Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang agamis dan juga sangat mempertimbangkan agama dalam setiap pengambilan keputusan. Maka tidak heran jika kemudian dalam orasinya Ibu Iklilah mengatakan “Indonesia adalah negara yang menjadi urutan ke 7 dari 148 negara, yang disebut sebagai negara paling religius setelah Somalia, Nigeria, Bangladesh, Ethiopia dan lain-lain.”
Saat tengah meyampaikan Orasi Ilmiah di acara Sidang Senat Terbuka Wisuda Sarjana Angkatan ke-4 Tahun 2024 bulan Juli silam, Ibu Iklilah yang bernama lengkap Dr. Iklilah Muzayyanah Dini Fajriyah S.Th.I., M.Si, salah seorang dosen di Universitas Indonesia berpendapat tentang sarjana Ma’had Aly Kebon Jambu. Beliau mengatakan bahwa terdapat dua hal penting yang menjadi kekuatan bagi para sarjana dalam konteks Indonesia.
Kekuatan yang pertama, adalah karena titik pijak keilmuannya yang di geluti selama berkuliah di Ma’had Aly Kebon Jambu. Mereka tidak hanya sekedar belajar agama untuk agama, tidak hanya membaca agama dalam kerangka agama itu sendiri tetapi juga memahami agama dalam konteks penganutnya.
“Karena kesadaran bahwa agama adalah jalan hidup, agama bukan belenggu hidup, menjadi titik kekuatan kunci dari Ma’had Aly Kebon Jambu. inilah instansi yang nyata dari Sarjana Ma’had Aly Kebon Jambu,” ujarnya kala itu.
Ibu Iklilah menjelaskan tentang pembelajaran yang dipelajari di Ma’had Aly, yang merujuk kepada pemahaman konteks bahwa di Ma’had Aly. Ajaran Islam dipelajari dan direfleksikan dari akarnya, memahami keberagaman tafsir, menelusuri akar pemikiran untuk memahami perbedaan cara pandang dan sikap beragama, lalu kemudian merefleksikannya dalam kehidupan nyata dan mendialogkannya dalam realitas sesungguhnya.
Kekuatan yang kedua, adalah soal perspektif yang di usung. Dari 74 Ma’had Aly yang ada di Indonesia, Ma’had Aly Kebon Jambu merupakan satu-satu nya Ma’had Aly yang menerapkan perspektif kesetaraan dan keadilan gender dalam kurikulumnya. Yang mana dari persfektif tersebut menekankan dan mengedepankan prinsip-prinsip kemanusiaan secara universal. Kemudian dalam orasi ilmiahnya, Ibu Iklilah mengatakan, “Konteks kemanusiaan ini dimaknai tidak hanya sebagai tubuh, tetapi manusia di bongkar melalui interseksionalitasnya baik dalam konteks identitas jenis kelamin maupun gendernya.”
Mengapa perspektif kesetaraan gender di usung oleh Ma’had Aly Kebon Jambu? Hal ini ternyata tidak lepas dari asal muasal berdirinya Ma’had Aly. Ia bermula dari sebuah gerakan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 25-27 April 2017 lalu. Dan karena diperlukan kaderisasi Ulama Perempuan, maka diantara rekomendasinya adalah didirikannya Ma’had Aly di Pondok Kebon Jambu dengan Takhasus Fiqh-Ushul Fiqh-nya (Konsentrasi Al-Ahwal Asy-Syakhsiyyah) yang merupakan pendidikan tinggi keagamaan berbasis keilmuan pesantren. Kebetulan saat itu Pondok Kebon Jambu Al-Islamy menjadi tuan rumah dari Kongres KUPI yang pertama. Perspektif tersebut nampak jelas dalam moto Ma’had Aly yang diadopsi dari KUPI, yaitu Musawah, Adalah, dan Amanah.
Menurut Ibu Iklilah, perspektif keadilan serta kesetaraan gender merupakan sesuatu yang sangat urgent, yang perlu diajarkan dan diseminasikan pada seluruh jenjang pendidikan Islam baik di tingkat Paud, Dasar, Menengah hingga di Perguruan Tinggi. Bahkan penting juga di ruang pendidikan informal serta nonformal. Karena menurutnya, melihat adanya tantangan dalam sistem pendidikan Islam di Indonesia yang saat ini masih kuat dalam paradigma androsentris, perspektif tersebut di atas tentulah akan berpengaruh bagi keberlangsungan keputusan keagamaan hingga kebangsaan.
Kondisi ini berakibat pada bagaimana perempuan belum sepenuhnya menjadi subyek utuh yang dipertimbangkan dalam sistem pendidikan di Indonesia. Ibu Iklilah merefleksikan hal ini dalam 4 aspek. Yang pertama adalah soal pengetahuannya. Yang kedua adalah aktor rujukan dalam pengambilan keputusan. Yang ketiga adalah referensi yang di gunakan dan yang keempat adalah proses pembangunan pengetahuan itu sendiri.
Yang pertama soal pengetahuan. Lebih tepatnya soal subjek dari pengetahuan itu. Perempuan masih belum sepenuhnya menempati posisi yang strategis dalam pengambilan keputusan di lembaga-lembaga keagamaan berbasis Islam. Hal ini terlihat betul dalam realita kepemimpinan perempuan di lembaga-lembaga tersebut. Baik di lembaga pendidikan formal maupun pendidikan nonformal.
Ibu Iklilah menjabarkan data mengenai peran kepemimpinan perempuan dalam institusi pendidikan berbasis keagamaan di Indonesia. “Sebagai contoh, data tahun 2020 menunjukkan bahwa Kepala Madrasah Ibtidaiyyah yang berjenis kelamin perempuan kurang dari 20 persen. Padahal kalau kita lihat, guru di Madrasah Ibtidaiyyah lebih banyak yang berjenis kelamin perempuan.”
“Kita bisa lihat juga misalnya pada Rektor Perguruan Tinggi Keagamaan Islam. Data tahun 2020 juga menunjukkan bahwa hanya ada 12 persen Rektor Perempuan dari 58 Perguruan Tinggi Keagamaan Islam di Indonesia. Sementara kalau kita menghitung juga Profesornya, maka dari 588 profesor di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam negeri hanya ada 77 Profesor Perempuan atau hanya 13% saja. Gambaran perempuan sebagai pemimpin di institusi pendidikan formal keagamaan ini sesungguhnya sudah menunjukkan situasi yang jauh lebih baik kalau kita bandingkan dengan kepemimpinan perempuan di pendidikan keagamaan nonformal pesantren,”
“Data Kementerian Agama tahun 2020 juga menginformasikan bahwa Pondok Pesantren di Indonesia berjumlah 36.000 lebih, dengan jumlah santri lebih dari 3,4 juta. Lalu dari jumlah pesantren tersebut, terdapat 74 Ma’had Aly. Tapi pertanyaannya, berapakah pemimpin pesantren yang perempuan? Susah menemukannya kecuali hari ini di Pesantren Kebon Jambu,” lanjut Ibu Iklilah.
Tantangan yang kedua adalah soal aktor rujukan sumber pengetahuan Islam yang masih didominasi oleh kebutuhan laki-laki. Masyarakat Indonesia seperti yang telah disinggung di atas, yakni masyarakat yang menjadikan agama sebagai pertimbangan utama. Aktor yang di rujuk dari pengambilan keputusan masyarakatnya masih merujuk kepada tokoh agama yang berjenis kelamin laki-laki. Baik itu soal rujukan untuk permintaan nasihat ataupun konsultasi soal keagamaan. Hal ini didasari oleh pemahaman tafsir tentang kepemimpinan laki-laki yang lebih utama. Bahkan diksi ulama seringkali kita pahami dan kita artikan sebagai laki-laki belaka.
Kurangnya pemahaman atas kebutuhan perempuan dapat berakibat terhadap proses yang akan berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari. Baik sebagai diri, relasi maupun sebagai konteks sosialnya. Karena resikonya, ketika masyarakat berkonsultasi kepada tokoh yang hanya mempertimbangkan kebutuhan laki-laki, maka pengetahuan atas solusi dari problematika sosial tentu akan mengedepankan perspektif dan paradigma laki-laki semata.
Ibu Iklilah bercerita tentang seorang Kiai asal Jawa Tengah yang merupakan seorang Kiai Jaringan Ulama Perempuan (KUPI). Beliau memilki pengikut jama’ah dari majlis yang dipimpinnya. Kerap bila salah seorang dari jama’ahnya bertanya terkait suatu problem agama, dibalik layar, pak Kiai selalu bertanya dan berdiskusi kepada Ibu Nyai yang tidak lain adalah istrinya sendiri. Pertanyaan tersebut ia tanyakan kepada istrinya karena terdapat isu perempuan di dalamnya. Seperti tentang masalah menstruasi atau haid, yang mana mungkin seorang lelaki paham karena permasalahan itu berasal dari sesuatu yang perempuan rasakan. Alhasil, dari diskusi masalah tersebut, ia jadikan sebuah fatwa yang kemudian disampaikan kepada jama’ahnya.
Pemecahan problem atas suatu kasus yang diatasi lewat diskusi dan saling tukar pikiran antara kedua belah pihak menandakan bahwa pemberian solusi atas permasalahan tidak sepenuhnya mengedepankan perspektif dan paradigma menurut salah satu pihak. Ada maslahah dan mafsadah yang perlu dipertimbangkan secara matang. Seperti cerita yang di sampaikan Ibu Iklilah di atas. Pak Kiai tidak serta merta memberikan jawaban hanya menurut cara pandang dirinya, tetapi juga meminta saran dan pendapat dari istrinya, bagaimana solusi tepatnya untuk menyikapi permasalahan yang mengandung isu-isu perempuan di dalamnya.
Tantangan yang ketiga adalah soal sumber belajar dalam sistem pendidikan Islam yang masih bersumber kepada buku-buku dengan perspektif androsentris. Tentu yang digunakan dalam sistem pembelajaran di pesantren adalah buku dan kitab kuning. Hampir di seluruh pesantren, narasi yang disampaikan dalam pembelajarannya bermuara pada kitab kuning. Pesan-pesannya disampaikan dan internalisasikan, bahkan diseminasikan secara terus menerus.
Ibu Iklilah menyampaikan kepada para hadirin Wisudawan dan Wisudawati yang mungkin saja mereka mengalami pembelajaran dengan referensi yang berspektif androsentris. Ketika terdapat perspektif androsentris maka ada 3 isu penting yang harus di refleksikan. Yang pertama adalah pandangan atau perspektif androsentris akan berakibat pada isu-isu perempuan yang tidak di angkat sebagai materi belajar tentang pengetahuan Islam. Sehingga isu-isu perempuan termarginalkan bahkan hilang tidak tersedia.
Yang kedua adalah pengalaman dan pengetahuan dari perspektif perempuan tidak sepenuhnya digunakan dan dipertimbangkan. Sehingga mengabaikan kompleksitas problematik yang dialami secara nyata oleh perempuan.
Yang ketiga, pada akhirnya referensi tersebut akan menyajikan narasi yang dilahirkan dengan cara narasi yang tidak empatik pada perempuan dan berpotensi pada memberikan legitimasi atau pembenaran atas segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Tantangan yang keempat tentu saja tantangan yang terakhir, adalah sebuah proses pembangunan pengetahuan yang menafikan kehadiran ketubuhan perempuan. Seiring dengan laju putar zaman yang begitu cepat, perkembangan pengetahuan keagamaan mengalami perubahan dalam segi pemahaman akan permasalahan yang semakin kompleks.
Dalam perkembangan pembangunan akan pengetahuan tersebut, Ibu Iklilah menjelaskan, “Marginalisasi perempuan dalam sistem pengetahuan Islam terjadi dalam proses pembangunan pengetahuan tentang agama. Ruang transfer pengetahuan dan ruang pengambilan keputusan termasuk fatwa keagamaan terjadi dengan melibatkan mereka yang mayoritas berjenis kelamin laki-laki atau pun jika ada perempuan maka perempuan yang memiliki perspektif laki-laki.”
Kemudian beliau lanjut menjelaskan, “Kondisi ini menghasilkan pengetahuan Islam yang belum mengakomodasi pengalaman dan kepentingan perempuan dalam interseksionalitasnya. Akibatnya sebagian pengetahuan Islam lebih didominasi oleh narasi pengetahuan yang bias dan rentan melahirkan berbagai praktik ketidakadilan dan kekerasan pada kehidupan perempuan. Bahkan praktik ketidakadilan dan kekerasan berbasis gender yang dialami oleh perempuan kerap kali justru diterima, dinormalisasi, dan dibenarkan karena di anggap memiliki legitimasi agama. Padahal, pemahaman yang dirujuk merupakan pemahaman agama yang masif, stereotype, misoginis, dan diskriminatif terhadap perempuan.”
Di akhir kata, sebelum menutup pidato orasi ilmiahnya, Ibu Iklilah menyampaikan pesan terhadap para Wisudawan dan Wisudawati Ma’had Aly Kebon Jambu Angkatan 4 untuk tetap menjaga nilai dan perspektif atau nilai paradigma yang telah dipelajari selama di Ma’had Aly Kebon Jambu. Jangan pernah goyah hanya karena hembusan menggoda dari kepentingan ekonomi, politik dan kekuasaan, pungkasnya.[]