Berkaca pada sejarah khalifah, dulu di awal kematian Rasulullah saw. ada peristiwa yang sangat memilukan sebagian hati umat Islam, fakta sejarah tersebut terukir dengan jelas bahwa di saat jenazah Nabi belum dimakamkan para sahabat sibuk dalam urusan “politik”, dan hal tersebut wajar karena bangsa Arab sangat sensitif dalam hal tersebut. Kalau ada yang mengatakan tindakan tersebut merupakan hal yang buruk, sangat tidak bisa dibenarkan, karena bagaimana pun pemimpin harus ada yang menduduki baik secara legal atau ilegal. Cuma yang menjadi pembahasan di sini adalah ada fanatisme sebagian para sahabat di waktu tersebut memilih dengan sepihak secara kelompok.
Kaum Ansor pada saat itu dengan kesepakatan mereka memilih Sa’ad bin Ubadah yang notabennya pemuka Ansor sebagai pengganti atau Khalifah Rasulullah saw secara sepihak. Ini yang membuat kaum Muhajirin yang saat itu sibuk mengurusi jenazah Rasulullah saw merasa geram. Bagaimana mungkin, jenazah Rasulullah saw belum selesai dimakamkan sudah ada kepentingan lain yang membuat suasana menjadi tidak nyaman. Pada akhirnya sahabat Umar bin Khattab, Abu Bakar, dan Abu Ubaida bergegas menemui mereka di Tsaqifah Bani Sa’idah untuk ikut serta dalam musyawarah tersebut.
Abu Bakar mengusulkan Umar bin Khattab dan Abu Ubaida sebagai kandidat dari kalangan Muhajirin. Berhubung musyawarah tidak menemukan titik kesepaktan, akhirnya Umar bin Khattab dengan inisiatif pribadi dan “keegoisannya” mengangkat Abu Bakar sebagai Khalifah Rasulillah yang kemudian diikuti oleh banyak sahabat setelahnya baik kalangan Muhajirin maupun Ansor.
Dari cerita tersebut dapat disimpulkan bahwa keegoisan dalam memilih pemimpin kadangkala sangat diperlukan dan dibutuhkan Sikap pasif atau setengah-setengah tidak bisa menjadi solusi yang terbaik, karena tidak menemukan hasil yang dituju yakni pemilihan pemimpin. Bahkan keegoisan tersebut harus dibarengi dengan terang-terangan, bukan sebagai bentuk anarkisme dalam berpolitik, tapi sebagai bentuk mengemukakan pendapat yang mungkin bisa menjadi solusi.
Meskipun demikian, menjaga sikap dalam berpolitik lebih diutamakan. Tidak serta merta kecondongan kita pada calon tertentu membuat masalah hilang. Bahkan karena keegoisan pribadi masing-masing, pemilihan pemimpin yang awal tujuannya untuk mempersatukan bangsa malah justru menjadi awal kehancuran bangsa tersebut.
Oleh karena demikian, pada saat pengangkatan Khalifah Abu Bakar atau nama lengkapnya ialah Abdullah bin Utsman bin Amir bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ai bin Ghalib Al-Qurasyi At-Taimi, tidak semua sahabat langsung membai’at beliau. Ada beberapa sahabat yang telat memba’iat, diantaranya: Ali bin Abi Thalib, Abbas bin Abdul Muthalib, Fadl bin Al-Abbas, Zubair bin Al-Awwam, Khalid bin Sa’id, Miqdad bin Amir, Salman Al-Farisi, Abu Zar Al-Gifari, Ammar bin Yasir, Bara bin Azib, dan Ubai bin Ka’ab. Ada banyak faktor yang menyebabkan keterlambatan sahabat lain dalam membai’at.
Keputusan para sahabat dalam pembai’atan yang berbeda-beda itu menjnukan bahwa kondusifitas situasi lebih mereka utamakan dibandingakan pengangkatan khalifah. karena bagaimanapun tujuan pengangkatan Khalifah Rasulillah adalah untuk menegakkan kedaulatan dan kedamaian umat. Jangan sampai keterburuan mereka justru membuat situasi menjadi tidak stabil.
Terkait pilpres (pemilihan presiden) di Indonesia yang notabennya dimulai sejak tahun 1955. Hanya saja pengadaan pemilu (pemilihan umum) baru dilakukan pada tahun 2004. Sebelumnya presiden hanya dipilih oleh MPR karena amendemen Undang-Undang Dasar 1945 yang ketiga pada tahun 2001 menjadi tonggak awal perubahan tersebut. Pasal 6A Ayat (1) UUD menyatakan dengan tegas bahwa presiden dan wakil presiden akan dipilih langsung oleh rakyat.
Hal ini adalah langkah yang baik dalam demokrasi kita karena seluruh elemen masyarakat ikut andil dalam pesta demokrasi penentuan pemimpin, di mana kemajuan bangsa dan masyarakat sangat tergantung oleh kebijakan pemimpinnya. Jika pemimpin tersebut mampu memberikan kebijakan yang baik, maka tidak menutup kemungkinan kesejahteraan yang menjadi cita-cita bangsa ini bisa tercapai.
Tapi yang menjadi masalah pada pembahasan kali ini yakni semua masyarakat bisa memilih, namun tidak semua masyarakat memiliki rasa bijak dalam memilih. Kapan mereka harus tegas dalam pilihannya dan kapan mereka harus pasrah dalam pilihannya, ini yang menjadi pekerjaan rumah kita semua. Jangan sampai hasil pilpres sekarang menjadi awal kehancuran bangsa hanya karena kurang literasi dan pemahaman dalam berdemokrasi, dan jangan sampai keegoisan kita tidak menjadi solusi bagi bangsa ini.
Karena penulis pribadi pernah menemukan keterangan di kitab Durrul Farid fi Syarhi Jauhar At-Tauhid karangan KH. Abul Fadhol Senori dari Tuban, salah satu guru KH. Marzuki Ahal Babakan, di situ disebutkan, menukil kitab Muqoddimah Ibnu Khaldun bahwa kebanyakan ulama menyaratkan pemimpin harus dari kalangan Quraisy tujuannya adalah untuk menghilangkan tanazu’ (perdebatan berlebih) di antara masyarakat. Jangan sampai ketidakjelasan pemimpin membuat perdebatan menjadi panjang lebar sehingga timbul permusuhan. Maka solusi para ulama mensyaratkan pemimpin harus dari kalangan Quraisy untuk menghindari itu. Berarti persyaratan tersebut hilang ketika ‘illatnya (tanazu’) hilang.
Kesimpulan yang dapat diambil yaitu, kebijaksanaan dalam kefanatikan pemilu sangat penting untuk mencari solusi terbaik. Tinggal bagaimana bentuk aplikasi fanatisme tersebut, apakah untuk menciptakan perdamaian dan kesejahteraan, atau menciptakan kehancuran dan ketidakteraturan.