Abu Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi Asy-Syafii lahir di Thus pada tahun1058/450 H dan meninggal di sana pada tahun 1111/14 Jumadil Akhir 505 H pada usia sekitar 52-53 tahun. Beliau adalah seorang filsuf dan teolog muslim di Persia yang dikenal sebagai Al-Ghazali di dunia Barat pada abad pertengahan.
Salah satu karya besar Imam Al-Ghazali sendiri adalah kitab Ihya Ulumiddin (Kebangkitan Ilmu Agama). Isi kitab ini mencakup hampir semua bidang fan ilmu agama Islam. Kitab ini juga berisi empat bagian utama; 1) Tindakan ibadah (Rub’ al-‘ibadat), 2) Norma Kehidupan Sehari-hari (Rub’ al-‘adatat), 3) Jalan menuju Kebinasaan (Rub’ al-muhlikat), dan 4) Jalan Menuju Keselamatan (Rub’ al-munjiyat). Kitab Ihya Ulumiddin menjadi literatur Islam yang paling sering dibaca setelah Al-Qur`an dan Hadits.
Dalam kitabnya Ihya Ulumiddin, Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Mahabbah selalu dikaitkan dengan ajaran-ajaran para sufi sebab ajaran sufi selalu menekankan Mahabbah dalam pendalaman agama Islam.
Menurut salah satu ulama sufi terkenal yaitu Jalaludin Rumi, mahhabbah adalah bahasa universal yang mudah dimengerti dan juga mudah dirasakan oleh setiap umat manusia. Karena itu, mahhabbah dapat membimbing para manusia dalam mengenal Tuhannya.
Mahabbah perspektif Imam Al-Ghazali dimaknai sebagai tendensi hati seseorang kepada sesuatu yang memuaskan. Jika tendensi tersebut semakin dikerucutkan, maka berubah menjadi ‘isyq (asyik-masyuk), bukan lagi Mahabbah. Jika dijabarkan, Mahabbah merupakan tendensi hati pada sesuatu yang disayangi serta disukai, lalu menjadi energi untuk menggerakkan segenap otoritas dan usaha guna melaksanakan perintahNya dan menjauhi laranganNya.
Dalam kitab Ihya Ulumiddin, Imam al-Ghazali merumuskan beberapa faktor (sebab) yang mempengaruhi atau menimbulkan lahirnya Mahabbah di antaranya adalah:
- Mahabbah manusia terhadap dirinya sendiri dengan ambisi supaya dirinya menjadi absolut serta sempurna. Hal ini didasari oleh keyakinan bahwa orang yang mengenal dirinya dengan ma’rifah yang benar, maka akan mengenali atau mencintai Allah SWT.
- Mahabbah manusia untuk berbuat ihsan (baik). Al-Ghazali mengklaim bahwa hakikatnya manusia secara naluri pasti mencintai seseorang yang bersifat muhsin, sedangkan yang bersifat muhsin sejatinya hanyalah Allah SWT. Perbuatan baik antar manusia sesungguhnya hanya bersifat kiasan, karena hakikatnya perbuatan baik itu adalah antar manusia dan Allah SWT yang didasari oleh rasa mengenal dan mengerti Allah SWT dengan ma’rifah yang sebenar-benarnya.
- Mahabbah manusia untuk berbuat baik terhadap dirinya sendiri. Mahabbah ini hakikatnya menghendaki kecintaan kepada Dzat Allah SWT, sebab Allah SWT berbuat baik terhadap seluruh makhlukNya yang mana telah memberikan banyak jasa, membantu, ataupun menolongnya, bukan karena sebab atau tujuan lain. Mahabbah ini merupakan Mahabbah hakiki dan juga kekal (Mahabbahnya para arifin).
- Mahabbah manusia kepada setiap yang indah karena keindahannya sendiri, bukan karena kesenangan lain yang dapat diperoleh dari keindahan itu. Orang yang mengenal Allah SWT dengan ma’rifah yang sebenarnya, hatinya akan melihat bahwa Allah SWT yang paling indah. Sebab Allah SWT adalah Dzat yang Maha Indah secara absolut, tidak ada dzat lain yang bisa menandingiNya
- Mahabbah yang lahir karena saling menyesuaikan. Seseorang biasanya cenderung mencintai orang lain karena adanya kesesuaian. Begitu juga Mahabbah kepad Allah SWT. Hanya orang yang berlayar menuju Allah SWT saja yang dapat mengungkap rahasia kesesuaian tersebut. Kesesuaian akan tampak dengan membiasakan melakukan ibadah-ibadah kepada Allah SWT.
Mahabbah diibaratkan seperti pohon yang kokoh, akarnya menancap kuat di bumi dan cabangnya berada di langit, buahnya mensucikan hati, lisan, dan semua anggota di dalam badan. Mahabbah yang diajarkan dalam tasawauf Imam al-Ghazali tidak terlepas dari moralitas-moralitas yang berdasarkan ajaran agama Islam. Moral yang dimaksud tentu moral yang baik dan sesuai dengan ajaran Islam.
Adanya berbagai maqamat (fase yang harus dilewati) dan ahwal (keadaan) itu semuanya merupakan berbagai wujud moralitas kebaikan berdasarkan syariat yang menjelaskan tingkatan hubungan makhluk dengan Khaliqnya di mana salah satu di antaranya adalah Mahabbah Ilahi.
Imam Al-Ghazali juga menyebutkan, setiap keadaan yang dapat menghadirkan rasa nyaman dan tenang akan mendatangkan Mahabbah dalam diri seseorang. Lalu, setiap keadaan yang menghadirkan perasaan menyakitkan akan menghadirkan rasa benci atau manhub. Kemudian, jika sesuatu tidak menghadirkan rasa nyaman atau benci, maka manhub juga atau tidak berpotensi menjadi Mahabbah.
Masih dari sumber yang sama, Mahabbah juga melahirkan pengetahuan tentang sesuatu yang dicintai. Misalnya seperti saat seseorang mencintai Allah SWT, maka terlebih dahulu ia akan mencari tahu alasan apa yang membuatnya cinta kepada Allah SWT.
Menurut Imam Al-Ghazali, tingkatan tertinggi dalam Mahabbah adalah kecintaan seseorang kepada Allah SWT. Termasuk ketika seseorang mencintai makhluk atau ciptaanNya, sejatinya orang tersebut sedang mencintai Allah SWT melalui pantulanNya berupa ciptaanNya itu. Artinya, jika ada seseorang yang meletakkan cinta tertingginya bukan kepada Allah SWT, sejatinya itu adalah bentuk dari kebodohan atau kesempitan ilmunya tentang Allah SWT.
Minimnya pengetahuan tentang sifat-sifat Allah SWT akan membuat manusia sulit untuk mengenal Allah SWT, sehingga akan menyulitkan dirinya untuk mencintai Allah SWT. Hal ini selaras dengan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 165:
وَالَّذِيْنَ اۤمَنُوْا أَشَدُّ حُبًّا لِلّٰهِ
Artinya, “Adapun orang-orang yang beriman sangat besar cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Tidak ada yang berhak untuk dicinta kecuali Allah SWT. Jika ada seorang hamba meletakkan cintanya kepada selain Allah SWT, itu menunjukkan bahwa cintanya muncul karena kebodohan dan sempitnya pengetahuan terhadap Allah SWT. Jika ia benar-benar mengetahui sifat-sifat Allah SWT, tentu ia tidak akan memperdulikan manusia dan hanya fokus mencintai Allah Dzat Yang Mahakuasa. Namun demikian, mencintai Allah SWTartinya juga harus mencintai Rasulullah saw, ulama, orang-orang bertakwa dan juga para kekasih Allah SWT. Kenapa demikian? Imam Al-Ghazali menjelaskan:
لِأَنَّ مَحْبُوْبَ الْمَحْبُوْبِ مَحْبُوْبٌ وَرَسُوْلَ الْمَحْبُوْبِ مَحْبُوْبٌ وَمُحِبَّ الْمَحْبُوْبِ مَحْبُوْبٌ
Artinya, “Karena sesuatu yang dicintai oleh Kekasih adalah seperti Kekasih, utusan Kekasih adalah seperti Kekasih, dan pecinta Kekasih adalah seperti Kekasih pula.”
Berdasarkan penjelasan di atas, saya menyimpulkan bahwa hakikatnya tidak ada kekasih kecuali Allah Yang Maha Esa. Tidak ada yang berhak untuk dicinta selain Allah SWT. Yang paling layak dan yang paling sempurna memenuhi lima kategori cinta di atas hanyalah Allah SWT, bukan selainNya. Selain Allah SWT mungkin hanya memiliki salah satunya, sedangkan Allah SWT mempunyai keseluruhannya. Tentu, jika orang masih memberikan cinta kepada selain Allah SWT, itu disebabkan oleh dangkalnya ilmu pengetahuan tentang Allah SWT.
Wallâhu a’lam