Refleksi Makna Zuhud dalam Pengajian Kitab Ta’lim Muta’alim KH. Achmad Chalwani

Salah satu sifat terpuji yang dianjurkan dalam Islam yakni zuhud. Sifat zuhud ini identik dengan sikap seseorang untuk meninggalkan segala kepentingan yang bersifat duniawi (materi). Sikap ini mengarahkan seseorang untuk fokus pada aktivitas ukhrowi atau hal-hal yang kaitannya dengan akhirat, seperti shalat, mengaji dan ibadah lainnya. Biasanya orang yang mengaku zuhud akan melepas aksesoris duniawinya, khususnya harta benda yang dimilikinya. Untuk itu, banyak yang berpenampilan compang camping dengan mengaku sebagai orang zuhud, karena menganggap bahwa harta melimpah bukan identitas dari sikap zuhud yang umum dipahami.

Berkaitan dengan zuhud, saya ingin berbagi refleksi dari pengajian online yang saya ikuti di Bulan Ramadhan sekarang. Pengajian online ini mengkaji salah satu kitab klasik karangan Syekh Az-Zarnuji, yakni Kitab Ta’lim Muta’alim yang berisikan tuntunan seorang pelajar atau santri dalam mencari ilmu. Kitab ini dikaji oleh KH. Achmad Chalwani, selaku Pengasuh Pondok Pesantren An-Nawawi, Berjan, Gebang, Purworejo dan Mursyid dari Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah. Pada bagian awal kitab tersebut, mushonif (pengarang kitab) menyinggung tentang zuhud setelah Beliau ditanya oleh Muhammad bin Al Hasan, mengapa tidak mengarang kitab tentang zuhud. Syekh Az-Zarnuji selaku mushonif menyampaikan bahwa saya telah mengarang kitab tentang jual beli. Maksudnya, mushonif sejatinya telah memberikan keterangan mengenai zuhud, yaitu menjaga diri dari hal-hal yang syubhat (tidak jelas halal haramnya) dan makruh dalam perdagangan.

Pada bagian tersebut, KH. Achmad Chalwani menjelaskan bahwa zuhud bukan berarti tidak mau berkecimpung dalam perdagangan, lebih luas lagi dalam dunia bisnis, melainkan, mampu menjaga dari perkara yang syubhat dalam konteks transaksi jual beli sehari-hari juga termasuk perilaku zuhud. Kemudian, Beliau memberi contoh lain dari salah satu tokoh sufi yang masyhur, yakni Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili. Bahwasanya, Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili setiap kali hendak menjadi imam dalam shalat lima waktu, Beliau selalu mengganti pakaiannya. KH. Achmad Chalwani pun menjelaskan bahwa perbuatan tersebut diperbolehkan dan termasuk zuhud, asalkan hatinya selalu tersambung pada Allah SWT. Beliau menambahkan, zuhud bukan berarti tidak pernah mengganti pakaian berhari-hari. Justru yang seperti itu (tidak pernah mengganti pakaian berhari-hari) “kemproh” atau jorok.

Secara bahasa, zuhud berarti Al rooghibu ‘anhu wal roodhii minhu, artinya tidak tertarik pada dunia dan hanya menginginkan keridhaan-Nya. Zahid atau orang yang zuhud tidak memiliki kecondongan terhadap kegiatan duniawi dan berusaha melepas kecintaan terhadap dunia. Orang yang zuhud bukan berarti tidak diperbolehkan memiliki harta apalagi kaya raya, namun urgensinya terletak pada kecondongan hati seorang zahid itu sendiri. Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya Ulumiddin menceritakan Ulama besar dan terkemuka pada masanya, yakni Imam Malik ra. Beliau adalah ulama yang zuhud namun memiliki kekayaan yang melimpah dan juga memiliki sifat dermawan. Meski begitu, Imam Malik ra. tidak pernah menempatkan hartanya dalam hati maupun pikirannya.

Imam Ghozali melanjutkan penjelasannya:

وليس الزهد فقد المال وإنما الزهد فراغ القلب عنه ولقد كان سليمان عليه السلام في ملكه من الزهاد

Maksudnya, zuhud memiliki tendensi pada kesucian hati seseorang dari suatu harta duniawi yang dimilikinya. Oleh karena itu, tidak ada indikasi pasti seseorang yang banyak hartanya berarti tidak zuhud. Islam tentu tidak melarang seseorang untuk kaya raya dan memiliki pangkat kedudukan tinggi seperti Nabi Sulaiman as. dengan gemerlap harta dan megahnya istana, Beliau tetaplah seorang zahid.

   Pada konteks pelajar atau santri, sikap zuhud perlu dilatih untuk meminimalisir hubbub dunya. Dengan banyaknya cerita sufi serta ulama besar yang bergelimang harta namun hatinya tetap bertaut dengan Dzat Yang Maha Kaya, menjadi motivasi tersendiri untuk tetap mengupayakan hidup mulia di dunia dan berharap RahmatNya kelak di akhirat. Pada praktiknya, meskipun kita selalu disibukkan dengan pekerjaan dunia, semoga hati kita selalu tertuju pada Allah SWT. Sebagaimana yang sering disampaikan oleh guru kita, Ibunda Nyai Hj. Masriyah Amva, pribadi yang terbaik ialah mereka yang melakukan pekerjaan dunia namun memiliki nilai amal akhirat. Semoga bisa. Wallahu a’lam.

{{ reviewsTotal }} Review
{{ reviewsTotal }} Reviews
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...
الحرمة خير من الطاعة
Di manapun dan dengan siapapun kita hidup pasti ada yang naman...
Perempuan dalam Sistem Pendidika...
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang agamis dan juga...

Hubungi kami di : +62851-5934-8922

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon