Saya masih ingat. Waktu itu malam Rabu, 12 Ramadhan 1438 H. Saya dan beberapa santri yang lain memilih mengaji pasaran Kitab Nashaihul ‘Ibad yang dibacakan langsung oleh sang guru teladan, Allah Yarham Al-Maghfurlah KH. Asror Muhammad (Aang) bertempat di Pendopo Al-Mukarrom kala itu, kesempatan yang kelak kami tidak pernah menyangka bahwa saat itu adalah momen terakhir, pengajian terakhir, suasana terakhir kami bisa menatap dalam-dalam wajah sang murabbii ruuhinaa, penuntun jiwa kami, KH. Asror Muhammad (Aang).
Selanjutnya, izinkan saya menyebut “Aang” karena lisan dan hati ini sungguh rindu untuk menyebut dengan panggilan tersebut. Bahkan, saya masih ingat betul, malam itu Aang memakai baju batik dengan warna dasar hitam dan motif batiknya dominan warna hijau.
Kala itu, seperti biasa, Aang selalu bersahaja dan punya kharisma tersendiri yang terpancar dari jiwanya nan suci. Aang datang dari pojok pintu pendopo yang memang sengaja dibuat tembus langsung ke serambi rumah beliau agar lebih dekat ketika berangkat mengaji, mungkin itu salah satu tujuannya.
Kami pun segera memposisikan diri masing-masing. Sebagian yang tadinya “glelengan” langsung beranjak bangun dan suasana menjadi senyap seketika saat Aang tiba. Semua langsung menempati tempat istiqomahnya masing-masing. Ada yang di depan dekat dengan Aang tepat di bawah kipas angin, ada yang di samping kanan kiri tembok, ada yang di luar atau dekat dengan pintu (biasanya adalah para pengurus). Saya sendiri serta beberapa teman lebih memilih duduk dekat tembok sebelah utara. Sebenaranya awal-awal pernah di depan. Namun, rasanya tidak kuat dan tidak enak juga jika terlalu dekat dengan sang guru.
Kami spontan membaca niat bersama saat pintu terbuka dan Aang sudah datang. Aang pun lalu mulai melanjutkan pengajian pasaran ba’da taraweh malam itu. Entahlah. materi apa yang disampaikan malam itu, saya tidak terlalu ingat. Tetapi, ada satu hal yang saya dan mungkin beberapa santri masih ingat. Malam itu Aang membicarakan banyak hal tentang kesehatan dan kematian. Sungguh.
Terlebih, kami juga masih ingat betul momen taraweh terakhir beliau, saat Aang di pertengahan tiba-tiba tidak bisa melanjutkan taraweh. Lalu, pada saatnya sholat witir. Aang berjalan keluar sambil tangannya terus memegang perut dengan wajah yang seperti menahan rasa sakit. Saya yakin semua santri juga tahu dan ingat betul momen itu.
Sehingga, kami benar-benar fokus mendengarkan kata demi kata yang diucapkan beliau pada pengajian malam itu. Yah, karena ada saja sedikit dari relung hati kami yang berbisik “kalau-kalau tidak ada kesempatan lagi untuk ngaji bersama beliau.”
Ketika Aang memberikan nasehat, bercerita, atau sedang menjelaskan materi pengajian, sering kali matanya itu sambil merem, meski sesekali melek juga. Memang demikian, beberapa kali saya tahu baik saat setelah jamaah, saat ngaji Kitab Adab, ngaji Dzuhur, tak terkecuali saat ngaji pasaran malam itu.
“Saya itu, akhir-akhir ini sering minum jus. Apapun. Kadang jus tomat, jus jeruk, dan lain-lain supaya badan kita itu sehat. Kesehatan itu sangat penting dan harus benar-benar dijaga.” Ucap beliau mulai memberikan nasehat tentang kesehatan dengan suara khasnya yang kalem namun menggelegar wibawa.
“Terus juga, harus sering olah raga. Ya minimalnya larilah dari sini sampai lapangan atau MAN Model. Asal rutin.” Aang menambahkan.
“Dulu itu, Kiai Muhktar salah satu kiai yang berjasa dengan adanya pendidikan formal di Babakan, ayahnya kang Fandi (Allah Yarham KH. Afandi Mukhtar). Nah, beliau itu suka olahraga, sering lari. Makanya saya juga kalau ba’da Shubuh itu tidak langsung tidur. Tapi lari dulu sebentar.” Aang terus bercerita lalu membaca kitabnya lagi.
Benar memang. Pernah sekali, saat saya hendak berangkat ngaji ke Kiai Marzuki Ahal di Pondok Muallimin. Saya yang saat itu agak telat, buru-buru mengambil sepeda karena teman-teman yang lain sudah berangkat.
Saat sudah menaiki sepeda, saya agak kaget ternyata ada Aang di sisi utara jalan antara pondok dan bursa lama. Entah apa yang sedang beliau lakukan. Mungkin sedang beberes kayu sepulang lari kayaknya. Pikir saya. Karena sudah terlanjur naik sepeda, saya tetap bersepeda dengan sedikit membungkukkan badan dan mengayuhnya dengan begitu pelan saat lewat agak jauh di hadapan beliau.
Ternyata benar, di kesempatan yang lain, salah seorang teman saya, yang kebetulan bersepeda juga, ia mendapati Aang sedang lari dan berada di depan MAN Babakan Ciwaringin (MAN 2 Cirebon). Ia sempat berhenti dan ditanya oleh Aang. Lalu setelah menjawab dengan sopan, ia melanjutkan perjalanan. Saya tahu cerita ini dari teman saya itu ketika ngobrol dalam perjalanan pulang dari pengajian shubuh Kitab Jurmiyah di Pondok Pesantren Mu’allimin.
Aang kembali melanjutkan membaca Kitab Nasoihul ‘Ibad lagi. Sampai pada pembahasan tentang ajal atau kematian.
“Lah, ya iya. Ajal itu pasti datangnya. Dan seseorang tidak bisa memajukan atau mengakhirkan kematiannya, bagaimanapun…” Aang mulai membahas tentang kematian.
“Andaikata orang itu beban hidupnya sangat berat. Lalu ia ngomong “Duh Gusti… Kula wis bli kuat. Wis bagen mati Bae…” lalu Aang sambil tertawa rintih melanjutkan. “Ya tetap saja, kalau memang belum ajalnya, ya tidak akan mati juga. Begitupun sebaliknya. Banyak orang yang diberi cobaan oleh Allah sakit bertahun-tahun. Tapi kalau belum ajalnya yah, belum mati, masih hidup. Karena ajal, kematian itu لا يستأخرون ساعة ولا يستقدمون…” Begitu, Aang memberikan nasehat sambil matanya tetap merem.
Selama Aang bercerita dan memberi nasehat, saya nikmati betul momen itu. Saya tatap dalam-dalam wajah beliau yang teduh lengkap dengan kacamata dan senyum yang seakan sepaket dengan keteduhan tersebut.
Aang kembali membaca kitabnya.
“Hm, pegel, ngantuk…” Tiba-tiba Aang nyletuk demikian. Sesuatu yang jarang sekali saya dengar. Aang mengeluh, walaupun di ujungnya beliau sedikit tersenyum juga.
Lalu tak lama setelah itu akhirnya pengajian selesai. Demikian juga dengan Aang. Sejak hari itu, kami tidak pernah lagi melihat Aang keluar rumah, kecuali, pada shubuh Jum’at pagi itu.
Semua orang tahu peristiwa apa yang terjadi pada Jumat, 14 Ramadhan 1438 / 09 Juni 2017 itu. Saat ini saya tidak akan menceritakan tentang hari berkabung itu.
Namun, kami yakin akan Firman Allah, Ang. Semoga engkau termasuk dalam Firman Allah tersebut:
ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله امواتا بل احياء عند ربهم يرزقون
“Dan jangan sekali kali kamu mengira orang-orang yang meninggal di jalan Allah itu mati. Mereka itu hidup, di sisi Tuhannya mereka mendapat rezeki.”
Ang, tahun ini sudah Haul ke 7 atas kepergianmu. Tentu rindu dan segala ingatan tentangmu tidak pernah hilang. Walau kami sadar, kami masih kesulitan dan jauh dari apa-apa yang telah engkau teladankan.
Tetapi ada satu hal yang terus kami lakukan, kami selalu kirimkan Al-Fatihah untukmu setiap kali membaca tawassul/hadharah sebagaimana yang engkau ajarkan kepada kami agar senantiasa mengirimkan Al-Fatihah kepada para guru khususnya Akang (KH. Muhammad) setiap kali kita keluar gerbang pondok baik untuk sekolah maupun keperluan yang lainnya. Itu yang bisa kami lakukan.
Untuk mengingat segala kebaikan orang yang suci jiwanya adalah hal yang mudah. Namun, untuk lupa, tidak sedih dan meneladani setelah kepergiannya memanglah teramat susah. Saya yakin engkau bahagia di alam sana. Senyummu abadi, Ang. Al-Fatihah.