Fajar baru saja nampak. Membangunkan seluruh ketenangan yang hanya sesaat. Ditambah dengan tabuhan alat-alat gobreg yang seperti genderang perang. Suara-suara riuh juga terdengar dari anggota kamar yang bertugas piket jaga, membangunkan seluruh santri untuk Qobliyahan. Inilah rutinitas kami di pondok pesantren pada pagi buta, dituntut untuk terjaga sebelum matahari nampak terjaga.Qobliyahan biasa diisi dengan tikroran (mengulang-ulang) muhafadzoh. Ada yang nikror Tashrifan, ‘Amrithy, Alfiyah Ibnu Malik dan yang lainnya sesuai dengan tingkatannya masing-masing.
Panggil saja aku Naufal, seorang santri yang pernah mencoba untuk menaklukkan seribu dua nadzom Alfiyah Ibnu Malik. Sulit memang, namun kesulitan itu sirna ketika tekad bulat menutupi segala keraguan. Ditambah target yang ditekankan oleh kurikulum pesantren menuntut kami untuk menghafalkan nadzom-nadzom itu dalam waktu kurang lebih dua tahun.
Tidak seperti muhafadzoh-muhafadzoh sebelumnya, saat aku sampai pada Alfiyah Ibnu Malik berbagai serangan dari segala arah terus berdatangan salah satunya ketika aku ditempatkan pada suatu keadaan yang memaksaku untuk berjumpa dengan seseorang yang mampu menggetarkan seluruh hatiku.
Entah angin apa yang mendorongku untuk berjalan pada hari itu. Di saat seluruh santri menikmati liburan Maulid Nabi, aku lebih memilih untuk tetap tinggal di pesantren.Untuk mengisi kekosongan waktu, pagi hari setelah menikror muhafadzoh, kusempatkan untuk menikmati jalanan sepi pondok yang sedang ditinggal oleh para penghuninya.
Tiba-tiba sebuah suara terasa memanggilku untuk mendekat.
“Kang, punten kemari sebentar!”
Oh ternyata suara itu datangnya dari asrama putri. Aku pun segera menghampirinya, meski tak mengenal siapa seseorang yang memanggilku dengan sebutan ‘Kang’ itu.
“Iya Teh, ada yang bisa saya bantu?” Tanyaku setelah menghampirinya.
“Kang punten anterin ini ke griya Nyai Sa’idah, nanti kalau sudah kesini lagi yah!”
“Oh, baik Teh!”
Akupun segera melaju menuju tempat penyimpanan sepeda untuk meminjam salah satu sepeda ontel disana.
Karena jalanan sepi, aku memilih untuk melaju dengan santai menunggangi sepeda pinjamanku. Tiba-tiba dalam perjalanku, aku terbayang pada santriwati yang meminta bantuanku tadi. Wajahnya tidak asing, aku kerap kali melihatnya, dimana pun. Entah saat di jalan, di sekitar pondok dan yang paling aku ingat adalah saat melihatnya di panggung musabaqoh. Itu dia! Dia adalah salah satu peserta cabang musabaqoh muhafadzoh nazdom Alfiyah dari pondok putri. Sainganku tepatnya. Karena aku juga salah satu pesereta cabang musabaqoh itu. Namun sayang, aku benar-benar tak ingat siapa namanya.
Hingga saatnya tiba, aku akan menemuinya kembali. Sesuai dengan perintahnya, pulang dari griya Nyai Sa’idah, aku kembali ke asrama putri. Namun yang menemuiku bukan gadis itu lagi. Seorang santriwati yang lain menghampiriku dan memberi sekantong makanan sebagai rasa terima kasih atas jasaku tadi. Aku hanya bisa mengucapkan terima kasih meski hati kecilku ingin menanyakan gadis yang sebelumnya menemuiku.
***
Malam harinya aku benar-benar tak dapat memejamkan mata karena rasa penasaranku pada gadis itu. Setelah menikror muhafadzoh, waktu kuhabiskan untuk mengingat momen-momen musabaqoh demi untuk dapat menemukan nama gadis itu. Namun sayang, hingga otakku lelah berpikir, tak kunjung kutemukan meski hanya huruf awal dari namanya. Akupun tertidur pulas tanpa hasil yang memuaskan.
Hingga waktu mengembalikan para santri dari liburan mereka, aku masih belum bisa membayar rasa penasaranku. Akupun bertanya-tanya mengapa sedemikian besar rasa penasaranku pada gadis itu? Apa karena aku tahu bahwa dia juga tengah berjuang menaklukkan Alfiyah ibnu malik sepertiku? Ditambah dengan parasanya yang manis. Lalu, apa masalahnya? Pada suatu kesempatan, setelah menyelesaikan pengajian malam, aku memutuskan untuk mencurahkan segala isi hatiku kepada sahabatku, Rohman.
Inilah jawaban yang terlontar dari bibirnya.
“Astaghfirullah, Fal! Nyebut kamu, Fal! Nyebut! Kamu sadar gak sih, itu adalah salah satu rintangan kamu dalam menghafal!”
JLEB! Jawaban Rohman sontak membuatku tercengang. Aku tak pernah berfikir seperti itu sebelumnya. Jika memang rasa penasaran pada seorang gadis adalah salah satu rintangan dalam menghafal, artinya sampai sekarang aku belum dapat melewatinya, karena justru rasa penasaranku semakin besar.
“Ya hanya sekedar nama, Man. mungkin saja setelah aku tahu namanya rasa penasaranku akan hilang.”
“Lah, kata siapa? Justru kalau kamu sudah tahu namanya, kamu akan dengan mudah mengetahui hal lain tentang gadis itu. Dan aku jamin, rasa penasaran kamu itu gak akan ada habisnya!” Jelas Rohman berapi-api.
Aku hanya tertegun setelah mendengar penjelasan Rohman.
Rohman benar. Dorongan hatiku untuk mengetahui gadis itu pun semakin menggebu. Karena tertampar oleh perkataannya, beberapa kali aku mengurungkan nafsuku untuk bertanya pada sekitarku tentang gadis itu. Namun sungguh, rasa penasaran itu justu membuatku semakin sulit untuk melupakan bayang-bayangnya. Yaa Rabb, benarkah aku telah jatuh hati kepada gadis yang belum kukenal itu? Lalu, bagaimana kabar muhafadzoh Alfiyah ibnu malikku?
Inilah yang terjadi.
***
Malam selasa merupakan malam menyeramkan bagi para santri pondokku. Padahal pada malam itu pengajian diliburkan. Akan tetapi pengajian diganti oleh setoran muhafadzoh. Dan inilah titik menyeramkannya.
Tiba giliranku maju, mencoba untuk tetap optimis meski hatiku meringis. Aku mencoba memaksimalkan konsentrasi saat menghadap Ustad Shamad dengan memejamkan mata hingga keringat mengucur dari dahiku, mencoba mengilangkan bayang-bayang gadis itu yang tiba-tiba datang seraya aku berdendang melafalkan bait-bait Alfiyah.
“Attabi’ul maqshuudu bil hukmi bilaa, waasithatin huwal musamma badalaa,
Muthaabiqan au ba’dla au maa yasytamil, ….”
Hening.
“Iya Naufal, benar, lanjutkan!”
“Alaihi….”
Astaghfirullah, apa lanjutannya!
“Alaihi, lalu?” Ustad Shamad memancing ingatanku. Ia menatapku tajam dengan tatapan heran. Aku yang ditatapnya justru ikut heran dengan keadaanku. Tak pernah kualami kejadian seperti ini, macet total saat setoran muhafadzoh.
Setelah beberapa lama menunggu, aku pun dinyatakan gugur oleh Ustad Shamad. Selanjutnya aku keluar dari Masjid dengan tertunduk lesu. Kuhentikan langkah di salah satu anak tangga masjid. Aku iri melihat santri yang lain merasa lega karena lulus setoran, tidak sepertiku.
Bel shalat Isya pun berbunyi. Aku pergi ke tempat wudhu untuk mensucikan diri. Lalu duduk di shaf paling depan sambil menunggu shalat berjama’ah dimulai.
Ilaahi lastu lil firdausi ahlaa, walaa aqwaa ‘alannaril jahiimii….
Entah mengapa malam itu aku begitu menghayati sya’ir yang dilantunkan setiap sebelum adzan itu. Tak terasa air mataku meleleh.
Syakautu ilaa waqi’i suu’aa hifdzii, wa arsyadanii ilaa tarkil ma’aashii…
Salah satu penggalan syair Imam Syafi’i itu sangat tepat untukku. Buruknya hafalanku adalah karena terlalu larut dalam maksiat, terlalu membiarkan diri hanyut dalam rasa penasaran yang begitu dalam pada gadis itu. Padahal, untuk apa?
Sebelum tidur, aku tikror kembali muhafadzoh Alfiyahku. Namun hal itu terjadi lagi, hal yang membuatku gagal menyetorkan muhafadzoh kepada Ustad Shamad. Aku terbayang padanya lagi, kepada gadis itu. Aku putuskan untuk menghentikan tikroran muhafadzohku. Sepertinya, kini Alfiyah telah menjadi senandung rinduku pada gadis itu. Setiap kali aku bersinggungan dengan Alfiyah, bayangan gadis itu tiba-tiba muncul. Dan sungguh ini kesalahan besar! Aku sangat membencinya. Andai aku tak tahu bahwa gadis itu juga sedang menghafal Alfiyah juga, ini pasti tak akan terjadi. Namun aku terlanjur mengetahuinya.
Aku terjaga kembali saat jam dinding di kamar menunjukkan pukul tiga dini hari. Tiga puluh menit lagi Qobliyahan. Hatiku tergerak untuk bangun menuju masjid dan menunaikan shalat malam.Dalam doa, aku meminta kepada Sang Maha Kuasa untuk menghilangkan bayangan gadis itu dariku selamanya dan memurnikan muhafadzoh Alfiyahku hanya karenaNya.
Hari-hari berikutnya, kualitas muhafadzoh Alfiyahku masih menurun. Lebih dari tiga kali kualami kegagalan saat setoran muhafadzoh, hal itu membuat Ustad Haris, guru pengajian Alfiyahku heran, karena biasanya aku tak seburuk ini dalam menghafal nadzoman. Ia pun bertanya kepadaku, mencoba mengetahui apa yang terjadi padaku. Awalnya aku canggung untuk mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Namun karena beliau adalah salah satu motivatorku dalam menghafal, akhirnya aku pun bersedia untuk mengutarakan kegelisahanku padanya.
“Jadi karena perempuan ya, Fal?”
“Yah, kurang lebih seperti itu, Ustad!” Jawabku tersipu malu. “Saya sudah berusaha untuk melupakannya, namun ternyata tidak dapat seketika hilang begitu saja.”
“Loh, kamu pikir otakmu itu tombol lampu apa, sekali tekan langsung mati! Sabar, Fal! Hal seperti ini pasti dialami hampir oleh setiap santri, termasuk kamu, dan hebatnya posisi kamu sekarang sedang dalam jihad memperjuangkan Alfiyahmu. Itu artinya Allah sedang melihat seberapa seriusnya kamu dalam menghafal Alfiyah. Langkahmu sudah benar memilih untuk melupakan gadis itu. Ingatlah! Allah tidak akan menguji seorang hamba melibihi batas kemampuannya. Artinya, kamu pasti akan berhasil menghadapi masalahmu itu. Bersabarlah Fal, semuanya butuh proses.”
Aku tersenyum lega setelah disirami banyak nasehat oleh Ustad Haris. Ditambah lagi beliau menepuk pundakku berkali-kali hingga semangatku tumbuh kembali. Ah, benar-benar seorang motivator.
***
Hari demi hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan. Seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit aku mulai kembali menemukan titik pulih. Aku kembali pada diriku yang dulu, dengan semangat baru tentunya. Kualitas hafalanku kembali normal, bahkan meningkat. Hingga pada akhirnya aku dapat menghafal seribu dua nadzom Alfiyah sedikit lebih cepat dibandingkan dengan kawan-kawanku yang lain. Dan secara otomatis aku dapat mengikuti Perayaan Khatmil Alfiyah pada malam puncak Akhirussanah.
***
Malam puncak Akhirussanah.
Dari atas panggung, aku dapat melihat ribuan pasang mata tertuju pada panggung ini. Di barisan kursi penonton VIP ada dewan pengasuh, pembimbing dan asatidz. Sebelah kanan panggung ada ustadz Haris selaku guru kami dan ustadz Arifin selaku koordinator khatmil Alfiyah.
Di barisan penonton paling depan tamu perempuan, ada ibu dan adik-adikku, sedangkan ayah, beliau juga ada dibarisan paling depan tamu laki-laki. Sungguh, ini adalah momen paling berharga sepanjang sejarah hidupku.
Sebelum turun dari panggung, sudut mataku sempat menangkap seseorang yang tak asing bagiku duduk di salah satu barisan penonton putri tepat di belakang kursi ibuku. Gadis itu! Pemilik pesona yang mampu mengalahkan pesona Alfiyah Ibnu Malikku. Tapi, mengapa ia duduk tepat di belakang kursi ibuku? Belum selesai aku tertegun heran, kawan di belakangku sudah mendorongku untuk segera turun dari panggung.
Setelah berfoto bersama para ustad dan teman-teman, aku bergegas menuju halaman masjid untuk menemui keluargaku. Nampaknya mereka telah lama menunggu. Namun saat aku kesana, hanya ada ayah dan salah satu adikku saja, sedangkan ibu dan adik terakhirku tidak ada disana.
“Ibu dan Hawa sedang ke kamar mandi.” Jawab ayah. Meski aku tak bertanya, beliau telah paham apa yang aku tanyakan. “Tadi kamu gak tegang, Fal di atas panggung sana?” Ayah bertanya antusias.
“Wah, ya jelas tegang lah, Yah! Apalagi dilihat oleh Ayah, Ibu dan Abah Yai, takut salah nadzom, Yah!”
“Tapi sepertinya tadi kamu lancer-lancar saja melafalkan nadzomnya. Ayah bangga!”
“Alhamdulillah, terimakasih Yah. Semuanya berkat doa Ayah dan Ibu. Aku juga gak nyangka akan selancar itu, Yah. Padahal megang mikrofon saja tanganku bergetar hebat!”
Setelah agak lama berbincang, ibuku datang juga akhirnya, diikuti oleh Hawa, dan gadis itu! Kenapa dia terlihat begitu akrab dengan ibu? Sebenarnya dia siapa?
“Ibu lama sekali, dari mana saja?” Tanya ayahku.
“Iya Yah, tadi Hawa sempat hilang. Untung ada Neng Fiya bantuin Ibu nyari Hawa. Oh iya, Fal! Kenalkan, ini Neng Fiya, putri bungsunya Bu Hasna, guru TK kamu dulu itu loh! Ternyata dia juga mondok disini, Ibu baru tahu!”
“Oalah… Pantas saja saat pertama kali melihat Fiya aku seperti teringat seseorang di masa lalu! Ternyata kamu putrinya Bu Hasna yah? Pantas mirip sekali!”
“Hehe, iyah. Umi sering cerita kalau Mas Naufal juga mondok disini, tapi Fiya gak pernah tau yang mana orangnya, oh ternyata yang ini!” Itu adalah kalimat pertama yang aku dengar darinya. Manis sekali. “Tadi hebat loh mas Naufal, nadzomannya lancar sekali!”
“Terimakasih Fiya! Bukannya kamu juga sedang menghafal Alfiyah yah? Lantas bagaiman denganmu?”
“Alhamdulillah, sudah selesai satu bulan yang lalu!”
“Wah, hebat sekali!” Aku berdecak kagum.
“Ya sudah, nanti Ayah buatkan panggung Kahtmil Alfiyah khusus untuk kalian berdua!” Canda ayahku, kami pun tertawa bahagia.
Aku semakin terkesan setelah mengetahui bahwa Fiya memilili nama lengkap Alfiyah al-Husna. Ternyata selama ini sosok yang membuat Alfiyah Ibnu Malikku buyar adalah Alfiyah yang satu ini.
Apa yang aku dapatkan ternyata lebih dari sekedar apa yang aku harapkan sebelumnya. Selain mengetahui namanya, aku pun menjadi sangat akrab dengan Fiya, sebagai sahabat tentunya. Bagaimana pun aku tak ingin Fiya tahu jika aku pernah jatuh hati pada pesonanya.
Babakan, 2 Dzulhijjah 1436 H