Aku mendengus kesal, berjalan dengan muka merengut. Ini kan hari minggu. Mana ada hari libur disuruh buang sampah? Aku keluar setelah Ibu marah-marah menyuruh aku buang sampah dan membereskan kamar di hari libur yang kutunggu-tunggu ini. Harusnya kan bisa bersantai-santai. Lagipula itu juga tugas perempuan.
Tuk!
Sebuah kaleng bekas minuman menghantam kepalaku, jatuh dan menggelinding di hadapanku. Sudah kesal, makin kesal lagi.
“Uh! Dasar kaleng sialan.”
Kutendang kaleng itu kuat-kuat sampai ke antah berantah sekalipun.
Selanjutnya aku berjalan entah ke mana, mengikuti kata hati saja. Nyatanya sampailah aku pada sebuah destinasi, ah, entahlah ini sebuah destinasi atau bukan. Hmm … Sebuah Bantar mungkin atau lautan sampah. Bisa juga disebut gunung sampah.
Sejenak kutatap dari jauh, memandang gunungan-gunungan itu menciptakan sudut kovalen. Tapi lama-lama aku penasaran juga. Ya, akhirnya kucoba melihat lebih dekat.
Padahal masih berada di ujung gerbang, tapi bau busuk itu sudah terasa menusuk hidung. Sampah-sampah ini. Ah, menyebalkan. Aku menyaksikan para pemulung lusuh berlalu-lalang, sibuk dengan gesit dan bergegas. Mengambil apa yang bisa diambil. Memilah apa yang bisa dipilah. Juga menjual apa yang bisa mereka jual. Mungkin mereka memikirkan anak akan makan apa nanti malam dan istri minta belanja apa besok pagi.
Aku mendekat ke arah pengepul sampah. Mereka sedikit terkejut atas kedatanganku. Aku santai saja. Hanya ingin tahu kok. Aku berjongkok di sebelah salah satu pengepul yang sedang menimbang botol bekas dan cup-cup plastik. Dia menghentikan pekerjaannya dan memandangku heran.
“Sedang apa?” tanyanya.
“Sedang lihat.” Aku balas menatap pria paruh baya itu dengan cengengesan.
“Tahu ….” Ia belum selesai mengucap, langsung kupotong.
“Tempe.” Aku nyengir lebar-lebar.
“Hus, anak aneh. Mau jual sampah juga?” sekarang pria paruh baya itu terlihat lebih bersahabat.
“Tidak, Om. Mau tahu saja. Saya orangnya kepo-an.”
“Ya, sudah. Terserah kamu saja.” Akhirnya ia melambaikan tangan, aku boleh melihat.
Aku melihat ke beberapa pengepul lain, ada yang menimbang bekas plastik kemasan, ada yang menimbang tanaman-tanaman juga makanan sisa, juga ada yang mengumpulkan bekas kemasan sampo, sabun, juga popok dan pembalut.
Aku melontarkan pertanyaan pada pemulung paruh baya di sebelahku. “Kenapa beda-beda, Om?” Aku menunjuk ketiga pengepul berbeda tersebut. Pria pengepul di sebelahku sudah rampung timbang-menimbang bekas botol-botol dan cup plastiknya. Ia menepuk-nepuk tangan membersihkan.
“Kalau yang saya urus, ini namanya rongsok. Hasil dari pemilahan sampah di gunung-gunung sampah yang kau lihat itu. Pengelompokannya adalah botol plastik, cup, juga kaleng-kaleng bekas. Kalau di sebelah sana itu bagian organik. Yang bisa hancur dengan tanah. Nah di sebelah sana, ada sampah anorganik, terdiri dari bekas plastik kemasan juga plastik bekas, dan sampah sampah kering lainnya, Kalau yang itu, namanya residu. Tidak bisa hancur dalam waktu yang lama sekali. Residu tidak bernilai ekonomis, hanya untuk dihancurkan. Karena hancurnya lama sekali. Plastik yang pada umumnya hancur dalam waktu 20 tahun, tapi plastik residu hanya akan hancur dalam jangka waktu yang sangat lama melebihi sampah plastik biasanya. Juga tidak bisa didaur ulang.”
Pria pengepul menjelaskan panjang lebar sampai aku melongo. Wah … Keren. Ternyata mereka memilah dengan begitu rumitnya. “Oh, begitu, Om. Saya ngerti. Terima kasih atas penjelasannya.”
“Santai saja, Nak. Jarang-jarang ada anak yang ingin tahu sampai mendekat kepada kami sepertimu. Mungkin mereka merasa jijik pada pekerjaan rendahan kami ini.” Pria itu tersenyum kecil.
Aku hanya balas tersenyum dan menggeleng.
Sampah. Aku hanya mendengus. Tak ubah akan prinsipku jika pekerjaan rumah meliputi buang sampah itu pekerjaan perempuan. Mana mau aku pulang. Yang ada hanya disuruh ini-itu.
Aku berjalan ke arah pulang, tetapi menghindari rumah. Aku melewati kompleks apartemen dekat rumahku, berjalan lewat belakang, melewati punggung dua apartemen. Ah, hari ini panas sekali, kepalaku seperti terbakar saking panasnya.
Tuk!
Sebuah kaleng bekas menghantam kepalaku. Lagi?
“Huh! Kaleng sialan!”
Tampilannya persis sama seperti kaleng yang aku tendang lebih dulu. Loh? Lagipula darimana dan siapa yang melemparkan kaleng ini. Padahal hanya ada tembok dan tembok. Aneh. Seperti jatuh dari langit dan selalu strike di ubun-ubunku.
Aku berniat menendang kaleng itu, mengayunkan kaki kananku dengan penuh kekesalan, sampai ujung kakiku menyentuh kaleng itu,
SPLASH!
Semua tiba-tiba terasa gelap.
***
Aku derita maupun penawar
Kesederhanaan maupun kemegahan
Aku pedang yang menghancurkan
Aku api yang membinasakan
Pertentanganku nyata
Seperti jiwa manusia aku tak terikat
Aku tak terikat pada masa dan keluasan
Kau adalah rahasia terpendam dalam dirimu
Aku adalah rahasia dari wujudmu
Aku hidup karena kau memiliki jiwa
Dan tempat tinggalku adalah kesendirian jiwamu
Mataku terasa perih sekali. Aku tak bisa membukanya. Pusing yang terasa di seantero kepalaku. Badanku rasanya ingin remuk. Aku mencoba membuka mata, mengerjap-ngerjap. Aku melihatnya, tersenyum padaku. Cantik sekali. Tapi aku tak tahu makhluk apakah dia. Seperti asap, tembus pandang. Ia sangatlah indah, wajahnya close-up. Ia duduk atas aku yang terduduk menyender. Ia dipenuhi aura-aura hijau dan seperti… busuk? Aku tak tahu pastinya aura-aura apa itu. Terlihat seperti, Medusa? (Makhluk dalam Mitologi Yunani)
“Hai, Fajar sayang.” Ia menyentuh wajahku lembut, mengusapnya. Aku melihatnya ngeri. Aku mencoba menjawab tapi tak bisa! Seluruh indraku tak berfungsi selain melihat. Seperti terkunci. Aku dimana? Bagaimana aku bisa disini? Dan apakah dia?
“Pasti kau bingung dan akan bertanya kau ada dimana, bagaimana bisa disini, apakah aku, juga berbagai pertanyaan bodoh lainnya. Begini, sayang. Ini adalah Labirin Sampah. Tempat penghukuman paling adil. Di luar Bumi serta Galaksi Bimasakti. Aku adalah Nyanyian Waktu. Aku adalah roh sampahmu. Kau di sini karena sikapmu sendiri yang tak pernah mau membuangku dengan benar. Kau selalu menyangkal saat Ibumu memintamu untuk membuangku dengan baik dan benar. Bahkan untuk hidup bersih pada dirimu sendiri saja kau menolak.”
Ia mengangkat tangannya, jemarinya yang indah menari-nari dan menjentikkan telunjuknya di depan bibirku. Ting!
“HAH! Eh?” Ucapku spontan. Wah, aku sudah bisa berbicara sekarang. Sepertinya dia membuka kunci atas mulut dan kerongkonganku.
Aku bergidik merinding. Sampah? Ini sungguhan? Apaan dah? Hanya sampah saja, bukan?
“HANYA? HANYA KAU BILANG?”
Nyanyian Waktu terlihat marah, ia bangkit dari pahaku, mengambang 1 meter dihadapanku. Matanya menjadi merah menyala, rambut asapnya berkibar-kibar, benar-benar mengerikan. Aku jadi benar-benar takut.
“Ini aku! Yang selalu kau tidakpedulikan, kau injak, kau tendang, dan kau anggap remeh. Aku yang ada bahkan kau tidak peduli atasku. Kau selalu menyepelekan apapun tentangku. Jadi ini adalah penghakiman untukmu!” Ia mengentakkan tangannya, lenganku tergerak. Aku lantas berdiri, memandangnya takut-takut. Meminta penjelasan lebih jauh atas semua ini.
“Kau adalah anak pembangkang yang selalu tak mengindahkan apa perkataan Ibumu. Maka sekarang lihatlah akibatnya.”
Ia menggerakkan lengannya, muncullah layar berisikan gambar sesuatu… Ibu! Hei, bukankah itu Ibuku? Berada dalam bunker transparan, terendam cairan bening warna hijau. Matanya terpejam. Ibu!
“Kau benar, Fajar. Ialah Ibumu! Ia sekarang terendam dalam cairan kimia limbah pabrik yang akan membusukkan apapun dengan cepat jika diaktifkan. Akibat ulahmu yang selalu tak menurut padanya ia berada di sana. Nyawanya terancam.”
Seluruh diriku rasanya ingin remuk. Apapun keadaannya, aku tetaplah anak laki-laki Ibu. Aku menyayangi Ibu sebagaimana Ibu menyayangiku. Dengan Ibu aku memang banyak menentang, tapi jika tidak dengan Ibu aku tak bisa. Aku harus apa?
“Lalu aku harus apa? KEMBALIKAN IBUKU!” Aku tak peduli, mengamuk kepada makhluk itu. Persetan semua ini, aku hanya peduli pada Ibuku.
Mata merahnya perlahan memudar. Ia terlihat cantik seperti sediakala. Menatap iba kepadaku. Napasku sudah tidak karuan, aku menahan tangis sekuat yang aku bisa. Teringat pesan Ibu bahwa anak laki-laki yang menangis adalah pecundang. Dan aku anak laki-laki Ibu, aku bukan seorang pecundang!
“Fajar, pergilah menjalani penghakiman Labirin sampah. Kau akan melewati 3 Pos untuk ketiga babak hukuman. Apabila kau berhasil melewati semuanya, gerbang untuk bertemu Ibumu akan berada di hadapan mata. Sekarang lari dan cepat selamatkan Ibumu! Untuk sekarang, ikuti lorong sebelah kanan!”
Ia mengayunkan tangannya, badanku terdorong dan otomatis berlari. Aku berlari sekitar 100 meter dan bertemu dua pilihan. Lorong kanan, terlihat gunungan sampah seperti di Bantar. Lorong kiri, berisikan bunga sepenuhnya. Itu menjanjikan. Tapi aku tak mau gagal menyelamatkan Ibu, juga mengingat apa yang Ibu pesankan padaku.
“Fajar, orang yang sulit diawal adalah orang yang akan sukses pada akhirnya. Maka berjuanglah.”
Yap! Aku akan berjuang untuk Ibu. Aku mulai merenangi sampah-sampah ini dengan penuh ber-huek-huek. Menjijikkan. Bau. Becek. Sampah sisa-sisa makanan menempel pada baju dan badanku. Ewh! 200 meter, aku akhirnya bertemu ruangan beteknologi tinggi. Wow.
Sebuah proyektor terhampar di hadapanku. Aku mendengak.
SELAMAT DATANG DALAM LABIRIN SAMPAH! DISINI KAU AKAN MELEWATI 3 BABAK DALAM 3 POS UNTUK MENYELAMATKAN ORANG YANG KAU SAYANGI. BERSIAP-SIAPLAH DAN MATCH DENGAN MANUSIA BERNASIB SAMA SEPERTIMU! LORONG YANG KAU LEWATI TADI ADALAH SAMPAH MANUSIA YANG SAMA SEKALI TIDAK PEDULI AKAN PENTINGNYA PEMILAHAN. MAKA, DI POS 1 INI, KAU AKAN MELEWATI BABAK 1, YAITU PEMILAHAN SAMPAH. BAGAIMANA 100 TON SAMPAH AKAN KALIAN SELESAIKAN? SILAHKAN JAWAB DENGAN KEKUATANMU.
Tiba tiba saja aku diguyur air, seperti hujan. Sampai sampah-sampah luruh dari tubuhku. Air berhenti, ruangan kembali kering dan terang. Tersedia pakaian dan perlengkapan-perlengkapan asing berteknologi tinggi.
Aku memakainya dan mengambil vest yang tersedia. Wow. Tampilanku seperti prajurit. Prajurit sampah. Terdengar langkah kaki, seorang perempuan berambut aprikot yang terkepang.
“Hai. Aku Allerb. Apakah ini match-nya?” ucapnya. Ia berbahasa asing.
Aku menjawab, untungnya aku mengerti. “Sepertinya, ya. Aku Fajar.”
“Oke, Fajar. Kalau begitu, ayo!” Allerb melambaikan tangan mengajak, bergegas berlari.
“Gas?”
“Gaskeuuuuun!”
***
SILAHKAN PILAH SAMPAH SESUAI KOTAK YANG TERSEDIA. APABILA ADA SATU SAMPAH SAJA YANG SALAH MEMASUKI KOTAK, MAKA KALIAN AKAN GAGAL DAN MENJADI SEPERTI MAKHLUK YANG KALIAN TEMUI DI AWAL TADI!
Kami keluar dari ruang persiapan, bertemu dengan 100 ton tumpukan sampah. Disediakan 4 kotak dengan warna berbeda untuk sampah organik, anorganik, rongsok dan residu.
Allerb tanpa ba-bi-bu mengangkat sampah dan memisahkan sampah dengan bantuan tangan robot percepat gerakan.
Aku juga tak mau kalah bergegas. Aku mengingat ilmu tentang pemilahan yang aku dapatkan dari pengepul di Bantar. Aku bersyukur pernah mampir kesana.
Kami menyelesaikan 1 ton sampah dalam waktu 30 detik saja! Dan setelah kurang dari 1 jam, kami hampir berhasil menyelesaikan babak ini. Aku meraih sampah terakhir. Sebuah popok.
Aku hampir saja memasukkan popok ini kedalam kotak organik sampai Allerb berteriak keras membuyarkan ketidakfokusanku, “FAJAR! KAU GILA! MATILAH KITA!”
Popok? Ah, residu. Aku dengan waktu sepersekian detik dan dengan bantuan tangan robot, aku belok ke kotak residu.
SELAMAT! BABAK 1 TELAH KALIAN SELESAIKAN. KALIAN ADALAH PASANGAN TERCEPAT SEJAUH INI YANG BISA MEMISAHKAN 100 TON SAMPAH DALAM WAKTU SINGKAT. KEKOMPAKKAN TELAH MEMBAWA KALIAN KE BABAK SELANJUTNYA. SILAHKAN LANJUT KE POS 2!
Layar mati, tak ada apapun selain ruang kosong bekas sampah-sampah. Aku dan Allerb berjalan keluar, melewati lorong besi dan ha!
Hutan ditujukan kepada kami. Apakah ini adalah pos 2? Allerb mengajakku bergegas dan masuk kedalam hutan. Setelah kami memutari hutan, kami dipertemukan pada lorong tanah. Kami hanya mengikuti. Tidak ada petunjuk apapun.
Eh? Ini kan ruang bekas pemilahan tadi. Loh, kok? Lorong itu tembus ke ruangan pemilahan sampah.
“Aku tak tahu bagaimana ini bisa terjadi, Fajar. Apakah kita harus mengulang lagi? Mencoba mencari jalan keluar? Masalahnya, kita tak mendapatkan petunjuk apapun.”
Aku hanya menggedikkan bahu, mencoba berjalan saja. Allerb selalu memimpin. Kelihatannya ia perempuan yang cerdas, tangkas, juga gesit. Kami memutari hutan, bertemu lorong tanah, juga tetap sama saja balik ke lorong sampah ini. Aku tak tahu sudah berapa jam kami jalan. Hasilnya nihil, tak ada petunjuk apapun.
Setelah 4 kali begitu-begitu saja, aku mencoba beristirahat dulu. Meregangkan otot. Allerb mengikuti.
Allerb membuka percakapan, “Kau mengapa ada di sini?”
Aku mengangkat bahu, malas. “Aku mau selamatkan Ibu.”
“Ooh, begitu.” Singkat Allerb.
Aku menekuk lutut, menumpukan dagu pada lutut. Ini buntu. Aku harus bagaimana? Sampai Allerb berkata,
“Hei, Fajar.”
“Apa?”
“Sadarkah kau bahwa ini adalah Labirin sampah?”
AH! Aku kembali bersemangat, cepat-cepat mengajak Allerb untuk menyusuri hutan lagi.
***
Kami memutari hutan, sampai kami bertemu lorong, lalu menyusuri hutan lagi begitu saja. Sampai kami bertemu ayam hutan berbulu emas.
“Ayam?” Allerb bertanya pertanyaan retoris. Sudah tahu ayam.
Aku dengan malas menjawab, “Bukan, buaya.” Allerb hanya bengong.
10 menit, aku memerhatikan ayam itu dengan cermat. Ayam itu hanya bolak-balik secara horizontal, begitu saja.
20 menit, aku lelah, merengek pada Allerb untuk pergi cari jalan lain saja dan ditolak mentah-mentah.
30 menit, ayam berbelok. Kami sumringah, mengikuti jalan ayam itu. Ayam itu membawa kami pada sebuah padang rumput. Allerb memandangku sinis, hehe. Ayam berhenti, kami pun mengikuti, dan …
BRUK!
Kami berteriak panik, “AAAAAA!!!”
Jebakan tanah seperti perosotan membawa kami pada sebuah hamparan padang rumput lagi. Namun kali ini lebih indah.
SELAMAT! KALIAN TELAH MENYELESAIKAN BABAK 2, YAITU BABAK KESABARAN. KALIAN AKAN MELEWATI POS TERAKHIR, DAN TEMUILAH ORANG YANG KALIAN SAYANGI!
Proyektor memperlihatkan kata-kata. Oh, ayam penguji kesabaran. Di depan kami telah terhampar jembatan indah, dengan gerbang besar. Ibu, tunggu aku.
Ini mudah sekali, hanya jembatan dengan sungai indah dibawahnya. Aku melenggang santai, sampai binatang yang membuat jeri seperti ular, tikus, cicak, trenggiling dan binatang-binatang lainnya datang silih berganti.
Aku santai-santai saja dan hanya menghindari mereka. Tapi tidak dengan Allerb, ia menjerit ketakutan sampai menangis. Apa boleh buat, aku menggendongnya.
Allerb menyemangatiku, “Ayo, demi Ibumu, Fajar.”
“Juga untukmu.”
Entah mengapa, perkataan itu keluar begitu saja dari mulutku. Aku suka Allerb. Ia berbeda dari perempuan kebanyakan. Ia selalu sigap dan prima.
“Tidak, Fajar. Aku berjuang demi Ayah dari seseorang diperutku.”
Oh. Aku melanjutkan saja, tersenyum pada Allerb. Sampai-sampai semut datang dan menggigiti kakiku. Aku paling tak tahan soal semut.
ARGHH!!!
Aku tak tahan lagi, “Dasar semut sialan! Keparat!”
Aku tak sengaja mengumpat.
CRAK!
Jembatan terbelah dan aku menyaksikan akhir hayatku di depan mata. Semua berjalan begitu cepat. Kotak pemilahan sampah, Nyanyian waktu, juga ayam penunjuk jalan.
KALIAN TELAH GAGAL ATAS UJIAN TERAKHIR, YAITU UJIAN KESABARAN HATI! SEMUA BABAK BERHASIL KALIAN SELESAIKAN DENGAN BAIK, TAPI DI BABAK INI KALIAN GAGAL!
Layar menampilkan Ibu yang membusuk, juga sama dengan Allerb, ia menyaksikan seseorang membusuk. Maafkan aku Ibu, maafkan aku Allerb. Aku telah mengacaukan semuanya.
Danau indah hancur, aku jatuh, wajahku menyentuh cairan kimia.
SPLASH! SPLASH!
“Bangun dan buang sampah, Fajar!” Suara Ibu setengah berteriak.
Aku bangun dengan cepat, meraih plastik sampah di dapur, lalu membuangnya tepat saat mobil pengangkut sampah ke Bantar datang. Aku tak akan menyepelekan sampah lagi.
***