Pada suatu ketika, kala cakrawala menunjukan renjananya pada malam gelisah. Sebuah kampus bernama Universitas Hijau Daun (UNHIDA) tengah mengadakan pemilihan tunas baru. Tunas baru ini diyakini para maha sampah untuk menggantikan tunas lama yang kian hari kian layu. Diharapkannya tunas baru ini, mempunyai kapabilitas tinggi dan juga mampu berkompeten dibidang apapun.
“Eh, ngomong-ngomong latar belakang mereka mencalonkan diri itu apa, ya?” Tanya Ujang.
“Iya, ya, kira-kira apa, ya?” tambah Jauhar.
“Hmm … Apa mungkin salah satu dari ketiga calon tunas ini mempunyai garis keturunan bibit tanaman yang unggul? Lantas dia mencalonkan tunas dari peranakannya, untuk menjadi kandidat dalam pemilihan tunas tahun ini,” tukas Tony.
Memang disaat seperti inilah para maha sampah kampus Hijau Daun berdiskusi mengenai tunas baru yang akan memimpin jalannya ekosistem. Namun dihari biasanya para maha sampah ataupun aktivis maha sampah Hijau Daun lebih memilih diskusi ringan. Entah perihal keluarga, teman atau sang kekasih yang keberadaannya hingga kini masih jadi misteri yang tak pernah dituntaskan oleh detektif sekalipun.
“Hmm … Kalian pilih nomer berapa?” tanya Ujang.
“Aku sih nomeer …” Belum sempat ia melanjutkan ucapannya, Toni langsung menutup mulutnya.
“Sstt … Dokumen negara ini, sangat rahasia!” kata Tony.
“Kita gak boleh menyebut pilihan kita didepan umum apalagi didepan keluarga,” sambungnya lagi.
“Loh kenapa? Itukan keluarga kita. Orang yang paling dekat dengan kita . Masa kita gak boleh mengungkapkan isi hati pilihan kita kepada keluarga tercinta? ” tanya Jauhar.
“Iya, kelurga memang orang yang paling dekat dengan kita. Tapi, kita kan tidak tahu bahwa orang yang paling dekat itu bisa saja menjadi orang yang paling berkhianat. Ya, kan? Dan aku pun bisa saja berkhianat mengkhianatimu saat ini, Har,” Jelas Tony.
“Oh, iya ya.” Jauhar mengangguk.
Akhir-akhir ini langit selalu mendung menggantung. Namun tidak berlaku bagi kampus Hijau Daun. Akhir-akhir ini panas selalu menyertai maha sampah, terlebih lagi para ketiga calon Tunas baru ini . Bara api neraka seakan-akan mengalahkan panasnya suasana hati mereka.
“Hmm … Siang ini mau kemana kita?” tanya Ujang.
“Iya, ya, kemana,ya?” tambah si Jauhar.
“Gimana kalau kita ke kedai Wa Ladolin. Kita ngebakso di sana!” usul Tony.
“Oke.”
“Gaas!”
Setelah tiba di kedai Wa Ladolin mereka segera memesan bakso dan teh manis, lalu duduk menunggu hidangan yang sedang dibuat. Selagi menunggu mereka berbincang-bincang mengenai pemilihan Tunas itu.
Suatu saat apabila salah satu dari mereka sudah terpilih, bagaimana nasib kampus Hijau Daun ini kedepannya, ya?
Mungkin bisa lebih meningkat drastis, stagnan, monoton atau mungkin juga merosot krisis.
Disela-sela perbincangan hangat itu ada pelanggan yang selesai makan seorang diri, namun ia nampak kebingungan mencari sesuatu yang hilang.
“Mas, nyari apa?” tanya Ujang.
“Nyari suara kang …,” jawab pria agak gondrong berambut sepundak itu.
Seketika mereka bertiga terhenyak dan saling tatap-tatapan satu sama lain.
“Mana ada suara dicari mas?” tanya Jauhar.
Pria itu balik bertanya, “Kata siapa gak ada kang?”
“Loh, kalau pun ada memangnya suara apa? di mana?” tanya Ujang lagi.
“Suara rakyat. Dicoblos pada lembaran kertas,” jawab pria bercelana hitam cingkrang sebetis itu.
Mereka bertiga terdiam sejenak.
Sekonyong-konyong bakso pun disajikan. Dengan penuh rasa cinta pada pelanggan , pelayan kedai menaruh piring demi piring secara perlahan, gelas demi gelas satu per satu. Mereka bertiga pun makan sajian di depan mata dengan sigap.
“Ini katanya bakso, kok ada mie, bihun, toge dan lemak daging sih?” tanya Ujang.
“Iya, ya. Kok gak bakso nya saja gitu?” tambah Jauhar
“Kalian berdua kumaha madang? Inilah yang disebut satu kesatuan yang utuh. Makan bakso bukan hanya sekadar makan baksonya saja, melainkan ada beberapa makanan lain yang tidak disebutkan. Terlepas kalian tergolong tipe makan yang mana. Apakah makan baksonya terlebih dahulu, mie, toge, bihun, lemak daging, air kuah atau yang terakhir dimakan baksonya,” jelas Tony panjang kali lebar.
“Oh, gitu, ya. Iya, ya.” Jauhar mengangguk.
“Kok aku gak mikir ke sana, ya,” sambung Ujang.
“Itulah kerennya bangsa indonesia. Yang tercatat memiliki 711 bahasa dan menduduki peringkat kedua. Bahasa daerah terbanyak setelah papua nugini yang berjumlah 840 bahasa. Yang ketiga ada nigeria berjumlah 517 bahasa. Dan masih banyak yang lainnya didunia. Meskipun demikian, terkadang bisa bahasa daerahnya satu, namun logatnya berbeda. Dan itulah kita. Bangsa Indonesia,” Papar Tony lagi.
Tanpa sadar ketika ia tengah menjabarkan panjang kali lebar penjelasan mengenai hal tersebut, baksonya dimakan habis oleh temannya.
“Ah, kau habiskan bakso punyaku, ya!” tuduh Tony marah.
“Punya siapa?” tanya Ujang.
“Punya aku lah!”
“Jangan asal bicara kau. Ini punyaku, lihat di pinggir lenganmu tuh. Punyamu masih utuh,” bela Ujang.
Tony melihat ke samping bawah lengannya sambil nyengir kuda.
Di hari pencoblosan itu mereka mencoblos sesuai hati nurani pikiran mereka masing-masing. Semuanya bebas mencoblos tanpa ada dorongan maupun paksaan. Entah dana yang dikeluarkan oleh kampanye salah satu Tunas atau apalah itu namanya. Karena pilihanmu adalah hakmu, pilihanku adalah hakku. Maka inilah yang dinamakan kebebasan , kemerdekaan dari individu. Terbebas dari doktrin-doktrin yang mengganggu, terlepas dari tekanan-tekanan menyesakkan. Kita tidak berhak mengganggu kebebasan orang lain. Apalagi mempekerjakan mereka tanpa upah barang sedikitpun!
***