Entah siapa yang berteriak itu. Kurasa seseorang yang bukan berasal dari warga desa kami.
Mendengar itu orang-orang terpekik panik sekaligus bertanya-tanya apakah teriakan itu benar? Teroris?
Seketika semua orang menghambur ketakutan. Anak-anak berlari ke arah ibu atau bapak mereka. Ada pula anak yang menangis. Para pemuda ada yang sudah lari. Para perempuan menjerit-jerit. Keheningan tadi langsung berubah oleh keributan dan ketakutan.
Terlihat empat orang polisi datang dari arah depan kami semua bersama Pak Rt tepat saat kericuhan itu terjadi.
“Semua harap di tempat masing-masing!”
Rupanya satu gertakan seorang polisi itu tak mampu menertibkan keributan itu. Barulah ketika dia menembakkan pistolnya ke udara, bunyi dor-nya berhasil membuat semua orang refleks mematung.
“Tolong tetap di tempat masing-masing!” teriaknya lagi.
Ketika semuanya dirasa sudah diam, kulihat mata mereka mencari-cari seseorang. Kemudian terlihat Pak Rt menunjuk seseorang di barisan bapak-bapak. Keempat polisi itu pun mendekati orang yang ditunjuk tadi. Mereka mendekati barisan bapak-bapak itu dan terlihat memborgol tangan salah seorang di antara mereka. “Wak Bin! Mohon ikut kami. Anda tertuduh telah menyembunyikan seorang teroris.”
Lapangan itu dalam sekejap dipenuhi suara-suara dan pekikan kaget. Wajah mereka menampakkan ketidakpercayaan. Semua tak menyangka bahwa marbot tua masjid kami, Wak Bin, ditangkap polisi atas tuduhan menyembunyikan teroris.
Siapa teroris itu? Dan mengapa Wak Bin menyembunyikannya? Ada apa ini?
Belumlah selesai kekagetan warga, mereka tambah dibuat terkejut oleh seorang polisi lain yang datang bersama seorang pria yang tangannya juga telah terborgol.
Melihat wajah pria itu dalam sekejap lapangan kembali dipenuhi oleh dengungan lebah ketika mulut-mulut menggumamkan nama pria itu sembari menduga-duga, “Apakah itu Waridin?” tanya seorang bapak, entah kepada siapa?
“Bukankah dia Waridin? Putra sulung Wak Bin yang merantau bertahun-tahun itu?” Pertanyaan yang sama terucap dari seorang yang lain.
“Iya, dia Waridin. Wajahnya tak berubah. Yang membuatnya samar adalah brewoknya yang lebat itu, namun aku masih bisa mengenalinya,” ujar seorang Ibu-ibu.
Di mataku kejadian itu cepat sekali. Wak Bin yang hendak mengikuti upacara dan Bang Waridin itu langsung dibawa ke balai desa menaiki mobil polisi.
“Teroris ini salah satu buronan yang kabur dari banda aceh dua bulan lalu,” terang seorang polisi di meja interogasi.
Wak Bin terperanjat kaget mendengarnya. Tak menyangka jika ternyata dalam rantauan anaknya terlibat dalam sekelompok teroris dari Kalimantan.
“Interogasi berlangsung panas dan sengit. Ketika semua bukti terpampang dan Bang Waridin tak bisa mengelak, akhirnya dia pun mengaku kalau dia memang sedang dalam buronan polisi Banda Aceh. Karena itu semua orang pun mengira kalau Bang Waridinlah yang mencuri bendera. Sebab umunya para teroris itu orang-orang yang seperti dibilang Kang Syamsiar, mereka ingin mendirikan negara khilafah sehingga menyebut indonesia ini negara thaghut.”
Aku dan yang lainnya serius sekali mendengar cerita Khaled. Dia mendapat cerita itu dari bapaknya, yang kebetulan ikut mengantar Wak Bin ke kantor polisi.
Pagi itu perayaan kemerdekaan kami rusak. Semua persiapan acara kemerdekaan gagal dalam sekejap. Usaha kami selama 4 hari sia-sia belaka. Kami menelan kekecewaan dan sangat sedih sekaligus marah atas apa yang terjadi. Semua orang memilih berdiam di rumah. Hari yang tadinya kupikir akan ramai itu menjadi senyap.
Aku kesal karena kejadian itu menggagalkan rencana kami mengikuti lomba panjat pinang. Aku harus menelan kepahitan tentang kenyataan bahwa di tahun ini, di usiaku yang ke sepuluh aku tak bisa mengikuti lomba panjat pinang yang telah kutunggu bertahun-tahun itu. Aku harus menunggunya tahun depan. Dan itu sangat lama sekali.
Pukul 5 sore, kami berkumpul di pos ronda. Menekuri kejadian tadi pagi sekaligus mencari-cari sedikit info tentang Bang Waridin dan Wak Bin lantaran rasa penasaran kami, sebab hal itu ada kaitannya dengan bendera yang hilang. Walaupun masih ada rasa kesal atas kegagalan acara yang kami ikut andil di dalamnya. Namun sebagai anak kecil yang naif kami merasa bahwa kami harus belajar merelakan apa yang sudah terjadi dan mulai ikut memikirkan nasib bendera yang dicuri itu. Kami telah sepakat menganggapnya sebagai bagian dari tugas kami yang gagal. Karenanya kami ikut bertanggungjawab perihal sepak terjang bendera itu. Meskipun tak ada seorang pun yang merasa kami ikut bertanggung jawab atau melihat perasaan tak enak itu dalam diri kami. Sebab kami tak lebih dari bocah ingusan kelas 4 SD yang masih senang bermain-main. Dianggap tak tahu apa-apa.
“Lalu Bang Waridin itu mengaku?” tanya Amir.
Khaled menggeleng. Kembali melanjutan cerita dari bapaknya itu. Mengajak imajinasi kami seolah-olah berada dalam ruang interogasi.
“Saya tidak mencuri bendera!” bantah Bang Waridin “Tapi meski begitu, mengagungkan bendera itu syirik, Pak!” lanjutnya lantang.
Semua orang berpandangan.
“Syirik bagaimana?” tanya Pak Polisi.
Bang Waridin, putra sulung Wak Bin ini merantau saat usianya 16 tahun. Dia tak pulang hingga 14 tahun kemudian karena katanya mengirim kabar bahwa dia sudah menikah dengan penduduk di rantauannya itu. Tak ada yang tahu di mana tempat Bang Waridin merantau. Bahkan Wak Bin sendiri menyatakan bahwa dia sudah putus kontak dengan Bang Waridin. Bang Waridin tak pernah lagi mengirim surat atau sekedar berkabar. Istrinya Wak Bin meninggal saat melahirkan anak bungsu mereka. Wak Bin pun tinggal bersama kedua putrinya. Adik pertama Bang Waridin yang kemudian menikah dengan tetangga desa diboyong suaminya. Kini Wak Bin tinggal berdua saja dengan putri bungsunya yang masih kelas 2 Aliyah.
Karena terlalu lama pergi, dan menurut pengakuan warga, Bang Waridin sudah pindah kependudukan. Hal itu membuat warga desa tak lagi mengingatnya, bahkan sudah banyak yang lupa akan wajahnya. Ada orang yang bilang, bahkan Wak Bin sendiri hampir tak lagi ingat kalau dia punya anak sulung laki-laki.
baca juga :
Pengelolaan Sampah Sebagai Implementasi dari Fiqh Al-Bi’ah
Kabarnya Bang Waridin ini memang sudah menikah. Dia dan istrinya terlibat dalam kelompok radikal dan sekarang dalam masa pelarian sebab gelagat-gelagat tak baik mereka yang hendak mengagendakan kekacauan telah dicium aparat. Tapi Bang Waridin menganggap bahwa apa yang dilakukannya itu merupakan agenda Tuhan. “Kami ini membela Tuhan dengan mengajak mereka untuk menerapkan islam secara kafah. Namun orang-orang di Indonesia ini malah bermaksiat karena sejak mula kepemimpinan dan pondasi negaranya salah. Pancasila itu salah. Tidak islami. Karena itulah semuanya perlu diluruskan ulang. Maka orang-orang seperti mereka itu virus sehingga harus dilenyapkan!” ujarnya berapi-api.
“Ah pokoknya jawaban-jawabannya saat ditanya Pak Polisi itu sulit sekali bahasanya. Intinya, dia menganggap hormat kepada bendera itu sebuah penyimpangan karena ada sikap terselubung hormat kepada selain Nabi Muhammad dan Allah,” ujar Khaled menceritakan ulang ucapan Bang Waridin menurut tutur bapaknya itu dengan versinya sendiri yang lebih singkat. “Kata bapakku, pemikirannya itu kaku, saklek dan kuno. Sangat fanatik,” lanjutnya.
“Apakah karena dia seorang teroris yang menganggap menyimpang terhadap bendera dan pancasila, dia jugalah yang mencuri bendera?” tanya Usman.
“Bapakku bilang, sangat aneh kejadian pagi itu. Bahkan Bang Waridin tak tahu menahu soal bendera yang dicuri. Dia bersumpah kalau dia mendekam di rumah selama dua minggu. Tak tahu informasi luar karena memang tak pernah keluar. Bahkan kedatangannya dua minggu lalu itu dia lakukan diam-diam di malam hari. Saat semua orang sudah tidur.”
“Bukannya Kang Adam bilang bahwa malam itu dia melihat putra Wak Bin itulah yang mengendap-endap menuju tiang bendera?” tanya Syafar.
“Saat itu dia mengaku kalau memang hendak mengacaukan upacara dengan merobek bendera karena menganggap hal itu musyrik. Tapi dia tak menyangka kalau malam itu ada panitia yang sedang mengontrol persiapan acara besok.”
Jadi memang benar Bang Waridin yang seharusnya kami kejar malam itu, namun malah Kang Adam yang tertangkap sehingga dia yang diinterogasi. Kabarnya sampai pagi Kang Adam masih di rumah Pak Rt. Karena ternyata saat ke rumah Wak Bin, mereka tak mendapati siapa pun di sana. Bahkan Wak Bin pun tidak ada.
“Malam itu, menurut pengakuan Wak Bin, anaknya si Bang Waridin itu mengajaknya keluar ke Masjid Jami’ di Kabupaten. Karena itulah mereka tak menemukan jejak-jejak mencurigakan soal kedatangan Bang Waridin seperti yang dinyatakan Kang Adam.”
Kini semuanya menjadi jelas. Bahwa Kang Adam memang tidak bersalah. Bahwa Bang Waridin anaknya Wak Bin itu memang datang dari rantauan karena dalam masa pelarian sebagai buronan teroris. Kenyataan itu mengerikan bagiku, bagi kami, dan tentunya warga desa kami.
“Bang Waridin sampai bersumpah demi Allah lantaran kesal didesak untuk mengaku mencuri bendera,” ujar Khaled menutup percakapan.
Sungguh membingungkan.
Kemana hilangnya bendera usang desa kami itu?
BERSAMBUNG…