberikan saya kekuatan. Saya berani untuk mengungkapkan perasaan dan orang tua menanggapinya dengan bijak tanpa menyalahkan keadaan, membimbing saya untuk belajar menjadi santri yang lebih baik. Saya merasa sangat beruntung dengan hal tersebut.

Tapi, pertanyaannya bagaimana jika santri korban bullying tidak punya tempat untuk meluapkan perasaannya? Apalagi jika diancam oleh pelaku? Apa yang bisa dia lakukan selain memendam perasaannya sendiri, dan hal tersebut mampu merusak dirinya sendiri? Apakah tidak sama dengan melukai bahkan membunuh secara perlahan?

Oleh karena itu, saya berharap tidak ada lagi bullying di dalam pesantren, mari sama-sama menciptakan lingkungan pesantren yang nyaman dan aman, bangun lingkungan yang mendukung, saling merangkul dan melangkah dalam kebaikan, ingat “Bullying itu menyakitkan, jangan ya dek ya!”

{{ reviewsTotal }}{{ options.labels.singularReviewCountLabel }}
{{ reviewsTotal }}{{ options.labels.pluralReviewCountLabel }}
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

HASIL KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL S...
MUSHOHIH PERUMUS MODERATOR K. Ghufroni MasyuhadaK. Maksus Iska...
Pentingnya Suami Memperhatikan K...
Maraknya Angka Kematian Ibu menjadi kabar duka bagi masyarakat...
Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...

Hubungi kami di : +62859-1068-58669

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon