Part 1.
Kalau kau berkunjung ke desaku; mulai dari jalan depan gapura, terus melewati hamparan sawah menghijau, kamu akan menjumpai hiasan umbul-umbul merah putih setiap jengkalnya. Jangankan di jalan utama desa, bahkan di gang-gang sempit pun dihiasi ornamen-ornamen berwarna merah putih, yang terbuat dari bahan dasar aqua bekas sekalipun.
Ya, begitulah, semarak kemerdekaan di desaku, desa Bangkaloa namanya.
Oh, ya, kau pun akan menjumpai ucapan-ucapan dirgahayu, plang tanggal kemerdekaan serta bendera-bendera kecil dari kertas wajik yang berkibar-kibar. Ah, betapa makin cantiknya salah satu desa di kaki gunung Ciremai ini.
Sejak usia tiga tahun aku sering kali menyaksikan acara-acara kemerdekaan. Tentu saja aku ikut meramaikan berbagai jenis lomba -walaupun selalu kalah-, kecuali lomba panjat pinang yang dikhususkan untuk pria dewasa dan bocah lelaki di atas tiga belas tahun. Nah, karena sekarang aku dan keenam teman sepermainanku sudah cukup umur, maka rencananya kami akan mendaftar lomba panjat pinang tersebut. Yups! Karena lomba panjat pinang ialah salah satu lomba yang paling seru dari berbagai lomba yang diadakan.
Suatu hari Pak Rt meminta kami menjadi anak bawang anggota panitia 17 Agustusan. Bang Idman selaku ketua panitia memberi tugas pertama yaitu mengambil bendera yang terpajang di tiang balai desa.
“Nanti bilang saja disuruh Pak RT,” kata Bang Idman. “tapi saat membawanya hati-hati, ya. Perlakukan dengan baik. Jangan asal bawa saja,” pesannya lagi.
Tepat tanggal 14 Agustus kami berangkat ke balai desa Bangkaloa yang jaraknya tidak terlalu jauh. Sesampainya di sana kulihat orang-orang tampak gaduh, berkumpul membicarakan entah apa. Terlihat serius. Kami berenam mengerutkan kening pertanda heran.
“Aneh. Semua bendera hilang,” kata seorang bapak berkepala botak. Kami yang mendengarnya terdiam. Saling memandang satu sama lain.
“Berapa bendera yang hilang itu, Mang?” tanya seorang bapak bersetelan sarung dan kaos putih.
“Semuanya. Tujuh bendera.” Wajah orang itu menampakkan raut panik.
“Aneh sekali. Sejak kemarin tak ada gerak-gerik orang aneh di sini,” ucap seseorang yang kutaksir dia adalah seorang hansip sebab memakai seragam hijau muda dengan tongkat di tangannya.
Kampung kami memiliki 7 blok. Semua blok memang menyimpan bendera di balai desa. Entah apa alasannya. Kenapa tidak disimpan di Rt masing-masing desa saja? Dan kenapa bendera tersebut bisa hilang? Apakah dicuri? Siapa pula yang mau mencuri bendera? Untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan itu berputar begitu saja dalam kepalaku.
Merasa tak ada mandat apapun bahkan untuk sekedar bertanya, akhirnya aku dan keenam temanku pulang. Sebab tugas kami memang hanya mengambil bendera. Setibanya di … -markas- kami langsung menceritakan kabar itu pada Bang Idman. Rupanya Bang Idman sudah mengetahui kabar itu dari seorang rekan yang mengabarinya lewat android bekasnya.
Tidak begitu menjadi misteri dan sebuah tragedi bagi kami, sebab kami masih sekelompok anak-anak tengil yang tak tahu-menahu perihal katanya ‘bendera pusaka’ itu. Namun ketika Bang Idman menceritakan suatu hal, saat mengajak kami mengecat pohon pinang sehabis shalat isya di lapangan desa, pikiran kami menjadi berubah arah.
“Bendera usang. Kira-kira usianya sudah 30 tahun lebih semenjak 3 Kades sebelumnya lengser. Konon, bendera itu pemberian seorang presiden untuk Ki Mujahidin yang terkenal itu,” ujar Bang Idman sambil berbisik. Ucapannya itu berhasil membuat kami penasaran. Seketika wajah-wajah kami serupa anak balita yang ingin diceritai Si Kancil dan Buaya.
Pantas saja kemarin Bang Idman meminta kami berhari-hati membawanya jika sudah mengambil bendera tersebut.
“Ki Mujahidin yang membangun Masjid Jami’ di dekat balai desa?” tanya Umar. Kang Idman mengangguk mengiyakan.
Kami tahu siapa Ki Mujahidin itu. Beliaulah orang pertama yang mewakafkan hartanya untuk membangun masjid di balai desa kami, sekaligus seorang Kiai pertama desa yang dihormati lantaran keluasan ilmunya. Kini makamnya dijadikan keramat sebagai buyut sepuh yang sering dikunjungi orang-orang.
“Ki Mujahidin sosok yang sakti mandraguna. Bisa menyembuhkan penyakit lewat doa-doa melalui air putih. Bahkan saat kemerdekaan Ki Mujahidin dikabarkan memiliki ilmu lipat bumi, ikut menghadiri undangan Presiden di Istana Negara sekaligus di desanya ini. Saat menghadiri undangan itulah dia diberi bendera merah putih. Katanya jahitan langsung istri presiden sembari diisi jampi-jampi kesetiaan pada negara.” Entah cerita itu benar atau tidak. Tapi kami telah terpengaruh sebab wajah Bang Idman terlihat serius sekali.
“Berapa bendera yang dikasih itu, Bang?” tanyaku akhirnya.
“Satu.”
“Satu?” tanya kami serempak.
Kami saling tatap. Tentu saja kami bertanya-tanya kalau bendera yang dikasih itu ternyata hanya satu. Kami pun menunggu lanjutan kalimat Bang Idman. Mencoba mencari jawaban kebingungan di sana.
“Iya. Bendera yang aslinya memang cuma satu. Lalu pihak desa membuat lagi tujuh bendera lainnya. Dan bendera pusaka tersebut tidak di simpan di balai desa. Melainkan di suatu tempat.” Kali ini bisikannya sambil melihat sekeliling. Mungkin takut ada yang mendengar. Sebab saat itu memang ada 8 panitia lain yang tengah mengerjakan tugasnya masing-masing.
“Di mana, Bang?” tanya Khaled seperti mendesak.
“Tidak ada yang tahu. Kecuali kepala desa,” jawabnya sungguh.
“Tapi ada identitas di bendera yang asli itu,” lanjut Kang Idman. Membuat rasa penasaran kami semakin akut.
“Nama Ki Mujahidin dan nama desa ini,” lanjutnya. “Katanya, Presiden memang sengaja membuat banyak bendera untuk diberikan kepada tokoh-tokoh desa, entah Kiai, ustadz, pemuka agama atau pejabat sembari mengukirkan nama mereka dan nama desa mereka di sana.”
“Lalu kenapa tujuh bendera itu yang dicuri, Bang?” rasa penasaranku telah memuncak.
“Meski bukan pemberian Presiden yang diisi jampi-jampi, tujuh bendera itu pun keramat. Masing-masing kainnya disemai dengan benang dari bendera asli yang kemudian ditahlili,” jawabnya mantap.
“Mengapa bisa begitu? Bukankah itu tak patut? Tidak sekalian saja dimandikan dengan kembang 7 rupa?” Komentar Azma. Sarkas.
“Syirik maksudmu?” Bang Idman tersenyum mengejek. “Tahlil itu doa-doa. Tujuannya agar warga setia kepada pancasila dan merah putih. Itulah bentuk hubbul wathon-nya. Mencintai negara sekaligus perangkatnya. Dicuci kembang tujuh rupa? Bah! Bendera itu bahkan tidak boleh dicuci karena dikhawatirkan menghilangkan aura pembuatannya!” jawabnya dan berhasil membuat kami semua melongo.
Kami masih kecil. Ucapan Kang Idman itu belum terlalu kami pahami maksudnya. Kami hanya bertanya-tanya soal siapa yang mencuri tujuh bendera itu?
Akhirnya karena kemerdekaan tinggal empat hari lagi, Bang Idman diminta untuk membelikan bendera baru. Oh, ya, kudengar pula Pak Kades masih mengerahkan tenaga untuk mencari tahu jejak-jejak pencurian bendera itu.
Kang Idman pun meminta kami agar lebih gesit menyiapkan segala keperluan untuk acara 17 Agustusan. Kami langsung mengiyakan. Dan malam ini kami melanjutkan tugas kami dengan membuat bendera-bendera kecil dari kertas wajik. Bendera itu nantinya akan kami pasang di lapangan menjelang kemerdekaan. Obrolan kami tak jauh-jauh dari bendera itu. Karena ternyata kami tertarik juga dengan topik hilangnya bendera.
“Ternyata karena bendera itu hilang, semua warga akhirnya jadi tahu jika bendera yang selama ini mereka gunakan untuk upacara itu adalah bendera keramat. Warga jadi geger perihal sejarahnya,” ujar Khaled sembari memotong-motong kertas wajik merah.
Aku teringat ucapan bapakku yang sudah tahu kabar hilangnya bendera, bahwa katany, tak mungkin tetangga desa yang mengambil, sebab soal kekeramatan bendera hanya diketahui oleh perangkat desa, termasuk bapakku.
“Bapakku juga bilang begitu.” Azma menanggapi, “Tapi kata Bapakku beliau tak curiga kepada siapa pun dari perangkat desa.”
“Lalu siapa? Tidak mungkin mantan perangkat desa yang lagi pergi merantau.”
Ucapan Syafar menyadarkan kami. Kompak kami menghentikan pekerjaan kami. Saling pandang. Orang-orang yang merantau?
Malam itu meski masih pukul 9 keadaan sudah sepi. Setelah shalat isya orang-orang di desa kami memang sudah mendekam di rumah masing-masing. Menonton tv atau memutuskan istirahat lebih awal untuk esok kembali bekerja.
“Bagaimana maksudnya?” tanyaku.
“Begini, ada banyak orang di desa kita yang merantau. Beberapa di antara mereka adalah perangkat desa yang pastinya tahu tentang bendera itu,” Usman.
“Tapi menurutku tak mungkin semua perangkat desa tahu,” sanggahku.
Khaled menimpali. “Masalahnya, perangkat desa yang dirantau itu cuma 5 orang.”
“Siapa?” tanya kami serempak.
“Pak Rusydi, beliau baru saja sebulan lalu pindah rumah ke desa sebelah. Wak Karmun, beliau bahkan sebulan lalu dikabarkan meninggal di rantau. Mang Sariman, jauh sekali rantauannya di papua sana. Sangat tidak masuk akal kalau jauh-jauh pulang hanya untuk mencuri bendera. Mang Saep, tengah berbahagia karena syawal kemarin baru menikah tak mungkin merusak kebahagiannya itu dengan mencuri bendera. Satu lagi, kalian ingat, Kang Adam, guru ngaji kita. Merantau 4 tahun lalu di kota tapi belum pernah pulang sekali pun,” jawab Khaled mantap.
“Jadi menurutmu yang mengambil itu kemungkinannya adalah Pak Rusydi yang baru pindah ke desa sebelah dan Kang Adam guru ngaji kita itu? yang belum pernah pulang itu? Ah, tak masuk akal!” ujar Usman mengingkari.
“Betul. Apakah mungkin mereka berdua? Apalagi Kang Adam?” tanyaku ragu.
Jelas siapapun tak akan percaya. Sebab itu hanya asumsi anak-anak SD yang naif.
Mengenai desaku yang asri dan sejuk itu, dengan kekayaan alam yang sejatinya anugerah terbesar menurut sekelompok penduduk, tapi tidak demikian bagi warga di sini. Pemuda-pemudanya memilih merantau di kota, ikut saudara dan atau bekerja di pabrik. Kadang hasil bumi memang tidak selalu menjanjikan.
Di antara pemuda yang merantau itu adalah Kang Adam, seorang guru ngajiku yang kudengar ikut rekannya merantau ke kota untuk dijadikan guru ngaji di sebuah masjid. Aku tahu bahwa pekerjaan Kang Adam sebagai guru madrasah dan pengembala kambing untuk menghidupi kedua orang tua serta 5 adiknya tidaklah selalu cukup, maka dia memutuskan mengambil tawaran rekannya itu.
“Tapi kudengar kemarin sore Kang Adam baru saja pulang. Belum ada yang tahu sih perihal kepulangannya. Ya, kecuali tetangga-tetangganya, sebab pulangnya tengah malam,” ungkap Usman menghentikan gerakan tangannya dari menempel wajik merah dan putih dengan lem.
Tak ada yang menyahut maupun menjawab. Sampai kemudian keheningan kami terusik, dari kejauhan terlihat seorang lelaki datang. Perawakannya tinggi-kekar. Badannya kurus tapi berotot. Dia memakai kaus pendek berwarna putih dan sarung wadimor biru tua. Walaupun memakai kopiah rambut gondrongnya terlihat jelas. Dia datang dari keremangan lampu ronda. Langkah demi langkahnya yang semakin mendekat itu membawa kami ikut merajut ingatan tentangnya.
Siapakah lelaki itu?
Saat sudah berdiri di dekat kami Usman menyeru, membuat kami ingat akan sosok itu. Kami terperangah.
“Kang Adam?”
BERSAMBUNG…