Tiga Upaya dalam Mencari Ilmu; Refleksi Tafsir Surat Al Kahfi Ayat 62

فَلَمَّا جَاوَزَا قَالَ لِفَتَاهُ آتِنَا غَدَاءَنَا لَقَدْ لَقِينَا مِن سَفَرِنَا هَٰذَا نَصَبًا

“Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: “Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini”.

Ayat ini merupakan potret sejarah Nabi Musa ketika diperintah Allah untuk mencari Nabiyullah Khidr As, dimana dalam perjalanan tersebut beliau ditemani khodim yang setia bersama beliau, khodim itu bernama Yusya’ bin Nun. Yang saya dapat dari ayat ini sekiranya kurang lebih ada tiga makna yang tersirat.

Pertama, pada kalimat terakhir: “ لقد لقينا من سفرنا هذا نصبا “. Titik beratnya pada kata نصبا yang berarti lelah atau susah payah. Perlu diketahui bahwa perjalanan ini merupakan perjalanan mencari ilmu, dan ketika kita masuk bab ilmu, itu sudah pasti bahwa kita harus mau berusaha, mau tidak enak, mau ditekan, mau susah payah untuk bisa mendapatkan ilmu tersebut, seperti yang didawuhkan ulama “ لايستطاع العلم براحة الجسم “ bahwa ilmu itu tidak bisa kita peroleh dengan santai dan duduk ongkang-ongkang, kemudian langsung alim, jelas tidak bisa. Kisah Nabi Musa As itu sungguh bisa menjadi hujjah bahwa untuk mencari ilmu kita harus berani susah dan tidak enak.

Yang kedua adalah pentingnya kesetiaan khidmah pada Guru, telah dicontohkan oleh seorang pemuda bernama Yusya’ bin Nun, ia pantang menyerah dan mau ikut kemana pun Nabi Musa pergi. Ia pula yang membawakan bekal untuk Nabi Musa. Mau berapa haripun perjalanan itu ditempuh ia tetap akan setia pada Nabinya. Karena pada ayat sebelumnya Nabi Musa sudah bertekad bahwa Beliau tidak akan menyerah sebelum tempat yang ditunjukkan oleh Allah itu ketemu, Yusya’ pun tanpa ragu mau menemani sang Nabi. Hal ini sesuai dawuh Sayyid Muhammaad Al Maliki Al Hasani bahwa “Melekatnya ilmu dapat diperoleh dengan cara banyak membaca, dan barokahnya ilmu dapat diraih dengan cara berkhidmah, sedangkan manfaatnya ilmu dapat diperoleh dengan adanya restu dari guru.”

Yang ketiga adalah pentingnya persiapan, pentingnya berbekal. Nabiyullah Musa adalah seorang Nabi dan Rasul yang namanya termaktub dalam Alqur’an. Walaupun pangkat beliau adalah Nabi sekaligus Rasul, beliau sama sekali tidak meninggalkan yang namanya berbekal. Berbekal bukan berarti tidak tawakal. Tidak berbekal juga jangan diartikan sebagai bentuk tawakal, itu salah besar. Dalam bab ilmu juga diterangkan oleh Sahabat Ali karromallahu wajhah yang terhimpun dalam bait:

الا لَنْ تَنَالَ الْعِلْمَ إِلَّا  بِسِتَّةٍ # سَأُنْبِيْكَ عَنْ مَجْمُوْعِهَا بِبَيَانٍ

ذَكَاءٍ وَحِرْصٍ وَاصْطِبَارٍوَبُلْغَةٍ # وَإِرْشَادِ أُسْتَاذٍ وَطُوْلِ زَمَانٍ

Disebutkan dalam bait tersebut ada enam syarat agar dapat meraih illmu: cerdas, semangat, sabar, punya bekal, petunjuk guru, dan waktu yang lama.

Titik beratnya ada pada lafadz  بلغة  yakni adanya bekal, dan itu sangat penting, tidak boleh ditinggalkan. Bagiamana bisa mencapai tujuan sedang tidak ada perbekalan. Konsep tawakal juga tidak demikian adanya, dalam Tafsir Qurthubi bahkan di jelaskan:

 قوله تعالى  آتنا غداءنا فيه مسألة واحدة :وهو اتخاذ الزاد في الأسفار ، وهو رد على الصوفية الجهلة الأغمار ، الذين يقتحمون المهامة والقفار ، زعما منهم أن ذلك هو التوكل على الله الواحد القهار و موسى نبي الله وكليمه من أهل الأرض قد اتخذ الزاد مع معرفته بربه ، وتوكله على رب العباد

Bahwa dawuh Allah آتنا غداءنا pada ayat tersebut adalah bentuk radd atau bantahan atas prespektif kaum sufi yang keliru yang mengatakan bahwa tidak berbekal merupakan bentuk tawakal kepada Allah, sedangkan Musa yang sudah mesti Nabi dan Rasulnya saja ketika bepergian ia berbekal di mana sudah pasti berbekalnya Beliau itu dibarengi dengan tawakkal kepada Tuhanya. Artinya, untuk tawakal itu bukan berarti kita lepas akan ikhtiar. Ikhtiar itu harus karna itu merupakan kewajiban kita sebagai hamba. Setelah ikhtiar itu kita lakukan, barulah pasrahkan pada Tuhan. Bahkan disebutkan oleh para fuqoha bahwa:

ذهب عامة الفقهاء ومحققو الصوفية إلى أنَّه لا يتنافى التوكل مع السّعيِّ والأخذ بالأسباب من مطعم، ومشرب، والتحرز من الأعداء، واستخدام ما تقتضيه سنّة الله المعتادة، مع العلم والاعتقاد بأنَّ السنّة وحدها لا يمكن أن تجلب نفعاً ولا أن تدفع ضراً، بل يكون السّبب العلاج، والمسبب الشِّفاء بفعل الله تعالى ومشيئته.

Para fuqoha dan para sufi pun berpendapat bahwa tawakkal itu mesti di barengi ikhtiar, atau persiapan, baik dari hal makanan, minuman, perlengkapan persenjataan, melakukan berbagai hal yang sudah menjadi sunnatullah. Semuanya dibarengi dengan pemahaman dan tekad bahwa segala bentuk usaha itu sama sekali tidak memberikan efek baik ataupun buruk, melainkan seperti halnya pengobatan yang merupakan usaha kita, sedangkan kesembuhan adalah kehendak Allah.

Wallahu a’lam bishowab.

{{ reviewsTotal }} Review
{{ reviewsTotal }} Reviews
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...
الحرمة خير من الطاعة
Di manapun dan dengan siapapun kita hidup pasti ada yang naman...
Perempuan dalam Sistem Pendidika...
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang agamis dan juga...

Hubungi kami di : +62851-5934-8922

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon