“Ngaji teu ngejo lapar, ngejo teu ngaji sasar, teu ngaji teu ngejo modar!” (Mengaji tapi tidak makan pasti lapar, makan tapi tidak mengaji nanti tersesat, tidak mengaji juga tidak makan mati!).
Tulisan di belakang baju salah satu Kang Santri yang saat itu tak sengaja terbaca, cukup membuat saya melamun. Kutipan dengan bahasa Sunda itu kiranya membuat saya ingin merenungi lebih dalam maksud dari kata-kata tersebut, “orang kalau nggak ngaji nanti kesasar, terus orang kalo nggak makan nanti lapar”. Apa hanya itu saja yang dimaksudkan dengan kutipan itu, atau ada makna terselubungnya. Dan rasa penasaran saya semakin bertambah sampai akhirnya timbul sebuah pertanyaan, mana sih yang lebih penting bagi kita sebagai manusia yang diberikan hidup di muka bumi ini, apakah lebih penting ngaji atau lebih penting makan, atau keduanya merupakan dua komponen dalam kehidupan yang tidak dapat dipisahkan? Kalau menurut pembaca bagaimana?
Demi menuntaskan rasa penasaran saya itu, saya mencoba mendalami dari satuan kata ke satuan kata yang lain, yang pertama ialah “Ngaji teu ngejo lapar”, kalau diartikan dalam bahasa verbal, orang yang mengaji tapi dia tidak makan nanti akan merasa lapar, jika kita lihat mafhum mukholafah-nya berarti kalau kita ngaji lalu kita juga makan maka kita tidak akan kelaparan. Lalu kita coba berfokus pada kata kerja berupa makan, makan merupakan sebuah kegiatan mengkonsumsi makanan atau minuman yang berfungsi untuk menjadi sumber energi bagi makhluk hidup dan memungkinkan terjadinya sebuah pertumbuhan.
Makan merupakan sebuah kebutuhan alami yang dimiliki oleh seluruh makhluk hidup yang ada di muka bumi, semua makhluk hidup membutuhkan makan untuk bertahan hidup. Manusia, binatang, tumbuhan, sampai makhluk mikro organisme membutuhkan asupan makanan, bahkan sistem tubuh manusia kerap kali mendapat sinyal dari perut untuk segera mengisinya dengan makanan.
Allah Swt. dalam firman-Nya sudah memastikan rezeki kepada seluruh ciptaan-Nya yang ada di muka bumi, bahkan sebelum makhluk itu terwujud di dunia ini, Allah Swt. sudah mencatatkan bagian untuk makhluk tersebut, termasuk makanan yang merupakan rezeki dari Allah, tertuang dalam surat Hud ayat 6, yang artinya “Dan tidak ada suatu binatang melata pumn di muka bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezekinya…”. Jika kita melihat tafsiran ayat tersebut, dapat dipahami bahwa rezeki seluruh makhluk yang ada di muka bumi ini sudah terjamin oleh Sang Pencipta. Lalu apa guna jika kita memikirkan sesuatu yang sudah dipastikan oleh Allah Swt. bukankah hal demikian termasuk menghinakan Tuhan, karena merasa dirinya lah yang menjadi sebab datangnya rezeki.
Satuan kata selanjutnya ialah “Ngejo teu ngaji sasar”, secara sederhana dapat diartikan, jika manusia hanya makan tetapi tidak mengaji maka dia akan tersesat. Mengaji merupakan kata general yang kerap kali dikaitkan dengan aktifitas membaca Alquran, ataupun mengkaji kitab kuning, padahal kata ngaji sendiri dapat dikaitkan dengan aktifitas apapun, yang pada intinya mengaji adalah sebuah kegiatan berupa kegiatan fisik maupun batin yang dapat menambah sebuah wawasan, yang mana bermuara pada tambahnya rasa takut kita kepada Sang Pencipta.
Dalam dunia pesantren, mengaji sudah melekat dalam seluruh civitas pesantren, mengaji ibarat hembusan nafas bagi mereka yang sedang dalam pesantren, semua kegiatan dalam pesantren dapat dihitung sebagai pengajian. Tapi saya ingin berfokus pada makna mengaji pada umumnya, mengaji adalah sebuah cara untuk terus memperdalam ilmu pengetahuan.
Mengaji atau dapat kita sebut mencari ilmu, merupakan sebuah kefarduan bagi setiap muslim, dengan mengaji kita dapat mengetahui berbagai hukum syari’at yang ada dalam kehidupan ini, selain itu mengaji dapat membantu kita untuk lebih mengenal diri kita sendiri yang menjadi jalan untuk mengenal dan dekat dengan Allah Swt., seseorang yang memiliki ilmu diibaratkan orang yang memilki lentera dalam gelapnya malam, dengan ilmu manusia dapat membedakan mana hal yang baik dan tidak baik.
Sepertinya dua komponen ini tidak bisa dipisahkan dalam kehidupan sebagai seorang muslim, makan berfungsi untuk memberikan kekuatan pada tubuh guna menjalani aktivitas sehari-hari, dengan memakan makanan yang mengandung gizi cukup, maka tubuh kita tidak akan mengalami kekurangan asupan tenaga dan memungkinkan untuk terus berkembang, sedangkan ilmu adalah aset berharga manusia guna menunjang kehidupan yang lebih layak.
Lalu jika memang kedua hal ini harus berseberangan, mana yang lebih penting bagi manusia?
Kutipan dalam kitab Madariju al-salikin karya Imam Ibnu Qoyyim al-Jauzi kiranya dapat sedikit memuaskan dahaga saya dari njelimet-nya pikiran saya untuk memutuskan mana yang lebih berharga antara ilmu dan makan. Beliau menuturkan dari Imam Ahmad bahwa:
الناس الى العلم احوج منهم الى الطعام والشراب لأن الرجل يحتاج الى الطعام والشراب في اليوم مرة او مرتين وحاجته الى العلم بعدد انفاسه.
“Manusia lebih membutuhkan ilmu daripada kebutuhannya terhadap makanan dan minunman. Sebab seseorang membutuhkan makanan dan minuman sekali atau dua kali dalam se-hari, sementara kebutuhan terhadap ilmu sebanyak hembusan nafasnya”
Bukti paling akurat yang menunjukkan kemuliaan ilmu, bahwa kelebihan orang berilmu daripada semua manusia seperti kelebihan rembulan pada malam purnama daripada semua bintang. Semua orang pasti makan, dengan kadarnya masing-masing, ada yang banyak-sedikit, sekali-dua kali dalam sehari, enak-kurang enak, tetapi dalam keilmuan, jika memang ilmu itu tidak digali, maka seseorang tidak dapat merasakan keindahan ilmu tersebut.
Bukti lain yang menjadi tolok ukur ilmu itu lebih penting daripada makan ialah, dengan ilmu kita bisa membedakan mana makanan yang enak dan layak untuk dimakan, atau bahkan kita bisa membuatnya lebih enak, begitu bukan?