Ada salah satu quotes menarik dari Franklin D Roosevelt, mantan presiden Amerika Serikat yang berbunyi; “Nilai cinta akan selalu lebih kuat dari pada nilai kebencian. Bangsa atau kelompok manapun yang menggunakan kebecian pada akhirnya akan hancur berkeping-keping oleh kebencian.”
Sepertinya quotes ini sangat relate dengan keadaan bangsa Indonesia. Dengan keadaan latar belakang masyarakat Indonesia yang beraneka ragam agama, suku, bangsa dan kebudayaan, apa yang kamu rasakan saat pertama kali bertemu dengan suku adat Papua misalnya, apa yang kamu pikirkan tentang mereka? Bagaimana cara kamu berkomukasi dengan mereka? Bagaimana tatapan kamu terhadap penampilan mereka? Bagaimana perasaan kamu jika ditatap seperti itu?
Mungkin tidak asing bagi kita untuk membaca keaneka-ragaman dalam sebuah buku, video, ataupun siaran radio misalnya. Namun jika kita dihadapkan pada kenake-ragaman yang ada di depan mata kita, bagaimana cara kita menyikapinya? Akankah kita menjadikan itu untuk menyulut konflik ataukah kita mampu menghadapinya dengan penuh empati dan toleransi?
Manusia tak lepas dari prasangka, namun seringkali kita berprasangka negatif terhadap orang yang berbeda dengan kita begitu juga sebaliknya, mungkin orang lain juga akan berprasangka negatif jika kita berbeda dari mereka atau menjadi minoritas.
Mengapa prasangka bisa terjadi? Prasangka terjadi pada kita karena kita tidak mengetahui, tidak memiliki informasi yang cukup atau ketika bertemu dengan hal yang tidak familiar dalam lingkungan kita. Misalnya kita tinggal di lingkungan yang mayoritas Islam, tiba-tiba ada tetangga baru di samping rumah kita yang memeluk agama Kristen, Hindu ataupun Penghayat. Lantas apa yang akan kita lakukan? Apakah kita akan menganggapnya kafir dan berusaha meng-loginkan dia?
Sebenarnya kita semua adalah saudara. Jika tidak seiman berarti kita saudara dalam kemanusiaan. Perbedaan adalah rahmat, dari perbedaan kita dapat belajar banyak hal. Lantas mengapa banyak dari kita berusaha untuk menyamaratakan? Mengapa kita tidak belajar mengahargai pilihan orang-orang di sekitar kita? Bukankah menjadi orang yang dipaksa memilih juga tidak nyaman?
Sebagai orang yang beragama Islam, mungkin kita harus belajar memahami lagi surat Al-Kafirun ayat terakhir yang berbunyi “lakum diinukum wa liya diin” yang artinya bagimu agamamu, dan bagi saya agama saya. Sebenarnya Islam adalah agama yang sangat toleran, namun ada banyak oknum-oknum yang menyebarkan narasi hoaks, atau kebencian atas nama agama, ras, bahkan suku bangsa. Lantas apa yang harus kita lakukan?
Setidaknya ada tiga tips agar kita menjadi pemuda penjaga toleransi, pewaris peradaban dan keanegaragaman ilmu pengetahuan, di mana ilmu pengetahuan ada karena keaneka-ragaman perbedaan itu sendiri. Untuk menjadi pemuda penjaga toleransi pertama kita harus bergaul dengan baik dan santun dengan setiap orang tanpa memandang keyakinan yang dianutnya karena kita semua adalah saudara dalam kemanusiaan. Kedua, menghargai setiap keyakinan dan pilihan yang orang lain pilih sebagai pedoman hidupnya, karena setiap dari kita punya hidup, cerita, latar belakang, dan prosesnya masing-masing dalam menemukan keyakinan yang dipilihnya.
Yang terakhir tidak mengusik atau menjadi oknum penebar hoaks atau kebencian bagi lingkungan sekitar. Kita harus belajar merasakan keadaan sekitar kita, belajar untuk merasakan apa yang di rasakan minoritas ketika dalam posisi tersebut agar kita tidak semena-mena terhadap hidup orang lain dan pilihannya. Sebagai penutup, mari kita yakini dengan sepenuh sadar bahwa tidak ada manusia yang terlahir dengan membenci orang lain karna warna kulit, latar belakang, suku, agama, bahkan kekurangan atau perbedaan lainnya. Untuk bisa membenci seseorang harus belajar membenci, begitu pula sebaliknya, mari belajar mencintai dan welas asih terhadap keadaan sekitar kita.