Kemajuan peradaban suatu bangsa tidak terlepas dari penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan peradaban yang merupakan sebuah keniscayaan juga telah memunculkan kemajuan serta realitas baru di tengah masyarakat dunia. Di samping kehadiran teknologi informasi dan komunikasi yang terus berkembang pesat dari waktu ke waktu, realitas yang mengiringinya adalah pasar bebas ide (free market of ideas). Dengan kemajuan pola pikir manusia juga menjadikan manusia berpikir terbuka. Di antara hasil dari kebebasan berfikir yang telah menghampiri manusia adalah kesadaran akan hak untuk memperoleh kebebasan dalam pendidikan dan status.
Dengan memanfaatkan kemajuan peradaban, yang memicu kemajuan teknologi cara pandang umat manusia, menjadikan keduanya berjalan beriringan menciptakan dunia baru yang berkebebasan dengan prinsip kesetaraan. Dengan kata lain, setiap masing-masing individu tanpa memandang jenis kelamin, berhak untuk memperoleh kemajuan tersebut. Secara bertahap, prinsip kebebasan memanfaatkan teknologi tersebut melebar pada kebebasan dalam ikut serta berperan secara setara antara laki-laki dan perempuan. Kaum perempuan yang selama beberapa dekade terakhir selalu dilabeli sebagai makhluk inferior, sehingga digolongkan dalam kaum marginal yang dinomorduakan, dalam kesempatan ini mulai antusias ikut terlibat dalam pergerakan ruang publik dan berjalan berdampingan dengan laki-laki. Dalam perkembangannya, ideologi semacam itu memunculkan sifat kemandirian bagi kaum perempuan dan tidak lagi bergantung pada kaum laki-laki. Dari situlah, muncul sekelompok dan segolongan orang yang mulai membuka mata dan peduli pada nasib kaum perempuan disebut feminisme.
Feminisme sebagai gerakan ideologi yang memiliki tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan, yakni, untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, dan sosial. Gerakan feminisme yang muncul sebagai bentuk penolakan terhadap banyaknya bentuk diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami perempuan, mendatangkan banyak argumen dan pemikiran baru mengenai pengangkatan hak dan martabat perempuan. Indikator tersebut melahirkan prinsip kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, serta mengeluarkan kaum perempuan dari ketidakadilan juga peran domestik yang mengikat.
Sebagai agama yang rahmatan lil alamin, Islam menyadari akan banyaknya persoalan-persoalan baru yang bermunculan. Bahkan, gerakan feminisme dengan isu kesetaraan gendernya pun menjadi persoalan kontemporer dan terus menimbulkan kontroversi dalam dunia Islam. Oleh karenanya, para umat muslim yang berpegang teguh pada Al-Quran, menjadikan Al-Quran sebagai rujukan utama untuk menganalisa keabsahan pandangan tersebut. Mengingat ideologi feminisme mulai memasuki sendi-sendi kehidupan umat Islam dalam beberapa persoalan yang menyangkut hukum, para pemikir dan cendekiawan muslim pun ikut hadir menanggapi isu tersebut.
Islam sangat menentang perbedaan hak antara laki-laki dan perempuan. Islam juga menjunjung tinggi konsep keadilan sesama manusia. Karena itu, selain kodratnya, tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Berangkat dari sana, Islam cukup terbuka dengan ideologi feminisme dengan prinsip kesetaraan dan keadilannya. Meski oleh beberapa kelompok seringkali dianggap buruk, misalnya, menyalahi adat, menggeser peran laki-laki, menimbulkan efek negatif dalam budaya kontemporer, seperti adanya kebebasan berhubungan seksual, perceraian, pakaian yang minim dan sebagainya” (Arivia, 2006, hlm.3). Bahkan feminisme disebut sebagai “Praktik sekulerisme, liberalisme dan pluralisme agama” (Sushartami, 2003, hlm.3).
Meskipun dianggap negatif, hingga pada abad modern seperti ini feminisme masih memperjuangkan kesetaran hak antara laki-laki dan perempuan. Karena pada kenyataanya marginalisasi terhadap perempuan masih saja terjadi, baik itu di tempat kerja, rumah tangga, bahkan kultur dan negara. Dalam diskriminasi ekonomi misalnya, “perempuan mengerjakan ¾ pekerjaan di dunia, kemudian perempuan memproduksi 45% hasil makanan namun mereka hanya menerima 10% penghasilan dunia dan hanya 1% kepemilikan property” (Arivia, 2003, hlm.11). Selain itu pekerjaan perempuan seringkali dikategorikan sebagai pekerjaan gratis, yaitu “pekerjaan yang tidak bernilai atau kurang bernilai secara finansial (Arivia, 2003, hlm. 12).
Ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan seperti yang disebutkan sebelumnya merupakan tugas dari hadirnya feminisme untuk mengatasinya. Namun tetap saja feminisme dipandang secara negatif oleh masyarakat. Sikap skeptis masyarakat terhadap feminisme dapat terjadi karena adanya sebuah anggapan yang menyebutkan bahwa feminisme telah beranjak terlalu jauh dan kabur dari tujuan awal sebenarnya. Jika kita lihat dari tujuan awal gerakan femininisme, sebenarnya tujuan awal gerakan ini adalah sebagai perjuangan guna meningkatkan kesempatan perempuan untuk mendapatkan persamaan hak dalam kebudayaan yang didominasi oleh laki-laki.
Feminisme tidak saja hanya untuk perempuan, melainkan untuk laki-laki atau bagi siapapun mereka yang tertindas dan terpinggirkan. Karena pada kenyataannya, feminisme tidak hanya berfokus pada frasa keperempuanan, melainkan hadir untuk mereka yang termarginalkan.
Seiring kemajuan ideologi dan para tokoh-tokohnya, berbagai pandangan yang ditawarkan pun semakin berkembang. Berbagai argumen yang bermunculan dari hasil perkembangan ideologi feminisme pun beragam. Namun, yang perlu di sadari dalam hal ini ialah bahwa ideologi atau gerakan feminisme bukan untuk mengikat atau menetapkan peraturan tertentu, melainkan sebagai pilihan dalam kondisi tertentu. Karena itu, dengan adanya feminisme inilah, dapat memberi setiap individu untuk memilih peran dan status masing-masing. Feminisme juga memberikan berbagai pandangan yang menyeluruh seperti kebebasan, kritik terhadap logika hukum yang selama ini digunakan, sifat manipulatif dan ketergantungan hukum terhadap politik, ekonomi, peranan hukum dalam membentuk pola hubungan sosial, dan pembentukan hierarki oleh ketentuan hukum secara tidak mendasar.