Kamis sore tanggal 21 Maret kemarin, saya pulang ke rumah untuk suatu tugas. Tidak lama, namun sangat berharga. Sebab, sedikitnya saya akan mewawancarai seseorang yang tidak lain adalah ayah saya sendiri (K. Aban Kholid Barja), tentang pengalamannya bersama Al-Maghfurlah KH. Asror Muhammad saat masih hidup. Jujur, dari sejak awal masuk pesantren saya tidak sempat diasuh oleh beliau. Saya masuk pesantren pada tanggal 13 Juli 2017, sedangkan Al-Maghfurlah KH. Asror Muhammad wafat pada 09 Juni 2017. Jadi ada sekat 35 hari antara wafatnya beliau dengan awal mesantern saya. Meski begitu bukan berati saya tak menganggapnya sebagai guru. Aang (sapaan Kiai Asror) tetap menjadi guru saya, begitu pula dengan sang pendiri Pondok Kebon Jambu, Akang KH. Muhammad.
Sosok yang paling berpengaruh dalam hidup Ang Asror
Saya bertanya bagaimana sosok Aang di mata orang-orang dekat seperti Abah (ayah saya). Sejenak, Abah menghela napas lalu bercerita, “Orang-orang yang sangat berpengaruh dalam kehidupan Ang Asror, baik dari segi pendidikan, karakter, dan spirit adalah Akang KH. Muhammad rahimahullah. Beliau sebagai orang tua sekaligus banyak sekali mendidik pribadi Ang Asror.” Abah melanjutkan. “Kadang saya melihat bagaimana Akang begitu tegas terhadap anak-anaknya. Dari sejak mereka kecil yang diperlihatkan oleh ayahandanya pertama kali adalah dunia pesantren dan Akang punya tanggung jawab besar terhadap pesantren sehingga beliau mendidik agar anaknya punya karakter dan tanggung jawab untuk meneruskan cita-cita membangun pesantren.”
“Untuk hal-hal yang sangat prinsip misalnya, karena undang-undang pesantren menjaga sekali terhadap kuatnya mengaji dan sholat berjama’ah, dua hal ini sangat tegas sekali ditekankan terhadap Ang Asror, sehingga Ang Asror merasa bahwa ini sudah merupakan tuntutan dan tuntunan dari sejak kecil. Maka dikemudian hari, hal ini adalah sesuatu yang wajib dan menjadi tanggung jawab seumur hidupnya untuk selalu menjaga agar tetap mengaji juga sholat berjama’ah.” kata Abah.
Menurutku, Tidak heran mengapa pondok ini sangat teguh menjaga dua hal itu. Dari sejak awal Pesantren Babakan berdiri pun dua perintah ini sudah menjadi tuntutan para santri-santrinya. Dan Akang Muhammad sang pendiri, mendapati peraturan demikian dari gurunya saat mesantren di Pondok Kebon Melati asuhan Al-Maghfurlah KH. Muhammad Sanusi. Maka ketika Akang membangun pesantren, peraturan-peraturan yang dahulu didapatkan dari gurunya beliau terapkan juga terhadap santri-santrinya.
“Yang kedua, bahwa yang berpengaruh di dalam kehidupan Ang Asror adalah guru-guru beliau dari setiap pesantren yang pernah beliau tempati. Dari sinilah pribadi Aang terbentuk. Bukan hanya dalam segi keilmuan, tetapi pendidikan dari pesantren-pesantren itu juga telah mencetak pribadi Ang Asror sehingga betul-betul bisa menjalankan tugas utamanya yaitu meneruskan kepemimpinan dan juga meneruskan semua ajaran-ajaran yang sudah dijalankan oleh gurunya juga ayahandanya.”
“Ketiga, yang sangat berpengaruh juga dalam kehidupan beliau adalah Ibundanya, Nyai Hj. Nadziroh dan juga Ibunda Nyai Hj. Masriyah Amva,” Kata Abah meneruskan.
Ibunda Nyai Hj. Masriyah merupakan istri kedua Akang Muhammad setelah istri pertamanya Nyai Hj. Nadziroh wafat. Aang adalah orang yang sangat menghormati mereka, dan menghormati apapun keputusan yang mereka berikan terhadapnya. Bahkan terhadap Ibunda Nyai Hj. Masriyah yang merupakan ibu sambungnya, Aang tetap menganggap beliau layaknya ibu kandung sendiri yang setiap keputusannya akan selalu ditaati. Terlihat dari saat memilih jodoh, Aang mengiyakan pilihan Ibunda Nyai Masriyah Untuk menikahi gadis yang merupakan adik kandung dari Ibunda Nyai Masriyah sendiri, yakni, Yayu Nyai Hj. Awanillah Amva yang kini mengasuh pondok putra menggantikan Al-Maghfurlah KH. Asror Muhammad.
Abah mengisahkan saat-saat lucu sebelum menikahnya Ang Asror dan kala itu Yayu Awa (sapaan untuk Nyai Hj. Awanillah Amva) masih berada dipesantren.
Suatu hari pagi-pagi sekali sebelum jam 6, Abah main ke kamar beliau. Saat itu Ang Asror baru bangun. Tiba-tiba Akang datang dan berkata, “Aih, ada Aban!”
“Iya, hehe,” jawab Abah sedikit malu.
“Ya wis sekalian, ini Ang Asror mau nikah,” kata Akang.
“Hih saya kaget gak ada kabar-kabar!” Ungkap Abah.
Setelah Akang keluar dari kamar Ang Asror, kemudian Abah bilang sama Aang, “Mau nikah ya mandi dulu lah!”
“Ya ya ya mandi mandi!” jawab Aang singkat.
Setelah selesai mandi, Aang memakai baju yang biasa-biasa saja. Karena heran, Abah bilang sama Aang “Penganten itu harus gaya, Ang! Pake bajunya jangan yang itu! Ganti!”
Lalu Aang menurut dan langsung mengganti pakaiannya dengan yang bagus.
Dalam menikah pun, Aang tidak berbeda dengan ayahandanya, sama-sama menikahi putri dari gurunya, Al-Maghfurlah KH. Amrin Hanan. Akang mengatakan, menikahi putri guru itu harus sama penghormatannya, penghargaannya, dan takdzimnya seperti kepada ayahnya. “Jadi beliau ini sangat menghargai istrinya. Menghargai sekali dan menjaga perasaannya.” Kata Abah.
Sosok yang ahli dalam manajerial bisnis
Aang, selain sosok yang selalu berkecimpung dalam dunia pesantren, yang sehari-harinya mengkaji kitab kuning, juga merupakan seseorang yang mapan di bidang ekonomi terutama dalam hal manajerial bisnis. Toko BURSA Bariklana yang sekarang letaknya samping jalan adalah usaha mandiri yang didirikan langsung oleh Aang. Dan menurut Abah bukan hanya itu saja. Terhadap saudara-saudaranya yang kurang dalam segi ekonomi pun dibantu oleh Aang dari segi manajerialnya, diberi petunjuk, diarahkan, dan semuanya berhasil mengikuti arahan beliau. Tetapi, jika melihat orang yang tidak cakap dibidang ekonomi maka tidak akan diberi arahan. Seperti pengakuan Abah tentang dirinya yang lebih diarahkan untuk khidmah di masyarakat.
Sosok yang murah hati, dermawan, dan pandai menyenangkan hati orang lain
Dalam bermasyarakat Aang dikenal sosok yang selalu berbaur. Banyak masyarakat yang memiliki kesan saat bersama Aang. Biasanya pada tanggal 27 Ramadhan, Aang selalu datang ke kampung Krasak untuk menghadiri pengajian, dan beliau selalu menolak pengkhususan dari orang-orang, seperti lebih memilih duduk di belakang bila ada acara dan berbaur dengan masyarakat setempat persis seperti keteladanan ayahandanya, Akang KH. Muhammad.
Tak hanya itu, Aang pun dikenal sebagai orang yang murah hati dan dermawan. Jika hendak berkunjung ke Pesantren Tegalrejo ataupun Kwagean, beliau dengan senang hati bersedia jika teman-teman alumninya menitipkan bestelan untuk anak-anak mereka yang mesantren di sana ataupun ingin diantarkan sowan kepada guru-gurunya. Semua itu Aang lakukan tanpa meminta atau diberi imbalan apapun. Tidak ada istilah patungan atau apa pun itu. Semuanya ditanggung langsung oleh Aang dan itu adalah hal yang sudah biasa. Kata Abah menyimpulkan, “Makanya, kalau mau orang lain merasa nyaman dengan kita, ya mereka harus dibikin nyaman sama kita.” Dan begitulah Ang Asror dalam setiap laku hidupnya.
Kepada para tamu, teman-teman, dan santri-santrinya menurut Abah, beliau adalah seorang yang sangat pandai menyenangkan hati dan juga menghargai. Dan Aang juga selalu mendengar setiap keluh kesah dari orang-orang yang datang kepada beliau.
Berdasarkan kesaksian Abah saat sering ikut menemani Aang keluar, Abah bercerita, “Beliau ini dalam keadaan sakit. Kalau Abah pegang badannya, dirampa-rampa, panas sekali. Tapi kalau ada undangan, Aang pasti memaksa harus berangkat dengan kondisi apapun. Kadang-kadang harus pakai motor dan dan membuat badannya sakit. Satu waktu Abah pegang badannya, “Ang! Ini badan Aang sakit, ini badan panas sekali!” Namun, beliau hanya berkata “Gak apa-apa!”
“Di kesempatan yang lain, saat Abah pakai jaket kulit, Abah bilang, ini pakai saja ini! Beliau terlihat menggigil sekali di dalam mobil. Begitu sampai lokasi, ternyata hujan lebat. Masya Allah… Beliau langsung keluar, pakai jaket, dalam keadaan sakit, dan sangat panas badannya! Ya seperti itulah Aang. Beliau tidak mau membuat orang lain kecewa. Sosok yang pintar bergaul dan juga bisa membahagiakan siapapun.”
Terakhir tentang Aang, Abah mengatakan, di antara hiburan para kiai adalah pembangunan pesantren dan juga pembangunan fasilitas-fasilitas lain. Dan Aang suka memberi motivasi ketika berkunjung kepada siapapun. Banyak dari orang-orang yang beliau kunjungi yang rumahnya itu belum selesai dibangun, masih terlihat batu batanya dan belum di keramik. Kepada mereka, beliau memberi uang untuk membeli satu sak semen. Kata Ang Asror, “Belikan semen, nanti dilanjutkan yah pembangunan rumahnya!” Akhirnya dengan begitu, orang-orang yang didatanginya termotivasi untuk membangun rumah sampai selesai. Yang tadinya bermula dari satu sak semen, akhirnya bisa menyelesaikan pembangunan rumahnya.
Itulah sosok Aang yang luar biasa. Sebenarnya banyak sekali dari kebaikan beliau yang belum sempat terungkap. Di umur yang masih sangat muda, Tuhan sudah keburu rindu terhadap hambaNya yang satu ini. Tahun ini, haulnya sudah berusia tujuh tahun dari sejak kepergiannya pada hari Jumat 14 Ramadhan 1438 H. Pada saat malam pertama wafatanya, semburan doa mengalir deras dari para santri dan para pecintanya. Termasuk saat itu seorang ulama terkemuka, Buya Yahya hadir di tahlilan malam pertamanya. “KH. Asror Muhammad sudah senang disana, sudah mendapat jannahNya melalui beberapa ciri yang Allah tampakkan seperti meninggal di hari Jumat, sebagaimana Imam Suyuthi mengatakan bahwa orang-orang yang wafat pada hari Jumat merupakan orang-orang pilihan Allah. Ditambah lagi beliau meninggal di bulan Ramadhan yang suci,” kata Buya Yahya.