International women’s day adalah bentuk peringatan perjuangan perempuan mencapai kesetaraan gender dan hak-haknya. Seperti hak bekerja, hak atas Pendidikan dan hak memilih. Yang seharusnya perempuan bebas beropini dan bermimpi, justru masih terjerat oleh batas-batas yang membuatnya kehilangan kebebasan. Ketika perempuan memilih pilihannya sendiria dianggap sesuatu yang tabu, mengapa ke-tabu-an itu justru hilang ketika yang memilihnya adalah lelaki? Apakah memang pilihan-pilihan hidup harus dilandaskan pada jenis kelamin? Lalu apakah jakun dan payudara itu adalah penanda seseorang masuk surga atau neraka?.
Perempuan memilih fashion
Pakaian perempuan selalu menjadi pusat perhatian di jalanan yang mereka lalui, tanpa mempertimbangkan hal-hal yang jauh lebih penting daripada pakaian itu sendiri. Misalnya kalau pakaiannya begini, maka dia suci. Kalau pakaiannya begitu, maka dia kotor. Cepat sekali menilai seseorang hanya dari luarnya saja. Rumus macam apa ini. Mau bagaimana pun kain yang dipakai oleh perempuan, isinya mah sama. Jadi jangan terlalu cepat memutuskan dia suci atau kotor. Sebab di balik busana yang dikenakan perempuan isinya tak lebih dari seonggok daging yang dilindungi rahmani yang berasal dari rahim ibu. Di sinilah letak puncak kehormatannya, bukan pada sehelai kain yang menutupi badannya.
Namun, mengapa mata jalanan selalu saja tak tenang ketika ada perempuan lewat? Mulutnya pun terlihat rumit mengkomat-kamit kutukan? Perempuan yang berpakaian khas timur tengah atau yang berkiblat ke budaya barat, jangan lagi dipersoalkan atas nama aurat. Aurat tak ubahnya seonggok daging yang dilapisi kulit. Aurat itu isi yang dikemas oleh tata krama dengan berpanutan pada budaya masing-masing.
Perempuan memilih childfree
Pemikiran mengenai childfree menghantui saya selama bertahun-tahun, karena tidak sesuai dengan tujuan pernikahan yang ada di kitab-kitab klasik, yaitu melanjutkan keturunan. Tetapi hal itu juga membuat pandangan saya lebih luas, terutama ketika saya meyakini bahwa kita tidak bisa menggantungkan kebahagiaan kepada orang lain.
Pemikiran childfree membebaskan saya bahwa setiap orang bisa menciptakan kehidupan yang mereka mau tanpa terbebani tuntutan kewajiban siapa pun. Karena mereka lah yang bertanggung jawab atas kebahagiaan mereka sendiri.
Mungkin ini sesuatu yang egois? Pelit?, tetapi yang jelas mereka tidak munafik. Mereka hanya berterus terang dan menyuarakan hak memilihnya untuk hidup bahagia versi mereka. Namun, jangankan mendapat kebijakan yang adil. Lingkungan sosial saja kerap memberikan stigma buruk yang berujung pada persekusi.
Tugas perempuan itu sudah cukup banyak, makannya kenapa Nabi tidak ada yang perempuan. Karena Tuhan tidak ingin membebani tugas lagi kepada perempuan yang sudah kadung berat. Ditambah perempuan mengalami siksaan musiman yang mau tidak mau perempuan harus alami, yaitu datang bulan. Tetapi dalam hal ini saya tidak menganjurkan atau bahkan memaksakan pemikiran saya ini kepada siapapun.
Perempuan memilih baper
Hinaan berbentuk guyonan yang biasa dibungkus dengan kata baperan sering dialami oleh perempuan. Betapa banyak perempuan yang mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang menyebalkan. Misal seperti ini;
“Kamu kok suaranya kayak laki?”
“Bajumu yang kekecilan atau badanmu yang kelebaran?”
“Alismu kok tebal sih?”
Padahal tanpa diperjelas pun, si perempuan itu sudah tahu. bahkan sangat tahu tentang kekurangan dan kelebihan yang ada pada dirinya sendiri. Harusnya kita sebagai sesama manusia bisa untuk tidak basa-basi. mungkin hal sepele, tetapi ini menyebalkan dan tidak menguntungkan siapa pun. Bahkan ketika si perempuan merasa tersinggung atas ucapan tadi, mereka malah bersembunyi di balik kata, “Begitu aja baper”.
baca juga :
https://kebonjambu.ponpes.id/nyanyian-waktu/
Perempuan memilih hak-haknya
Perempuan bukan sebatas definisi lalu dikonstruksi oleh patriarkhi dan misogini. Bukan sebatas objek yang hanya tahu bagaimana caranya berdandan. Bukan pula persaingan tentang siapa yang pantas menjadi idaman. Perempuan beropini bukan untuk diintimidasi. Perempuan bermimpi bukan untuk dicaci-maki. karena perempuan bukan lagi sebuah identitas yang terjerat batas.
Apakah Islam mengajarkan tentang perlunya untuk menghargai hak-hak orang lain? Sebagaimana pepatah Meksiko yang mengatakan; “el respeto el derecho ajeno es lapz”. (menghargai hak-hak orang lain, itulah perdamaian).
Al-Qur’an mengatakan;
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ ࣖ
“bagimu agamamu, bagiku agamaku”
Kalau kepercayaan saja dihargai dalam Islam, apalagi hak-hak lainnya. Kadang kita terlalu sibuk melakukan ibadah fardlu ‘ain saja, sampai lupa untuk melakukan fardlu kifayah. Mungkin ini sebab yang membuat kita tidak bisa menghargai atau bahkan memberi hak-hak orang lain.