Ada saja santri yang ketika diberikan ijazah tirakat oleh gurunya mereka sangat bersemangat dikarenakan konon katanya tirakat itu bisa mendatangkan kesaktian. Akan tetapi dalam perjalanannya, tidak sedikit santri yang tirakatnya menjadi mogok gara-gara tirakat yang mereka jalani tidak kunjung mendatangkan kesaktian. Merasa begitu-begitu saja dan tidak ada perubahan. Pada akhirnya si santri pun mokat, mogok tirakat.
Lalu sebenarnya siapa yang salah? Siapa yang harus disalahkan? Angin? Eitss angin tidak punya KTP. Baiklah, sebelum membahas tentang tutorial bertirakat dengan baik dan benar, kita mesti mengetahui terlebih dahulu definisi tirakat itu sendiri.
Kata “tirakat” merupakan kata yang berasal dari kata serapan Bahasa Arab, dalam hal ini terdapat dua pendapat. Yang pertama, tirakat yang berasal dari kata bahasa arab طرﯾﻘﺔ yang memiliki arti jalan yang ditempuh. Dan yang kedua, tirakat yang berasal dari kata Bahasa Arab تَرَكَ – يَتْرُك yang memiliki arti meninggalkan, menjauhi atau menghilangkan. Jika diambil dari dua asal kata tersebut kita dapat menyimpulkan secara umum bahwa tirakat memiliki arti jalan yang ditempuh dalam proses meninggalkan hawa nafsu duniawi.
Dilansir dari NU Online Secara terminologis, KH Muhammad Sholeh bin Umar (KH. Sholeh Darat) menjelaskan dalam kitabnya Minhajul Atqiya’ fi Syarhi Ma’rifatil Adzkiya’ ila Thariqatil Auliya’, thariqah itu sebuah pelaksanaan ibadah dengan semangat keseriusan, tidak hanya memilih ibadah yang ringan saja, melaksanakan perintah Allah dan menjauhi laranganNya, juga menjaga dari sesuatu yang haram dengan tujuan riyadlah (beribadah dengan penuh khusyu’)
Loh, hubungan tirakat dengan kesaktiannya mana? Kok nggak ada?
Jadi begini, tujuan dari tirakat adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT. Jalannya adalah dengan tirakat, yaitu meninggalkan segala sesuatu yang bersifat hawa nafsu keduniawian. Adapun kesaktian yang kita inginkan itu berupa hadiah yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba yang dikehendaki-Nya. Kita tidak bisa memaksakan kesaktian jika Allah tidak menghendakinya kepada kita.
Dilansir dari NU Online, kesaktian atau biasa disebut karomah itu diberikan oleh Allah kepada para wali dengan tujuan sebagai penguatan iman bagi masyarakat awam. Seperti halnya pada zaman para Nabi yang dikaruniai mukjizat sebagai bukti adanya Allah SWT sehingga umatnya akan senantiasa percaya. Nah, karena semakin kesini kita semakin jauh dengan zaman para Nabi, maka diciptakanlah karomah sebagai pengganti mukjizat tersebut.
Namun, kita tidak perlu berkecil hati jika ternyata tirakat kita tidak mendatangkan karomah. Selama kita bisa menjalankan ritual tirakat itu dengan istiqomah (konsisten) maka keistiqomahan kita sudah bisa disebut sebagai karomah. Ada pepatah Arab mengatakan:
اَلْإِسْـتِقَـامَةِ خَيْرٌ مِـنْ اَلْفِ كَــرَامَةٍ # ثُبُــوْتُ الْكـَـرَامَةِ بـِدَوَامِ الْإِسْـتِقـَـامَةِ
“Istiqomah itu lebih utama dari seribu karomah, dan menetapnya suatu karomah itu dengan menjaga istiqomah”
Bahkan, pada satu keterangan menjelaskan bahwa karomah itu terkadang datang kepada orang yang belum sempurna istiqomahnya:
رﺑﻣﺎ رزق اﻟﻛراﻣﺔ ﻣن ﻟم ﺗﻛﻣل ﻟﮫ اﻻﺳﺗﻘﺎﻣﺔ
“Terkadang sebuah karomah (kesaktian) itu diberikan kepada orang yang belum sempurna istiqomahnya”
Maka, kita belajar dari sini bahwa kesaktian atau karomah itu diberikan oleh Allah sesuai kehendak-Nya. Kita tidak perlu mengeluh dan berani mengatur Tuhan ketika tidak diberikan kesaktian. Toh, jika tujuan untuk terus mendekatkan diri kepada Allah sudah terlaksana lalu untuk apa kesaktian?
Perlu kita ketahui bahwa alasan kenapa dipesantren para santri dibekali tirakat oleh gurunya adalah supaya dalam proses tholabul ilmi-nya diberikan kemudahan oleh Allah SWT sebagai dzat Yang Maha Memberikan Ilmu.
Dalam kitab Ta’limul Muta’allim disebutkan bahwa seorang santri yang sedang mencari ilmu hendaknya menjauhi segala kenikmatan yang bersifat duniawi tujuannya adalah supaya ilmu datang dengan mudah.
Syekh Az-Zarnuji dalam kitab ta’lim bersyair :
يَا طَالِبَ الْعِلْمِ بَاشِرِ الْوَرَعَا # وَجَنِّبِ النَّوْمَ وَاتْرُكِ الشِّبْعَا
“Duhai penuntut ilmu, biasakanlah bersikap wara’ (menjaga dari perkara haram dan syubhat), jauhilah tidur (berlebihan) dan tinggalkanlah kenyang.”
دَاوِمْ عَلَى الدَّرْسِ لَا تُفَارِقْهُ # فَالْعِلْمُ بِالدَّرْسِ قَامَ وَارْتَفَعَا
“Belajarlah terus menerus, janganlah kau meninggalkannya karena ilmu dengan belajar yang kontinyu akan tegak dan jaya.“
Kesimpulannya, kita sebagai penuntut ilmu tidak perlu khawatir mengenai karomah. Selama kita belajar dengan tata cara yang benar, serta dibarengi dengan keistiqomahan, maka insya Allah, Allah SWT akan memberikan ilmu yang bermanfaat, yakni ilmu yang bisa membawa kita mengenal Sang Maha Pencipta.
Waallahu a’lam bish-showab