Perjalanan peradaban sangat berpengaruh bagi perubahan sosial dan kehidupan manusia. Begitupun menjadi salah satu sebab kuat perubahan konstruksi kebudayaan manusia. Di antaranya peran antara laki-laki dan perempuan, yang kemudian didorong oleh sistem-sistem pendukung seperti pendidikan dan lingkungan sekitar. Berbagai peristiwa yang terjadi dalam peradaban tentunya juga merupakan pelajaran yang tak luput dalam pandang mata atau pendengaran, untuk kemudian membuat manusia berinovasi guna mencari solusi dan perbaikan dalam kehidupan. Tak dapat dipungkiri bahwa semuanya berawal dari ide dan kesadaran yang muncul dengan prinsip hak asasi serta keadilan.
Menyinggung hak asasi dan keadilan, dewasa ini semakin gencar dibahas mengenai hak perempuan dan keadilan terhadap perempuan. Beberapa aktivis feminis sudah memiliki argumen-argumen kuat mengenai prinsip keadilan dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi melalui penafsiran-penafsiran yang mereka bedah dengan menggunakan pendekatan mubaadalah sebagai salah satu metodenya. Dalih mereka, bahwa ayat Al-Quran dan Hadits memang tetap dan tidak bisa rubah, atau dibantah. Tetapi penafsiran tentu bisa beragam. Sebagai bukti, begitu banyak penafsiran-penafsiran dari para ulama terkemuka seperti; Tafsir Munir, Tafsir Jalalain, Tafsir Ibnu Katsir, dan masih banyak lagi. Memang diharuskan memenuhi syarat ketat untuk menjadi mufasir, tetapi ketika ada yang janggal penerapan tafsir dalam ranah kehidupan, tentunya dari beberapa pribadi merasa harus meluruskan maksudnya, yang mana harus tetap pada lingkup keadilan. Bukankah Tuhan juga menghendaki sebuah keadilan, apalagi Nabi yang menentang perbedaan kasta maupun peran. Selain itu, untuk menempuhnya tidak hanya melulu dengan perubahan arti sebuah kata yang begitu luas pemaknaannya dan kiasannya atau fokus terhadap objek yang diperintah, melainkan juga bisa melihat maksud atau tujuan yang diantar melalui predikat.
Sudah satu abad lebih sejak Nabi berdakwah menggaungkan perbaikan akhlak demi tercapainya kemaslahatan dan keadilan. Oleh karenanya begitu sangat tabu ketika tidak ada kemajuan mengenai pemahaman sederhana yang dibekali Nabi selama satu abad lebih tersebut. Di mana seharusnya sudah ada perbaikan dan perubahan untuk meneruskan tujuan seruan Nabi, yakni kemaslahatan umat. Perempuan sebagai bagian dari umat pun, tentunya memiliki hak kemaslahatan tersebut.
Isu kesetaraan gender yang marak belakangan ini tentu juga berasal dari kesadaran yang baru muncul di abad ke-18 masehi, khususnya yang mengilhami para tokoh feminis di Indonesia. Tak dapat disanggah pula meski Indonesia mengenal feminis dari para bangsawan Belanda yang sudah memajukan martabat perempuan, bertandangnya mereka untuk kemudian menjajah menjadi awal mula lahirnya paham dan praktik feminis di Indonesia, dengan mendirikan sekolah bagi perempuan pribumi, meski sistem kelembagaannya sangat terbatas dan ketat. Selanjutnya paham tersebut membuat seorang perempuan pribumi bernama Kartini tergerak berkat bantuan dari kakaknya, Kartono, yang membantu membuka jendela cakrawala Kartini melalui buku-buku dengan penuturan, bahwa meski ruang lingkup perempuan terbatas, akal dan daya pikir mereka tak dapat dibatasi. Dengan dasar itulah, Kartini berani mengambil langkah dengan tekad pemberdayaan perempuan. Tetapi pastinya masih banyak lagi perempuan yang terjun ke bidang yang bukan ranahnya menurut konstruksi sosial masyarakat, seperti perang. Salah satu contoh ialah Laksamana Keumalahayati, perempuan pejuang asal aceh yang lahir pada abad ke-15. Pastinya pada masa itu belum muncul paham feminisme namun Keumalahayati telah berpartisipasi dalam menerjang paradigma masyarakat yang menganggap perempuan hanya berkutat di ruang domestik dan dianggap tabu ketika mereka terjun dalam peperangan. Padahal dia geram sekali ingin mengusir penjajah negerinya yang berlaku sangat keji. Keberhasilan Keumalahayati melawan kapal Belanda dan membunuh Cornelius de Houtman menjadi bukti keberanian dan kemampuan perempuan di ruang publik. Pada zaman Nabi pun sudah ada bahkan dibilang lumayan banyak perempuan petarung dan pejuang seperti, Nusaibah binti Ka’ab yang terkenal berani mengikuti sejumlah peperangan, salah satunya perang badar. Hanya saja, kiprahnya tidak terlalu disorot akibat konstruksi sejarah yang masih dominan pada budaya patriarki.
Pertanyaan dasar mengapa perempuan barat lebih maju dari beberapa perempuan beragama Islam di negara lain, termasuk Indonesia? jangan lupakan soal perang salib yang membuat ilmuwan muslim kehilangan banyak rujukan kitab dan pengetahuan. Dari sanalah, para kristiani mempelajari keilmuwan Islam yang menjadikan mereka unggul dari Islam. Lantaran merasa memiliki tambahan pegangan dan pedoman pengetahuan, mereka pun sadar untuk mengajak serta para perempuan mereka untuk melek pengetahuan. Itu hanya sebab kecil dari sebab kuat lain dari lahirnya feminisme di barat, yakni kesadaran bahwa perempuan memiliki kebebasan sebagaimana laki-laki. Selain itu lantaran terlalu dijepit paradigma budaya arab yang dianggap sebagai rujukan dunia keislaman.
Salah satu arsip yang membahas keiikutsertaan perempuan dalam berperan ialah pendapat Plato serta beberapa tokoh barat yang mulai muncul pada masa renaissance seperti Olympe de Gouges, juga mary Wollstonnecraft pada masa revolusi prancis. Fakta lain mengapa muslim di Indonesia kurang tertarik dengan paham feminis ialah soal beberapa muslim yang fanatik terhadap sunnah Nabi sehingga sangat berhati-hati agar tak masuk ke dalam bid’ah. Anggapan bahwa adanya perubahan makna dalam teks atau perubahan adat yang berakar pada Al-Qur’an dan Hadits menjadikan beberapa golongan sulit menerima kesetaraan dan persamaan derajat antara laki-laki dan perempuan. Mereka menganggap dan meyakini dengan kuat bahwa tugas perempuan adalah melayani laki-laki bakan menjadikan pendapat itu sebagai kodrat perempuan. Enggannya membuka diri atau berpartisipasi dalam paham berbasis keadilan tersebut menjadikan hampir kebanyakan pemeluk Islam mandek berfikir, berinovasi, bergerak lebih, serta mengemukakan pendapat secara kritis. Dalam istilahnya disebut kejumudan umat atau mandeknya berfikir umat. Realita ini sejalan dengan apa yang dikatakan Muhammad Abduh bahwa sebab kemunduran umat Islam adalah faham jumud yang menghinggapi mereka.
Pada nyatanya, perubahan peradaban, bukti sejarah dan penafsiran ulang menggunakan konsep keadilan dapat mematahkan pendapat tersebut. Hanya saja dapat dimaklumi jika masih belum banyak yang menerima karena menyadari sulitnya menyambut pendapat serta fatwa baru dari orang yang dianggap pemahaman, kecerdasan dan kualitasnya tidak seperti Nabi, sahabat atau tabiin dan mujtahid. Sehingga merasa tak perlu atau kurang berminat mengikuti paham baru juga ketakutan diajak sesat.
Saat ini pun, meluncur derasnya teknologi menjadi pemicu kuat keinginan meneriakkan kesetaraan. Bahwa membatasi perempuan dianggap kuno. Sehingga modernitas, dapat kita saksikan lebih banyak digandeng perempuan, seperti dalam media massa dan media sosial, industri perfilman, seni suara, model, serta beberapa peran yang mulai dimasuki perempuan semisal presiden, direktur, penulis, guru, dosen, dokter, pemimpin organisasi, politik, atau yang lainnya. Jika dalam ruang umum perempuan terkesan mulai mendominasi, lalu bagaimana dengan kesejajaran peran perempuan dalam ruang agama?
Seperti yang telah dibahas sebelumnya, banyaknya penafsiran ulang dan semakin pesatnya perjalanan peradaban menjadikan perempuan mulai terlihat menonjol, bahkan ada yang melebihi laki-laki. Dikaji ulangnya teks-teks ayat dan hadits membuka ilmu baru bahwa realitas sejarah pada masa Nabi, asbabun nuzul serta asbabul wurud, dapat mematahkan penafsuran yang tidak berkeadilan. Sebagai contoh mengenai pernikahan anak. Setelah terus digali, berbagai pendapat membuktikan bahwa Aisyah ketika menikah dengan Nabi tidak benar-benar berusia 7 atau Sembilan tahun. Melainkan lebih dewasa lagi dari itu. Lainnya mengenai imam shalat perempuan. Syarat-syarat ketat mengenai imam shalat memberi ruang tersendiri bahwa jika perempuan lebih fasih, lebih banyak hafalannya, dan lebih mumpuni dari laki-laki, maka perempuan boleh mengimami laki-laki. Hanya saja anggapan itu kerap dianggap menyimpang. Sehingga belum ada yang berani mempraktikkannya. Atau mungkin sudah dipraktikan tetapi belum dipublikasikan.
Karena itulah, berbagai pengetahuan baru yang sekiranya merujuk pada keadilan atau kemaslahatan, tidak lantas dikritik begitu saja. Karena sangat mungkin bahwa pengetahuan baru tersebut bisa menjadi alternatif bagi orang-orang yang membutuhkannya.
Akhir pembahasan, isu kesetaraan pada dasarnya telah ada sejak lama dan perjalanannya yang merangkak memang harus dikuak dengan peradaban dan penafsiran yang kuat, sampai benar-benar mampu berdiri sendiri.