Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan Jakarta pada Komunitas Nahdatul Ulama (NU) di Pondok Kebon Jambu al- Islamy Cirebon dalam memperat Ukhuwah Islamiyah

Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuliah Kerja Nyata (KKN) ITB Ahmad Dahlan Jakarta di Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy yang berlokasi di Jalan Kebon Jambu No. 01, Babakan, Kec. Ciwaringin, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Program ini bertujuan untuk pertukaran pengalaman sebagai mahasiswa/i dari kampus Perguruan Tinggi Muhammadiyah/Aisyiyah (PTMA), yakni Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahalan (ITB-AD) Jakarta, pada komunitas Nahdhatul Ulama (NU) dalam mempererat ukhwah Islamiyah, memecah kemungkinan bibit-bibit kebekuan komunikasi atau prasangka selama ini, pengalaman hidup bersama selama kurang lebih satu bulan untuk mengokohkan Islam wasathiyah, serta nilai-nilai empati-simpati.

Sebagai duta kampus Institut Teknologi dan bisnis Ahmad Dahlan Jakarta para peserta KKN Plus 2024 berperan untuk membangun ukhwah Islamiyah antara Muhammadiyah dan NU. Untuk memecahkan bibit-bibit kebekuan komunikasi dan prasangka selama ini. Dengan mengusung tema pendidikan para peserta KKN berasal dari latar belakang prodi yang berbeda terdiri dari, akuntansi, manajemen, desain komunikasi visual, sistem informasi, teknik informasi dan arsitek. Berkolaborasi untuk mengimplementasikan keilmuannya pada bidangnya masing-masing yang bertujuan untuk kemaslahatan. Dengan adanya kegiatan KKN ini diharapkan dapat menjadi sebuah wadah bagi para mahasiswa/i untuk mengaktualisasikan diri, bertukar pikiran dengan perspektif dari latar belakang organisasi yang berbeda, serta lebih mengedepankan rasa toleransi antar sesama umat Islam untuk dapat mengimplementasikan konsep Islam Wasathiyah dan berkolaborasi untuk mencapai tujuan mardhaatillah (ridha Allah, dicintai Allah).

Salah satu kekhawatiran yang dihadapi umat Islam adalah kekerasan atas nama Islam. Al Qur’an telah menyebutkan bahwa Nabi diutus sebagai rahmat (Rahmah) bagi dunia, lalu bagaimana “Rahmah” itu bisa terwujud? Sebagai negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia terkenal dengan agama Islam yang bisa bercampur dengan berbagai ras, agama dan budaya. Salah satu yang mempengaruhi hal tersebut adalah adanya organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU dan Muhammadiyah yang selalu berusaha menunjukkan kemauan dan kecintaan terhadap Islam. Keberadaan NU dan Muhammadiyah diyakini menjadi penopang utama perdamaian di Indonesia dalam berbagai bentuknya. Oleh karena itu penting untuk mendalami konsep wasathiyah dalam upaya mewujudkan Islam damai di Indonesia.

Dalam Islam, konsep moderasi beragama atau wasathiyah adalah konsep yang dijadikan acuan dalam setiap gerak langkah umat Islam. Namun tidak dapat dipungkiri ada banyak paham yang mencoba masuk dalam ajaran agama Islam dan merobohkan sendi-sendi agama Islam yang murni, seperti misalnya paham ekstrimisme atau dikenal dengan guluw dalam Islam. Islam sendiri sebenarnya sangat menentang ekstrimisme dalam bentuk apapun karena sikap ekstrimisme (ghuluw) akan menimbulkan dampak negatif dan nilai minus bagi individu, masyarakat, negara bahkan dunia. Sikap ekstrem dalam beragama juga berdampak negatif terhadap agama itu sendiri, karena ekstrimisme akan menyebabkan kehancuran dalam agama. Dan sungguh disayangkan Islam yang sejatinya begitu menjunjung paham moderasi beragama sering menerima sangkaan sebagai ekstrimisme. Karena berbagai kesalahpahaman terhadap Islam, tidak jarang pula Islam menjadi pihak yang dianggap sebagai akar mula munculnya perilaku ekstrimis (Ismail et al., 2007, p. 10).

Dimasa kemajuan dunia saat ini, tanpa disadari telah terjadi perkembangan dan pertarungan pemikiran di dunia Islam yang senantiasa dinamis dan mengalami pasang surut bersamaan dengan makin meluasnya interaksi ajaran Islam dengan peradaban dan budaya lain diluar Islam. Dalam perkembangnnya, dinamisasi pemikiran Islam ini seringkali mengalami benturan pemikiran Islam itu terpolarisasi pada dua kutub pendekatan yang sama-sama ekstrem (Ismail et al., 2007, p. 12).

Pertama, pendekatan pemikiran over-tekstualis yang tidak memberikan ruang sama sekali pada ranah ijtihad dan aktualisasi rasio sehingga menghasilkan kejumudan-kejumudan yang cenderung mengebiri rasionalitas manusia sebagai karunia Allah yang besar. Kecenderungan pendekatan pemikiran over-tekstualis ini telah menyulitkan dinamisasi interaktif Islam dengan dunia luar yang terus berkembang dan bertambah modern. Hal ini tentu saja menjadi kendala bagi lahirnya Islam yang sesuai untuk perkembangan zaman (Ismail et al., 2007, p. 13). Pendekatan pemikiran Islam over-tekstualis ini melahirkan sikap berlebihan pada masa lalu tanpa melihat realitas masa kini. Serta akan memberikan citra buruk pada Islam karena adanya stigma bahwa Islam tidak mampu beradaptasi dengan dinamisme zaman saat ini (Ismail et al., 2007, p. 14).

Pendekatan pemikiran kedua yang tak kalah ekstrem adalah pendekatan over-rasionalis. Pendekatan ini menempatkan rasio sebagai hakim utama terhadap teks-teks kitab suci (al-Qur’an). Pendekatan pemikiran ini sebenarnya berasal dari adanya upaya penyelarasan teks dengan dinamisme zaman dan perkembangannya. Hanya saja dalam proses pendekatan yang dilakukan tidak lagi menjadikan teks sebagai sandaran awal. Sebaliknya rasionalitaslah yang dijadikan tumpuan penetapan benar salahnya sebuah hukum. Penetapan rasio sebagai hakim inilah yang akan menjadikan Islam kehilangan sakralitas kitab sucinya, karena Islam akan senantiasa diseret untuk mengikuti pendapatan rasio manusia (Ismail et al., 2007, p. 14).

Dari kedua gejala pemikiran tersebut, munculah kesadaran akan perlunya sebuah pemikiran yang mampu menjembantani dua pendekatan pemikiran tersebut, agar semua dapat terlaksana secara benar dan proporsional serta tetap menjaga keorsinalitasan ajaran Islam, juga tidak meninggalkan adaptasi ajaran Islam terhadap perkembangan zaman. Untuk itulah diperlukan cara pendekatan pemikiran moderat yang tetap menjadikan teks sebagai tumpuan awal namun sama sekali tidak menutup ruang bagi rasionalitas atau ijtihad. Teks kitab suci tetap dijadikan sebagai panduan utama dan panduan awal dan jika tidak didapatkan dalam teks kitab suci maka rasio berpeluang seluas-luasnya untuk menentukan ketetapan selanjutnya (Ismail et al., 2007, p. 15).

Dengan pendekatan pemikiran wasathiyah yang diartikan sebagai pertengahan atau adil untuk menengahi pendektan-pendektan ekstrem yang banyak tumbuh di masa sekarang ini, karena posisi tengah menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, ataupun suatu jalan yang dimana dapat mengantarkan manusia berlaku adil (shihab, 2000b).

Konsep Wasatiyah

Dalam konteks memahami hakikat wasathiyah (moderasi beragama) diberbagai bidang dan aspeknya, pemerhati dan pelaku wasathiyah dituntut untuk memperhatikan tentang adanya hubungan tarik menarik anatara posisi tengah dan dua ujung yang saling berlawanan. Dan tentu saja hal itu bukan sekedar menuntut kesabaran dan keuletan, melainkan juga membutuhkan pengetahuan dan pemahaman yang memadai sehingga hakikat wasathiyah tidak terseret oleh salah satu ujungnya, agar dari kedua ujung tersebut dapat saling menarik hal yang dibutuhkan sesuai dengan porsinya untuk mencapai keadilan dan kebaikan yang merupakan syarat mutlak lahirnya hakikat wasathiyah yang sebenar-benarnya (Shihab, 2019, p. 3).

Salah satu contoh acuan terhadap moderasi beragama disampaikan oleh Quraish Shihab ketika menafsirkan surat Al-Baqarah ayat 143. Quraish Shihab menyebutkan bahwa umat Islam dijadikan umat tengah-tengah, moderat dan teladan. Sehingga dengan demikian keberadaan umat Islam adalah dalam posisi pertengahan. Posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan dan dapat dilihat oleh siapapun dalam penjuru yang berbeda. Hal ini mengantarkan manusia berlaku adil dan dapat menjadi teladan bagi semua pihak. Selanjutnya disebutkan bahwa umat Islam akan menjadi saksi atas perbuatan manusia dimana ungkapan لتكون (litakuunu) menggunakan kata kerja masa mendatang yang mengisyaratkan akan adanya perbedaan pandangan dan pertarungan anatara akal. Namun pada akhirnya menjadi أُمَّةٗ وَسَطٗا (Ummatan Wasathan), dasar inilah yang akan dijadikan rujukan dan saksi tentang kebenaran dan kekeliruan pandangan akal-akal manusia (Sihab, 2000: 325)

            Konsep Wasathiyah menurut pendapat Quraish Shihab juga terlihat dalam menganggap prinsip wasathiyyah sebagai sebuah karakter dan metode dalam memahami nash al-Qu’an serta hadist nabi. Hal ini dapat dilihat dari pendapat Quraish Shihab bahwa wasath pada mulanya berarti segala yang baik sesuai dengan objeknya. Nabi Muhammad berkata “ Khair al-umur al-wasath” (sebaik-baik segala sesuatu adalah yang di pertengahan), dengan kata lain yang baik berada pada posisi antara dua keadaan ekstrem. Selanjutnya yang menghadapi dua pihak yang berseteru karena condong pada salah satu dari dua ujung yang ada dituntut untuk menjadi wasit (wasith) yakni berada pada posisi tengah dalam arti berlaku adil dan dari sini lahir lagi bagian yang ketiga yaitu adil. Jadi dapat disimpulkan bahwa yang terbaik, posisi tengah dan adil itulah tiga makna populer dari kata wasath atau wasathiyah yang dirasa paling mendekati hakikat dari moderasi beragama (Shihab, 2018a).

            Karakter wasathiyah dalam penerapan konsep yang sesuai akan mengantar dan mengarahkan manusia kepada karakter dan perilaku adil dan proporsional dalam setiap hal. Selain itu Quraish Shihab juga mendefinisikan konsep wasathiyah berdasarkan beberapa paradigma yang berbeda, tetapi kesemuanya saling menyempurnakan secara substansial. Diantaranya hal yang sangat penting untuk diperhatikan adalah: pertama, posisi pertengahan menjadikan manusia tidak memihak ke kiri dan ke kanan, hal ini mengantarkan manusia berlaku adil. Posisi pertengahan menjadikan seseorang dapat dilihat siapapun meskipun dari berbagai penjuru yang berbeda. Dan ketika posisi tersebut dapat menjadi teladan bagi semua pihak, posisi tersebut juga menjadikannya dapat menyaksikan  siapapun di dunia. Karena Allah menjadikan umat Islam pada posisi pertengahan agar umat Islam menjadi saksi atas perbuatan manusia yakni umat yang lain. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan kecuali jika menjadikan Rasulullah SAW Sayyid, yakni saksi yang menyaksikan kebenaran sikap dan perbuatan beliau pun disaksikan, yakni dijadikan teladan dalam segala tingkah laku (Shihab, 2019, p. 325).

            Kedua, ada juga yang memahami ummatan wasathon dalam konsep wasathiyyah dengan arti pertengahan dalam pandangan tentang Tuhan dan dunia. Hal ini dimaksudkan dengan tidak mengingkari wujud Tuhan tetapi tidak pula menganut paham politeisme (banyak Tuhan). Karena dalam pandangan Islam tentang kehidupan dunia ini, tidak mengingkari dan menilai dunia sebagai maya, tetapi tidak juga berpandangan bahwa hidup duniawi adalah segalanya (Shihab, 2019, p.325).

Prinsip-Prinsip Wasathiyah

Quraish Shihab melihat bahwa dalam moderasi beragama terdapat pilar-pilar penting yang harus benar-benar terealisasikan dalam kehidupan beragama maupun lintas agama, yaitu:

  1. Adil

Adil dalam arti sama yakni persamaan dalam hak, seseorang yang berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama bukan ukuran ganda, persamaan itulah yang menjadikan seseorang yang adil tidak berpihak kepada salah seorang yang berselisih. Juga berarti menempatkan sesuatu pada tempat yang semestinya. Ini mengantar pada persamaan, walaupun dalam ukuran kuantitas boleh jadi tidak sama. Adil adalah memberikan kepada pemilik haknya melalui jalan yang terdekat, ini bukan berarti menuntut seseorang memberikan haknya kepada orang lain tanpa menunda-nunda. Adil juga berarti tidak mengurangi tidak juga melebihkan sesuatu (Shihab, 2019, p. 19).

Sedangkan Hamka dalam tafsirnya berpendapat bahwa adil adalah kekuatan untuk menjaga objektvitas, integritas, dan menahan hawa nafsu (subjektivitasnya) agar dapat dijalankan dengan lurus. Seperti contoh seorang saksi berani memperlihatkan mana yang benar di depan hakim, tanpa memihak kekayaan kekerabatan ataupun pengaruh pemerintahan. Sikap seperti inilah yang disebut sebagai keadilan,  sebagai indikator kuat dalam moderasi beragama (Hamka, 2015, p. 6623).

  • Keseimbangan

Menurut Quraish Shihab keseimbangan ditemukan pada suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu selama syarat dan kadarnya terpenuhi oleh setiap bagian. Artinya kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Keseimbangan tidak mengharuskan persamaan kadar dan syarat bagi semua bagian unit agar seimbang. Karena bisa saja satu bagian berukuran kecil atau besar, sedangkan kecil dan besarnya bagian ditentukan oleh fungsi yang diharapkan dari bagian tersebut (Shihab, 2018, p. 115)

Dalam tafsirnya Quraish Shihab juga memberikan peringatan bahwa keseimbangan adalah hal yang menjadi prinsip pokok dalam wasathiyah, karena tanpa adanya keseimbangan tidak akan dapat terwujud keadilan. Keseimbangan adalah hal yang menjadi prinsip pokok dalam wasathiyah, karena tanpa adanya keseimbangan tidak akan dapat terwujud keadilan. Keseimbangan dalam penciptaan misalnya, Allah menciptakan segala sesuatu menurut ukurannya sesuai dengan kuantitasnya dan sesuai kebutuhan makhluk hidup. Allah juga mengatur sistem alam raya sehingga masing-masing beredar secara seimbang sesuai kadar keadaannya sehingga langit dan benda-benda angkasa tidak saling bertabrakan (Shihab, 2018, p. 115).

  • Toleransi

Quraish Shihab (2018, p. 284) memaparkan bahwa toleransi adalah batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diterima. Toleransi adalah penyimpangan yang tadinya harus dilakukan menjadi tidak dilakukan, singkatnya adalah penyimpangan yang dapat dibenarkan.

Keniscayaan perbedaan dan keharusan persatuan itulah yang mengantarkan manusia harus bertoleransi. Harapan akan hadirnya kedamaian, kemaslahatan dan kemajuan tidak dapat dicapai bila tanpa adanya toleransi.

Di antara toleransi yang sangat awal dalam ajaran Islam adalah tidak adanya paksaan untuk seseorang memeluk agama Islam. Allah menghendaki agara setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya di namai Islam yakni damai, karena kedamaian  tidak akan dapat diraih jika jiwa tidak damai, paksaan menyebabkan jiwa tidak damai oleh karena itu tidak ada paksaan dalam menganut agama Islam. Itu sebabnya orang gila dan orang belum dewasa atau tidak mengetahui seruan agama tidak berdosa jika melanggar atau tidak meyakininya, karena jalan kebenaran tersebut belum diketahuinya. Namun juga perlu diingat bahwa orang yang memiliki potensi mengetahui tetapi tidak mau menjadikan potensi tersebut sebagai pengetahuan, maka itu juga tidak dapat dibenarkan karena orang tersebut akan tetap dituntut (berdosa) karena menyia-nyiakan potensinya (Shihab, 2000, p. 551-552).

Tidak ada paksaan dalam menganut agama artinya jika seseorang telah memilih satu aqidah, misalnya agama Islam maka otomatis orang tersebut memiliki kewajban melaksanakan perintah-perintah yang ada dalam agama Islam. Orang tersebut juga terancam sanksi bila melanggar ketetapan dalam agama Islam. Orang yang telah memeluk akidah Islam tidak boleh berkata “Allah telah memberi saya kebebasan untuk shalat atau tidak , berzina atau nikah” karena andaikata orang tersebut telah menerima kaidah Islam maka harus melaksanakan tuntutan Islam yang dipeluknya (Shihab, 2000, p. 551).

Menurut Quraish Shihab melalui tulisannya, keseimbangan harus hadir dalam segala persoalan hidup duniawi dan ukrawi yang selalu harus disertai upaya menyesuaikan diri dengan  situasi yang dihadapi berdasarkan petunjuk agama dan kondisi objektif yang sedang dialami. Dengan demikian, seorang wasathiyah tidak sekedar mengetahui adanya dua kutub lalu memilih apa yang ditengahnya tetapi lebih dari itu adalah keseimbangan yang disertai dengan prinsip tidak berkekurangan dan tidak juga berkelebihan, tetapi pada saat yang sama wasathiyah bukanlah sikap menghindar dari situasi sulit atau lari dari tanggung jawab. Sebab Islam mengajarkan keberpihakan pada kebenaran secara aktif tapi dengan perilaku yang penuh hikmah (Shihab, 2019, pp. 44-45).

Wasathiyah dalam konteks beragama menjadikan sikap moderasi sebagai pilihan untuk memiliki cara pandang, sikap dan perilaku di tengah-tengah di antara pilihan yang ekstrem. Sedangkan ekstrimisme beragama adalah cara pandang atau sikap melebihi batas-batas moderasi dalam pemahaman dan praktek beragama. Karenanya moderasi beragama kemudian  dapat dipahami sebagai cara pandang sikap dan perilaku yang selalu mengambil posisi tengah, selalu bertindak adil dan tidak ekstrem dalam menjalankan agama. Adapun implementasi moderasi beragama dalam masyarakat dapat dilihat dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Moderasi dalam pemikiran, yakni pemikiran keagamaan yang moderat ditandai dengan kemampuan untuk memadukan antara teks dan konteks yaitu pemikiran keagamaan tidak boleh hanya bertumpu pada teks keagamaan saja dan meninggalkan realitas dan konteks baru pada teks. Moderasi beragama seharusnya mampu mendialogkan keduanya secara dinamis, hingga pemikiran keagamaan seseorang yang moderat tidak hanya teks Tuhan tetapi juga tidak mengabaikan teks kitab suci.
  2. Moderasi dalam keyakinan, maksudnya tidak beranggapan bahwa Allah itu banyak, serta berkeyakinan bahwa Allah itu wujud dan Esa. Serta mempercayai bahwa dunia ini bukanlah maya, tetapi tidak menjadikan dunia sebagai semata-mata tujuan hidup.
  3. Moderasi dalam gerakan, gerakan penyebaran agama yang bertujuan mengajak pada kebaikan dan menjauhkan dari hal-hal buruk. Hal ini harus dilaksanakan dengan prinsip wasathiyah yang menjunjung kebaikan juga dilakukan dengan cara yang baik bukan sebaliknya dengan paksaan atau pun nilai-nilai ekstrimisme lainnya.
  4. Moderasi dalam praktek ibadah, yaitu terletak pada keseimbangan antara gerak fisik dan batin. Saat beribadah fisik harus bergerak dan pada saat yang sama batin juga bergerak. Keseimbangan dua dimensi inilah yang akan melahirkan sikap moderasi dalam beribadah.

Seluruh ajaran Islam bercirikan moderasi, karena itu penganut Islam juga harus bersikap moderat baik dalam pemikiran, keyakinan, gerakan serta moderat dalam keterikatannya dengan ajaran agama. Moderasi beragam haruslah dipahami sebagai sikap beragama yang seimbang antara pengalaman akal dan penghormatan kepada teks-teks ajaran agama. Keseimbangan dalam beragama niscaya akan menghindarkan diri sikap ekstrem yang berlebihan fanatik dan sikap revolusioner dalam beragama.

Bibliography

Sagnofa Nabila Ainiya Putri, M. E. (2022). Wasathiyah (Moderasi Beragama) Dalam Perspektif Quraish Shihab. INCARE International Journal of Educational Resources.

{{ reviewsTotal }}{{ options.labels.singularReviewCountLabel }}
{{ reviewsTotal }}{{ options.labels.pluralReviewCountLabel }}
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

HASIL KEPUTUSAN BAHTSUL MASAIL S...
MUSHOHIH PERUMUS MODERATOR K. Ghufroni MasyuhadaK. Maksus Iska...
Pentingnya Suami Memperhatikan K...
Maraknya Angka Kematian Ibu menjadi kabar duka bagi masyarakat...
Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...

Hubungi kami di : +62859-1068-58669

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon