Dalam bahtera rumah tangga, berbagai percekcokan dan perselisihan kerap kali terjadi dalam pernikahan. Hal tersebut tidak akan menjadi masalah besar jika keduanya tidak melakukan atau menjadi korban kekerasan atas permasalahan tersebut. Sebagaimana yang kita ketahui, bahwa salah satu masalah dalam rumah tangga kerap kali disebut sebagai nusyuz.
Menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir dalam bukunya yang berjudul Qira’ah Mubadalah, nusyuz merupakan kebalikan dari sikap taat. Dalam pernikahan pasangan suami istri dituntut untuk menghadirkan kebaikan (jalb al-mashalih) dan menghindarkan keburukan (dar`u al-mafasid), maka menghindari diri dari sikap nusyuz adalah bentuk dari menghindarkan keburukan dalam bingkai rumah tangga. Nusyuz berarti salah satu pihak dari suami maupun istri merasa kurang nyaman, enggan dan hendak berpaling kepada yang lain sehingga permasalahan ini tidak hanya mungkin terjadi pada istri, tapi juga suami.[1]
Pemahaman yang keliru pada ayat al-Qur’an terkait relasi antara suami istri dapat mengakibatkan pembenaran atas kasus kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga. Pemukulan kerap kali dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menangani kasus tersebut. Ayat qur’an seakan-akan menjadi legalitas untuk melakukan kekerasan. Oleh karena itu, mari kita mencoba untuk kembali mengkaji permasalahan tersebut.
Allah Swt berfirman dalam Surah an-Nisa` ayat 34:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا اَنْفَقُوْا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُۚوَالاَّتِيْ تَخَافُوْنَ نُشُوْزَهُنَّ فَعِظُوْهُنَّ وَاهْجُرُوْهُنَّ فِيْ الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوْهُنَّۖ فَاِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَاتَبْغُوْا عَلَيْهِنَّ سَبِيْلًا إِنَّ اللهَ كَانَ عَلِيَّا كَبِيْرًا
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” QS. an- Nisa [4] :34
Mengenai pemukulan terhadap istri yang nusyuz, Syaikh Muhammad Nawawi al-Jawi menafsirkan lafadz “dharb” tersebut dengan disertai batasan pemukulan yang tidak melukai, tidak menyebabkan terpisahnya anggota badan, dan tidak melakukan pemukulan pada wajah. Bahkan beliau menganjurkan agar pemukulan hanya boleh dilakukan menggunakan sapu tangan yang lembut. Akan tetapi, lebih utamanya adalah meninggalkan pemukulan tersebut,
(وَاضْرِبُوْهُنَّ) إِنْ لَمْ يَنْجُعُ الْهِجْرَانِ ضَرْبًا غَيْرَ مُبَرِّحٍ وَلَاشَائِنٍ وَالْأَوْلَى تَرْكُ الضَّرْبِ فَإِنْ ضَرَبَ فَالْوَاجِبُ اَنْ يَكُوْنَ الضَّرْبُ بِحَيْثُ لَايَكُوْنُ مُفْضِيًا اِلَى الْهَلَاكِ بِأَنْ يَكُوْنَ مُفَرِّقًا عَلَى الْبَدْنِ بِأَنْ لَايَكُوْنَ فِيْ مَوْضِعِ وَاحِدٍ وَاَنْ لَايُوَالِيَ بِهِ وَاَنْ يَتَّقِيَ الْوَجْهَ وَاَنْ يَكُوْنَ بِمِنْدِيْلٍ مَلْقُوْفٍ
“(Memukulnya), jika dua solusi tersebut (menasihati dan pisah ranjang) tidak dapat mempengaruhinya (tidak dapat menyelesaikan masalah), maka suami memukulnya dengan pukulan yang tidak melukai dan tidak menimbulkan adanya aib ataupun kecacatan. Dan lebih utamanya adalah dengan meninggalkan pemukulan tersebut. Kalaupun mengharuskan adanya pemukulan, maka tidak diperbolehkan hingga menimbulkan kerusakan, tidak mengakibatkan anggota badan terpisah, dan tidak pada wajah. Pukulan hanya boleh dilakukan dengan menggunakan alat semacam sapu tangan yang lembut” [2]
Dalam menganalisa masalah maka tidak cukup dikaitkan dengan teks. Sebuah hukum harus disesuaikan dengan konteks. Melihat waktu, mukhotob, dan zaman yang berbeda maka akan melahirkan hukum yang berbeda pula. Penulis tidak mengatakan bahwa teks salah dan tidak relevan, akan tetapi sudah tepat dan relevan pada zamannya. Sehingga dengan melihat kondisi budaya zaman lampau yang pastinya memiliki perbedaan dengan zaman yang tengah kita rasakan.
Ayat tersebut turun pada waktu kondisi perempuan saat itu benar-benar sulit untuk mendapatkan ruang aman. Mereka menjadi korban atas tradisi kejahiliyahan yang menempatkan perempuan sebagai benda sehingga bebas untuk dianiaya sesuka hati. Sehingga ada dugaan kuat bahwa ketiga solusi tersebut (menasehati, pisah ranjang, pemukulan) adalah bentuk peminimalisiran terhadap bentuk kekerasan. Berawal dari pemukulan yang terjadi semena-mena, kemudian diminimalisir dengan adanya tahapan-tahapan, kemudian dipersulit lagi dengan batasan-batasan hingga larangan akan terjadinya kasus pemukulan. Hal ini tentu tidak bisa dilakukan dengan sekejap mata, harus ada step by step sehingga kemudian prinsip dari suatu hukum dapat benar-benar direalisasikan secara gamblang.
KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), sebagaimana yang disebut dalam UU PKDRT (Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga) No. 23 Tahun 2004 pasal 1 yang berbunyi “Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan seseorang terutama terhadap perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan fisik, seksual, psikologis, atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam ruang lingkup rumah tangga”.[3]
Misi dari dibentuknya undang-undang ini menghendaki agar dapat memberi efek jera terhadap pelaku KDRT serta memiliki rasa takut melakukan penganiayaan sebab akan terkena sanksi hukum yang tidak ringan bagi para pelaku KDRT. Diakui ataupun tidak, terbentuknya UU PKDRT dapat menjadi sarana terkuaknya kasus KDRT serta bentuk dari pengupayaan hak-hak korban. Selain itu, hal ini juga merupakan upaya pemerintah yang juga memiliki tanggung jawab untuk menanggulangi kasus kekerasan yang kian hari semakin mewabah. Sebagaimana Ibnu ‘Asyur yang juga mengusulkan agar negara membuat peraturan perundang-undangan yang melarang kasus pemukulan terhadap istri.
Oleh karenanya, solusi dari permasalahan ini juga telah disebutkan dalam surah an-Nisa ayat 128. Dalam ayat tersebut sangat dianjurkan untuk berdamai dan kembali pada komitmen awal yakni membentuk keluarga yang mencintai dan mengasihi. Dalam ayat tersebut, berdamai adalah jalan terbaik sekalipun biasanya masih mendapati rasa syukh (egois). Di antaranya yaitu dengan berbuat baik (ihsan) dan bertakwa dengan menjaga diri dari bersikap buruk terhadap pasangan.[4]
Kekerasan dalam bentuk apapun tidak akan bisa dijadikan solusi dalam penyelesaian masalah. Karena hal ini bertentangan dengan prinsip pernikahan yaitu berpasangan (zawaj) dengan saling berbuat baik satu sama lain (mu’asyarah bil ma’ruf). Berbagai upaya pencegahan atas segala bentuk kekerasan dapat dipahami sebagai bentuk perjuangan atau jihad melawan kebodohan, kemungkaran, dan kebatilan. Oleh karena itu, sebagai khalifah fi al-ardh kita memiliki kewajiban untuk kembali mewujudkan cita-cita Islam selalu menawarkan akhlaqul karimah dan yang rahmatan lil `alamin.
[1] Faqihuddin Abdul Qadir, Qira`ah Mubadalah (Yogyakarta: IRCiSoD,2019), hal.409-410
[2] Muhammad Nawawi al-Jawi, “Tafsir al-Munir”, Juz 1, (Surabaya: Dar al-Ilm), hal. 149
[3]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2004, tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga https://www.dpr.go.id/dokdijh/dokumen/uu/24/pdf diakses pada tanggal 18 Juni 2023 pukul 20.50
[4] Faqihuddin Abdul Qadir, Qira`ah Mubadalah (Yogyakarta: IRCiSoD,2019), hal.410