Menjelang bulan suci Ramadan, setiap daerah mempunyai caranya masing-masing untuk menyambut bulan mulia ini dengan gembira. Beberapa daerah ada yang mengadakan syukuran bersama, baik dalam skala kecil maupun besar, ada yang nyekar ke kuburan orang tua, sampai ada yang pawai obor, arak-arakan, dan lain sebagainya. Begitu pula yang dilakukan oleh masyarakat muslim yang berada di Kota Waikabubak Sumba Barat, yang mana kebetulan penulis berkesempatan untuk menimba ilmu di Pesantren Baitul Hikmah Waikabubak yang muassis-nya yakni KH. Pua Monto Umbu Nay (Kang Ahsin) merupakan santri dari Al-Maghfurlah Romo KH. Muhammad (Akang).
Perlu diketahui sebelumnya, masyarakat di Kabupaten Sumba Barat memiliki keyakinan yang beragam, berbagai agama dan keyakinan yang berbeda hidup rukun bersama dan saling menghormati satu sama lainnya. Kerukunan umat beragama yang tinggal bersama di sini merupakan sebuah kultur masyarakat yang sangat istimewa, tidak ada gesekan atau antipati antara satu dengan lainnya. Bahkan dalam peringatan-peringatan salah satu agama, masyarakat yang bukan pemeluk agama tersebut terkadang ikut membantu dan juga memeriahkan peringatan tersebut. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat muslim yang berada di daerah Jawa, masyarakat muslim Kota Waikabubak juga turut memeriahkan kedatangan bulan suci Ramadan tahun ini. Berbagai kegiatan diselenggarakan oleh organisasi masyarakat muslim di kota ini, seperti lomba gerak jalan, bazar sembako murah, sampai pawai digelar untuk memeriahkan Ramadan tahun ini.
Saya kira, pawai di sini sama seperti apa yang dilakukan di kampung halaman saya di Jawa sana. Tetapi, ada hal yang membuat saya merasa bahwa pawai menyambut Ramadan di sini lebih istimewa. Selain karena pengalaman saya sebagai perantau, toleransi dan kerukunan umat beragama di sini membuat saya terharu. Bagaimana tidak, pawai ini tidak hanya diikuti oleh orang-orang muslim, tak sedikit umat dari agama lain turut serta memeriahkan acara ini. Padahal pawai ini ditujukan untuk menyambut bulan suci Ramadan, yakni bulan sucinya umat muslim.
Pawai ini diikuti oleh berbagai macam organisasi dan lembaga masyarakat, di antaranya jama’ah majlis ta’lim ibu-ibu, Fatayat dan Muslimat NU, jamaah dari Muhammadiyyah, murid-murid dari berbagai sekolah, serta lapisan elemen masyarakat. Kostum yang mereka gunakan juga bermacam-macam, bahkan ada yang memakai pakaian khas masyarakat adat Sumba. Dalam barisan pawai ada macam-macam kreasi yang mereka pertontonkan. Ada yang menggunakan kostum warna-warni, beberapa juga ada yang menambahkan aksesoris sehingga terlihat seperti burung yang indah. Ada beberapa grup drum band dari anak-anak sekolah, bahkan salah satu dari grup drum band tersebut banyak diisi oleh orang-orang non-muslim. Mereka semua berbaur, berbahagia dalam kerukunan tanpa harus mengedepankan ego identitas masing-masing. Sebuah suasana yang mungkin tidak akan saya temui di kampung halaman saya. Kemajemukan umat beragama di sini bukan menjadi sebuah penghalang untuk tetap bersatu dan hidup bersama dalam kerukunan, indah memang jika kita dapat hidup demikian. Sebagaimana ketika Rasul Saw. tinggal bersama umat Yahudi di Madinah, kita semua bisa hidup berdampingan tanpa “embel-embel” agama dan merasa superior atas umat lainnya.
Kerukunan semacam ini menjadi pondasi yang kokoh untuk menyongsong bangsa Indonesia sebagai negara yang toleran dan menghargai kepercayaan masing-masing seperti yang terpatri dalam asas Pancasila. Jangan sampai kemesraan dan kerukunan umat beragama di Indonesia ini “diobok-obok” dan dipecah belah oleh oknum yang tidak menginginkan kita sebagai orang Indonesia hidup damai dan rukun.