Mari kita mulai dari sebuah pertanyaan tentang apa arti dari nama Kimiyaus Sa’adah? Kitab yang sekarang sedang kita kaji ini.
Kimiyaus Sa’adah terdiri dari dua kata Bahasa Arab. Kimiya dan Sa’adah. Kimiya juga sudah menjadi kata serapan yang digunakan dalam bahasa Indonesia “Kimia”. Kimiya berarti proses mengenal materi. Dalam hal ini kimiya berarti proses mengenal diri sendiri. Sementara Sa’adah mempunyai arti kebahagiaan. Kimiyaus Sa’adah bisa diartikan sebagai proses mengenal diri sendiri untuk memperoleh kebahagiaan sejati.
Lalu, mengapa untuk memperoleh kebahagiaan itu orang harus mengetahui diri sendiri terlebih dahulu?
Pertama, kimiya secara dzohir itu tidak bisa kita temukan kecuali pada “Khozainillah” atau gudang penyimpanan Allah. Di sanalah kita bisa mengetahui kimiya dari seluruh materi di alam raya ini. Termasuk Kimiyaus Sa’adah atau kunci kebahagiaan itu juga adanya pada Khozainillah. Siapa yang bisa mengetahui Khozainillah tersebut? Tentu para malaikat yang di langit dan para Rasul dan Nabi Allah yang menyebar di bumi sebanyak 124.000 jumlahnya. Mereka inilah yang mengetahui dan akan menuntun seseorang tentang bagaimana caranya ia memperoleh Kimiyaus Sa’adah. Mereka mengajarkan naskah kimiya, mengajarkan bagaimana menjadikan hati seseorang untuk bermujahadah, menyucikan hati, dan bagaimana langkah yang harus ditempuh untuk mencapai kesucian hati.
Kedua, tentu untuk mencapai kebahagiaan sejati, seseorang perlu mengenali dirinya sendiri. Sementara yang paling dekat dengan diri kita adalah diri kita sendiri. Tetapi apakah kamu tahu dirimu itu yang mana?
“Ini saya, sambil menunjuk dada” kata dirimu, misalnya. Itu bukan dirimu, tetapi itu dada. Lalu kamu menunjuk kepala sambil mengatakan hal yang sama “ini saya”. Itu juga bukan dirimu, dan seterusnya itu semua hanyalah jasad dzohir. Lantas, dirimu itu yang mana?
Sementara ini kita hanya mengetahui jasad dzohir kita saja. Kita belum pernah mengetahui apa yang ada dalam perut kita sehingga ia merasakan lapar lalu memerintahkan kita untuk mencari makan. Kita tidak pernah tahu apa yang ada dalam dada kita sehingga ia merasa marah lalu memerintahkan kita untuk berbuat kasar, dan seterusnya. Maka semestinya mulai sekarang kita mulai mencari dan mengenali, sejatinya diri kita itu yang mana? dari mana kita datang? mau kemana diri kita? untuk apa kita diciptakan? apa sesungguhnya yang membuat diri kita bahagia? apa pula yang membuat diri kita sengsara?
Dalam diri kita itu terdapat 3 sifat, yaitu: sifat binatang, sifat buas, dan sifat malaikat. Sifat malaikat inilah yang tentu diciptakan dari cahaya (nurani). Inti dari diri kita yang sesungguhnya adalah ruh dengan sifat malaikat atau yang lebih dikenal dengan istilah ruhani/nurani. Ruh inilah diri kita. Sementara yang lain itu bukan siapa-siapa dan asing bagi kita. Karena ruh inilah yang hidup dan selamanya akan hidup sampai kelak di akhirat.
Kita juga perlu tahu kebutuhan dan kebahagiaan masing-masing dari 3 sifat di atas. Misalnya, sifat binatang kita itu membutuhkan makan, tidur, nikah dan sebagainya. Sifat buas kita akan merasa senang saat memukul, marah, berbuat kasar, dan lainnya. Sementara sifat malaikat kita akan bahagia saat kita bisa merasakan keindahan kehadiran Tuhan.
Tetapi yang perlu dipahami adalah bahwa sifat-sifat itu diciptakan dalam diri kita agar kita bisa menguasai dan mengendalikan sifat-sifat tersebut sebagai kendaraan untuk mencapai kebahagiaan sejati. Sementara yang lain kita jadikan sebagai senjata dalam perjalanan menuju kebahagiaan tersebut.
Dalam hidup, untuk mencapai kebahagiaan sejati itu tentu kita membutuhkan makan, minum, tidur, bahkan menikah. Semuanya itu juga sekaligus dalam rangka memenuhi kebutuhan sifat binatang yang ada dalam diri kita. Tetapi jika selama hidup kita hanya memenuhi kebutuhan sifat binatang kita tanpa memenuhi kebutuhan ruhani, maka jangan-jangan yang ada dalam diri kita itu hanya binatang belaka. Dengan kata lain, diri kita itu binatang.
Begitupun kita juga kadangkala perlu marah, memukul, atau berlaku kasar demi mempertahankan kebahagiaan yang hendak dicapai tersebut. Marah, memukul, dan lainnya itu juga sekaligus memenuhi kebahagiaan sifat buas yang ada dalam diri kita. Tetapi sebaliknya, jika selama hidup kita hanya marah-marah, memukul, merusak, dan sebagainya maka bisa jadi kita telah kehilangan ruhani kita. Dalam diri kita yang ada hanya hewan buas semata.
Lantas, kebahagiaan sejati yang diharapkan ruhani itu dimana? Bagi orang awam kebahagiaan sejati itu adalah saat kita sampai ke surga, sementara bagi orang khos, puncak dari kebahagiaan sejati adalah saat bisa sampai pada kehadirat ilahiyyah. Wa Allahu A’lam.