Di manapun dan dengan siapapun kita hidup pasti ada yang namanya aturan. Aturan itu berupa batasan-batasan ataupun nilai-nilai yang dibuat dan dijalankan bersama. Aturan sendiri ada yang tertulis dan ada juga aturan yang tidak tertulis. Aturan tertulis konsekuensinya jelas dan mengikat. Adapun aturan tidak tertulis, biasa disebut juga dengan norma. Memang tidak mengikat, tetapi terkadang konsekuensinya lebih berat, yakni sanksi sosial.
Orang yang mengikuti aturan berarti dia taat (طاعة). Sementara orang yang tidak mengikuti aturan berarti dia melanggar (معصية). Di pesantren, misalnya, ada beberapa aturan dan peraturan yang sengaja dibuat, entah oleh Pengasuh (Kiai atau Nyai) atau oleh para Pembimbing, Pengurus, Mudabbir, dst.
Aturan ini tentu dijalankan atas prinsip dasar keadilan, kemaslahatan, dan menjaga nilai-nilai ke-pesantren-an. Jika ada bahasa “Aturan itu ada untuk dilanggar,” tentu hal tersebut mestinya dipahami seperti ini, “Jika itu dilanggar, berarti semakin menegaskan dan menguatkan bahwa hal tersebut benar-benar sebuah aturan. Jika tidak, maka tidak ada bahasa dia melanggar.”
Seseorang yang berpikir jika dia berani melawan aturan atau melanggar peraturan, maka aturannya akan hilang. Oh, tidak begitu logika berpikirnya, Ferguso. Justru sebaliknya, aturan itu kalau semakin dilanggar maka akan semakin kuat. Oleh karenanya, jika melanggar atau sepakat dengan bahasa di atas, yakni auran ada untuk dilanggar, kita juga harus fair, yaitu menerima konsekuensi atas pelanggaran tersebut.
Percaya tidak percaya, orang yang terbiasa taat hidupnya akan jauh lebih tertata, disiplin, dan tenang hatinya. Akan jauh berbeda dengan orang yang sedang atau sering maksiat, dia akan gelisah dan perlahan hidupnya tak tentu arah. Kalau ada orang yang bermaksiat tetapi malah merasa aman-aman saja, justru itu lebih berbahaya. Karena bencana yang mengerikan itu saat sebelumnya tidak ada tanda-tanda bahaya sama sekali. Dia akan menerima konsekuensinya nanti, bahkan bisa jadi dalam problematik yang lebih besar.
Nah, dari pendekatan singkat tadi, kesimpulannya adalah menuruti aturan (طاعة) itu tentu lebih baik daripada melanggar aturan (معصية ). Tetapi, ada yang lebih baik daripada sekedar taat. Apa itu?
الحرمة خير من الطاعة
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim, sesuatu yang lebih baik daripada الطاعة ia adalah الحرمة (baca; al-Hurmah). Al-Hurmah berarti menghormati atau memuliakan. Jadi, kalau tidak menuruti aturan atau perintah itu melanggar (معصية ), dan jika menuruti aturan atau perintah itu adalah taat (طاعة), maka الحرمة adalah tergerak, atau bisa juga insiaifif melakukan kebaikan tanpa harus menunggu diperintah terlebih dahulu.
Itulah yang disebut الحرمة, ia bergerak atas dasar ingin menghormati atau memuliakan bukan atas dasar perintah atau aturan. Contohnya bagaimana? Misalnya begini, sebagai seorang santri, kita tergerak untuk mempersiapkan tempat guru dengan baik, atau merapihkan sandal guru, atau hal lain yang sebenarnya tidak ada aturan khusus atau perintah langsung dari seorang guru, tapi kita inisiatif melakukannya tanpa menunggu diperintah. Itulah Al-Hurmah.
Sebagai seorang Pengurus, kita tergerak untuk membantu Pengasuh dalam banyak hal yang mungkin itu tidak ada dalam tupoksi divisi yang kita emban. Bahkan, sekalipun sudah ada tupoksi divisi yang kita emban, kita inisiatif melakukan inovasi tanpa harus menunggu disuruh atau ditegur oleh Pengasuh. Itu juga Al-Hurmah.
Sebagai seorang wali santri atau orang tua, ia tergerak untuk berupaya memberikan sesuatu sebagai rasa terima kasih kepada guru-guru anaknya di Pesantren. Padahal, tentu para guru di Pesantren tidak mengharapkan hal tersebut. Mereka sudah ikhlas sebelum beramal. Begitu adalah Al-Hurmah.
Singkatnya, saat kita melakukan kebaikan tanpa harus menunggu diperintah, itulah الحرمة. Sedangkan, kalau baru mau melakukan kebaikan setelah ada perintah, itu levelnya masih الطاعة.
Lalu, kalau sudah ada perintah kebaikan tetapi malah tidak dilaksanakan, itu namanya sudah المعصية. Seseorang yang selalu melakukan الحرمة atau الطاعة, berarti dia sedang menjemput kehidupan yang stabil dan penuh ketenangan dengan masalah yang minim.
Intinya, mari melakukan الحرمة atau الطاعة dan jangan sampai melakukan المعصية. Wallahu a’lam.[]