Hilir mudik para wali santri yang mengantar anaknya ke pondok mulai merenggang. Sepuluh menit lagi pos penerimaan santri baru akan ditutup. Dari tempat parkir terlihat seorang Ibu beserta anaknya turun dari sebuah mobil Mercedez Benz berwarna silver. Akang-akang santri yang masih ikut bertugas denganku langsung membantu membawakan barang-barang yang dibawanya. Ibu dan anak itu sekarang berada di depanku untuk menyelesaikan administrasi pendaftaran. Karena waktu sudah mau maghrib, Ibu itu langsung menanyakan namaku sekaligus meminta nomer whatsaapku. Aku pun memberinya.
Ibu itu tersenyum dan berkata, “Kang Marjuki, Ibu titip Farez ya.”
Tangannya menyalami amplop yang sudah ia siapkan sebelumnya. Aku langsung menganggukan kepala tanda setuju. Ibu itu langsung pamit undur diri dan tak lupa memberi salam perpisahan kepada anaknya. Setelah itu aku langsung mengantar si anak berwajah tampan ini menuju ke kamarnya. Disusul akang-akang yang membawa banyak barang bawaan milik anak itu.
Fyi, tahun ini aku dipercaya oleh Abah Yai untuk menjadi kepala pondok. Selain menjadi kepala pondok, aku juga sedang menempuh kuliah semester akhir di salah satu univesitas di kota Cirebon.
***
Satu minggu kemudian Ibu Fatmawati (ibunya Farez) datang lagi ke pondok untuk menjenguk anaknya. Aku disuruh untuk menemuinya di ruang tamu. Namun sebelum menemuinya, aku berjalan ke kamarnya Farez untuk mengajaknya bertemu Ibunya di ruang tamu. Setelah itu kami berdua berjalan menuju ruang tamu.
Aku sedikit kaget melihat Bu Fatmawati sedang duduk bersama seorang gadis yang kukenal, Imeyra Salsabila namanya.
Setelah suasana tampak lengang aku mencoba basa-basi. “Ibu kenal dengan Imeyra?”
“Loh akang sudah kenal sama Imeyra?” Bu Fatmawati malah bertanya balik.
“Iya, Bu. Teman satu kelas di kampus,” jawabku.
Aku melihat wajah Bu Fatmawati tersenyum sumringah setelah mendengar apa yang aku katakan.
Kami semua sedang menyantap makanan. Sambil menikmati makanan yang enak ini, Bu Fatmawati memperkenalkan diri. Ia juga mengenalkan kalau Imeyra itu adalah anak pertamanya dan Farez itu adik satu-satunya. Tidak berhenti disitu saja, Bu Fatmawati pun menceritakan tentang keluarganya. Ia bercerita kalau suaminya sudah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Meninggalkan dirinya beserta kedua anaknya. Ia juga menceritakan kalau sekarang ia sedang sibuk mengurus bisnis yang sudah banyak cabangnya. Dari mulai butik, tanaman hias, oleh-oleh khas Bandung, hingga restoran.
Mendengar cerita dari Bu Fatmawati itu aku malah menghayal untuk bisa menjadi menantunya. Aku pikir hubunganku dengan Imeyra lumayan dekat. Imeyra juga sering meminta bantuanku untuk menambal kitab di kelas. Ditambah lagi jabatanku sebagai kepala pondok, calon sarjana agama, pintar baca kitab, ganteng, sering jadi buah bibir di pondok putri dan masih banyak kelebihan lainnya. Pasti Imeyra sudah tahu kebesaran namaku. Aku yakin gadis berlesung pipit itu bakal mau denganku.
Setelah dirasa cukup menjenguk anaknya, Ibu Fatmawati pun pamit pulang. Tak lupa ia juga menyalamiku amplop. Tentu saja aku pura-pura menolak. Tapi ya ujung-ujungnya amplop itu masuk juga ke kantongku.
***
Siang ini Imeyra meminta bantuanku untuk menambal kitab Fathul Qarib. Dengan senang hati aku menyanggupinya. Di sela-sela memberi makna, aku sengaja basa-basi.
“Kenapa sih Ra kok kamu rajin banget nambal kitab?”
Imeyra tertawa kecil. Ah, sugguh geli mendengarnya. Ia menjawab, “Soalnya kalau di rumah aku suka disuruh untuk mengisi pengajian, Kang.”
“Pengajian?” tanyaku heran.
“Iya, Kang. Kakekku itu punya pondok. Tapi akhir-akhir ini mulai sedikit yang mau mengurus.” Nada bicara Imeyra selanjutnya terdengar seperti bisik-bisik, “Eh, tapi Akang jangan bilang siapa-siapa ya.”
“Walahhh … Jadi kamu itu seorang Ning tho, Ra?” Aku menggoda Imeyra.
Imeyra semakin menunduk malu dan pura-pura sibuk maknain kitab.
Gadis yang ke mana-mana selalu beroutfit gamis warna biru itu pun menceritakan kalau pondok yang didirikan kakeknya itu tidak ada yang mengurus semenjak Ayahnya meninggal dunia. Ia juga bilang kalau Ibunya itu anak satu-satunya kakek. Makannya Ibunya dijodohkan oleh Kakek dengan seseorang yang bisa ngaji yaitu Ayahnya, dengan harapan bisa memimpin pondok tersebut. Dan setelah ayahnya meninggal, harapan itu turun kepada dirinya dan juga adiknya.
Mendengar penjelasan tadi. Rasa kagumku kepada Imeyra semakin bertambah sempurna. Lengkap sudah keinginanku untuk menjadi suaminya Imeyra.
Imeyra juga bercerita kalau Farez sering memuji-muji diriku di depannya. Katanya aku ini baik, pinter ngaji, rajin tirakatan, sering memberi sesuatu, “pokoknya si Farez itu mengidolakan sampean loh Kang,” ucapnya sambil tertawa manja.
Aku yang mendengarnya semakin yakin kalau Imeyra akan mau kepadaku. Namun aku masih menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkan cintaku kepadanya.
***
Sudah dua hari Farez sakit. aku juga sudah membawanya ke pusat kesehatan pesantren. Namun sakitnya belum juga membaik. Ia terlihat semakin parah. Karena aku khawatir dengan keadaan Farez akhirnya aku membawa Farez ke rumah sakit terdekat.
Sudah lima jam aku menemani Farez di rumah sakit sendirian. Aku sudah menghubungi Ibunya siang tadi. Namun sampai waktu maghrib Ibunya belum juga datang. Tiga puluh menit kemudian Ibu Fatmawati datang bersama Imeyra. Aku langsung berdiri dan membiarkan perempuan sebaya itu duduk di samping Farez.
Setelah berbincang-bincang dengan Farez, Ibu Fatmawati mengajakku untuk makan malam di luar rumah sakit. Berhubung aku belum makan sejak siang tadi, aku pun langsung mengiyakan ajakan tadi. Kami bertiga keluar untuk mencari rumah makan terdekat. Kebetulan di depan rumah sakit ada rumah makan Padang yang masih buka. Tak berpikir lama kami bertiga langsung masuk dan memesan makanan.
Sambil menikmati makanan yang sudah datang Ibu Fatmawati terus memuji-muji kebaikanku yang telah merawat anaknya. Imeyra juga turut mengucapkan banyak terima kasih kepadaku karena sudah mau mengurus adiknya selama ini. Aku cuma diam dan pura-pura tawadhu dengan apa yang mereka ucapkan kepadaku.
Setelah selesai makan aku pamit untuk kembali ke pondok karena harus mengisi pengajian malam ini. Awalnya aku mau pulang dengan naik elf. Hanya saja Ibu Fatmawati memaksa ingin mengantarku ke pondok. Aku pun diantar sampai ke gerbang pondok. tak lupa ibu fatmawati memberiku uang jajan. Lagi-lagi aku pura-pura menolak. Namun aku pikir, “tak baik rasanya kalau kita menolak rezeki”.
***
Semenjak kejadian itu hubunganku dengan Imeyra semakin dekat. Setiap kali ke kampus Imeyra selalu membawakan aku makanan. Kadang-kadang juga ia membawakan pudding yang ia buat dengan tangannya sendiri. Aku menjadi semakin yakin kalau imeyra sudah jatuh hati kepadaku.
Setelah sholat jum’at aku disuruh untuk menemui ibu Fatmawati yang sudah menunggu di parkiran bersama Farez dan Imeyra. Kali ini ibu Fatmawati ingin mengajakku keluar jalan-jalan. Ia mengajakku nonton bioskop ke CSB Mall. Habis nonton kami sekalian belanja dan makan malam. Ditengah-tengah makan ibu Fatmawati berbicara kepadaku, “Habis lulus kuliah mau kemana kang?”.
“Belum tahu, Bu”.
“Nggak kepikiran buat menikah?”
Aku hanya menggelengkan kepala.
“Imeyra nih kang kalau sudah lulus ibu suruh dia buat cepet cari suami. Biar bisa bantu ibu di rumah ngurus bisnis,” kata ibu Fatmawati.
“Barangkali akang mau sama Imeyra Ibu pasti langsung meresetuinya,” lanjut beliau sambil terkekeh.
Mendengar Ibu Fatmawati berbicara seperti itu Imeyra terlihat menunduk tersipu malu. Bahkan aku tidak melihat raut penolakan dari wajahnya. Aku merasa yakin kalau Imeyra sudah jatuh hati kepadaku.
“Aku masih mau mondok dulu, Bu masih mau ngaji. Belum mau menikah.”
Aku pura-pura menolak tawaran Ibu Fatmawati. Biar terkesan kalau aku ini memang menantu yang sangat cocok untuknya. Karena mempunyai semangat ngaji yang kuat. Aku pun berpikir pasti Ibu Fatmawati akan menawariku lagi setelah wisuda nanti atau bahkan beliau akan langsung sowan ke pak kyai untuk memintaku menjadi menantunya.
***
Dua tahun sudah Farez berada di pondok dan aku rawat. Imeyra dan aku baru saja di wisuda satu bulan yang lalu. Hari ini aku sedang menemani Farez bestel di ruang tamu seperti biasanya. Aku mengakui kalau Ibu Fatmawati ini sangat baik kepadaku. setiap kali ketemu pasti memberiku uang jajan. Bahkan ketika mentransfer uang jajan buat Farez aku pasti mendapat jatah juga. Selain itu beliau juga sering membelikanku sarung-sarung dan baju mahal. Bahkan aku pernah dikasih coklat dan bunga. katanya ia tak sengaja membeli bunga itu sewaktu mampir ke Indomart.
“Kang Marjuki tadi ibu sudah sowan ke Pak Kyai,” kata ibu Fatmawati.
Aku bergumam dalam hati, “Wahh kan benar dugaanku. pasti ibu Fatmawati memintaku untuk menjadi mantunya ke Pak Kyai”.
“Terus Pak Kyai sudah memberi izin,” lanjut ibu Fatmawati.
Aku semakin gelisah sekaligus bahagia karena Pk Kyai sudah mengizinkanku untuk menjadi menantunya ibu Fatmawati.
“Jadi hari ini Ibu akan membawa Farez pulang”.
Aku sedikit bingung dan bertanya, “Maksudnya, Bu?”.
“Ibu tadi izin ke Pak Kyai untuk membawa Farez pulang untuk menghadiri pernikahan kakaknya besok.” Bu Fatmawati menjelaskan kepadaku.
“Apa, Bu? Imeyra menikah? Dengan siapa?” Aku terkejut terkejut langsung menghujanni banyak pertanyaan.
“Iya Kang. Imeyra mau menikah dengan anak laki-laki dari temen ibu yang di Jakarta”.
Aku tak percaya dengan perkataan yang ibu fatmawati katakan. Tubuhku seketika melemas. Hampir saja aku mau pingsan karena tak sanggup mendengar kenyataan ini. Bisa dibayangkan, orang yang kita sukai, yang kita sendiri meyakini kalau orang tersebut juga mencintai kita terus tiba-tiba menikah dengan orang lain. Menyakitkan bukan?. Ya seperti itu yang sedang aku rasakan sekarang. Ini sangat menyakitkan bagiku. Aku merasa duniaku telah hancur.
“Barangkali Akang besok bisa datang, silakan, Kang.”
Aku hanya bisa mengangguk pelan.
Aku masih tak percaya dengan kenyataan ini. aku terdiam dan merenung, “mengapa mimpi-mimpi indah yang sudah aku rancang tiba-tiba hancur sebelum dimulai”. Mengapa Imeyra malah menikah dengan orang lain disaat cintaku kepadanya semakin membara. Dosa apa yang telah aku perbuat sehingga hasilnya malah seperti ini.
Saking merasa hancurnya aku langsung ijin untuk kembali ke kamar. Aku melenggang pergi dengan pikiran yang kosong, meninggalkan ibu Fatmawati dan Farez.
***
Setelah ditinggal Imeyra menikah kepedulianku kepada adiknya tidak berubah. Aku masih tetap merawatnya dengan baik seperti yang dulu-dulu. Karena ibunya sangat baik kepadaku. Sekarang saja ibu Fatmawati mengabariku lewat Whatsaap kalau ia baru saja transfer uang ke rekeningku. Ibu Fatmawati juga memberitahuku kalau Imeyra sudah resmi bercerai dengan suaminya. Padahal usia pernikahannya masih berumur lima bulan. Alasan Imeyra menggugat cerai suaminya ialah karena suaminya ketahuan selingkuh dengan wanita lain.
Mendengar kabar ini aku merasa sedikit senang dan bahagia. Karena aku mempunyai harapan lagi untuk menikahinya. Tidak mau membuang kesempatan lagi aku berencana untuk melamar Imeyra minggu depan ke rumahnya. berhubung aku sering mengantar farez pulang kalau pondok liburan. jadi aku sudah sangat hafal jalan menuju rumahnya. “Imeyra tunggu aku ya sayang. minggu depan pangeranmu akan datang melamarmu” gumamku dalam hati.
***
Akhirnya hari pernikahanku pun tiba. Pesta pernikahan digelar dengan sangat meriah. Degung sunda mengalun sangat merdu memanjakan telinga para tamu undangan. Meja prasmanan yang panjangnya sepuluh meter. membujur dari arah selatan. Di atasnya tersaji begitu banyak masakan dan jajanan khas tanah pasundan. lengkap dengan mojang priangan yang melayaninya.
Tamu undangan pun tak henti-hentinya mengucapkan selamat atas pernikahanku. bahkan teman-teman pondokku juga turut datang menghadiri pesta pernikahanku hari ini.
Akhirnya di atas pelaminan ini aku bisa foto bareng bersama Imeyra. Yang sekarang telah sah menjadi anak tiriku. Karena aku dan ibunya telah resmi menikah. Ya aku menikah dengan ibu Fatmawati.
Ceritanya dua bulan yang lalu. Pada waktu aku memberanikan diri untuk melamar Imeyra di rumahnya. aku malah mengobrol dengan ibunya. Karena Imeyra sedang pergi. Waktu itu aku berterus terang kalau kedatanganku ke rumahnya adalah untuk melamar Imeyra. Namun ibu Fatmawati menjawab kalau Imeyra masih trauma dengan pernikahan sebelumnya. Jadi untuk sekarang ia tidak mau menikah dulu sampai batas waktu yang belum pasti.
Tanpa disangka ibu Fatmawati justru mengajukan diri untuk dinikahi olehku. dengan alasan untuk menghidupkan kembali pondok pesantren milik almarhum ayahnya. karena ia yakin kalau aku bakalan sanggup untuk mengurus pondok pesantren tersebut.
Awalnya aku hendak menolak. namun setelah aku pertimbangkan aku pun menyetujuinya. Lagi pula ibu Fatmawati ini masih cantik dan awet muda. punya pondok pesantren dan punya banyak bisnis. jadi dengan menikahinya, aku ngga usah capek-capek buat cari kerja.