Kedua pundakku berguncang hebat setelah memasuki kamar berukuran 4×4 meter persegi itu. Kutahan desakan air mata yang minta dikeluarkan bersama emosi meluap-luap.
“Tahan, Yad. Tahan. Please jangan menangis,” batinku menyeracau.
Sambil menggigiti kuku jari telunjuk -pertanda gusar- aku menghampiri kalender yang menempel di dinding berupa bilik bambu. Kuhitung berapa lama lagi selesai masa PPL-ku di pondok Roudhotul Jannah ini.
Aku bergumam, “Setengah bulan lagi, Yad. Kamu harus bertahan.”
Lampu minyak yang menggantung di celah kayu di dekat tempatku berdiri cahayanya mulai meredup. Pemutar berbentuk bulatnya segera kuputar perlahan, sehingga nyala apinya semakin terang.
Selanjutnya aku memunguti berkas-berkas kertas yang tercecer di lantai kayu. Rupanya coretan di tiap lembar kertas yang sekilas kubaca mampu membangkitkan ingatan peristiwa menyakitkan beberapa puluh menit yang lalu.
“Kamu tuh siapa sih Yad berani-beraninya berbicara begitu? Inget ya kamu tuh di sini cuma tamu!” pekik Kang Hafiz.
Lelaki berambut gondrong sebahu itu langsung memotong ucapanku saat menjelaskan usulan dan rencana demi kemajuan pondok.
Dengan nada bergetar kubalas pekikannya, “A … aku kan cuma ngasih usulan, Kang. Bukankah tadi Kang Miftah mempersilahkan siapa saja untuk bicara?”
Kang Hafiz rupanya tipikal orang yang tidak mau kalah. Ia kembali membalas, “Ya, tapi usulanmu itu tidak pantas. Kamu seolah-olah ingin merusak kesalafan pondok ini yang sudah dibangun sejak dulu.”
“Udah, Fiz. Udah,” sela Kang Miftah –salah satu pengurus paling senior.
“Aku nggak bermaksud begitu, Kang,” belaku sebisa mungkin.
Suasana KOPDAR malam itu mendadak menjadi tegang. Kulihat raut-raut muka tak enak terpancar dari keempat pengurus pondok Roudhotul Jannah itu, terkecuali Kang Nawaf.
“Hafiz benar. Usulanmu itu ndak cocok di sini. Mending sampean bawa pulang saja,” kata Kang Ayas.
“Lha, justru usulanku itu didapatkan dari pondokku, Kang. Pondok pesantrenku terlihat modern, mengikuti perkembangan zaman. Tapi tetap mempertahankan nilai-nilai kesalafannya. Kita bisa juga mengadopsinya untuk kemajuan pondok Roudhotul Jannah ini. Sesuai namanya, Kang, taman surga. Berharap orang-orang akan tertarik memondokkan anaknya di sini dan merasakan kenyamanannya selayaknya sebuah rumah di surga,” kataku lagi kembali berargumen.
Kang Adnan tertawa sarkas. Ia berbisik kepada Ayas, “Dia mikir pondok kita nggak nyaman jeh. Kenapa malah milih PPL di sini, ya.”
Aku kembali keukeuh berpendapat, “Aku tahu kok permasalahan yang akhir-akhir ini terjadi.”
Beberapa dari mereka mengejek.
“Jiah … Si paling paham, yo.”
“Heeh. Sok banget. Masih bau kencur padahal.”
Aku tidak peduli. Kuteruskan argumenku, “Bahkan aku paham betul kenapa orang-orang nggak mau memondokkan anaknya di sini. Ya, karena mereka pikir pondok Roudhotul Jannah ketinggalan zaman. Bisa jadi beberapa tahun kedepan ya bakal lenyap, Kang. Nggak akan ada santrinya lagi.”
Kang Hafiz bangkit. Ia menunjuk-nunjuk. “Bacot kamu, Yad. Dahlah mending kamu pergi dari KOPDAR ini. Masih saja berani-beraninya ngedokrin. Inget ya sekali lagi, kamu tuh di sini cuma tamu, Yad. Tamu,” usirnya dengan mata menyala-nyala.
Bunyi pintu kayu berderit terdengar di belakangku, seseorang masuk kamar. Buru-buru kuseka air mata yang sempat meleleh. Lantas berkas-berkasnya kumasukkan ke dalam tas.
“Yad,” panggil suara berat itu. Aku hafal betul siapa pemiliknya.
Aku pura-pura membereskan isi tas. “Iya, Kang?”
“Aku mewakili teman-teman yang lain. Maaf, ya.”
“Iya. Nggak apa-apa, Kang. Omongan mereka emang ada benarnya juga kok.”
Kali ini Kang Nawaf duduk di sampingku. Mungkin melihatku pura-pura sibuk. Padahal hanya tidak ingin menunjukkan wajah kusut saja.
“Lagi pula durasiku di sini tinggal setengah bulan lagi, Kang,” kataku lagi beralasan.
Selanjutnya kami diliputi oleh diam. Kang Nawaf tidak lagi berbicara.
Usai membereskan isi tas. Aku menoleh ke arahnya tatkala mengingat kenapa lelaki berkumis tipis ini tampak bersikap netral.
Aku mendesis. Lalu bertanya, “Sebetulnya Kang Nawaf pro ke siapa sih?”
Kang Nawaf tidak menjawab. Ia hanya tersenyum kecil. Kemudian beranjak pergi sambil menepuk pundakku sekilas.
Apa maksudnya?
***
Pantas saja mereka murka, jika ada orang yang mau merusak keasrian taman surga ini. Mereka takut suasana syahdu, asri nan tenang di punggung gunung ini tergantikan oleh hingar bingar kemewahan duniawi. Aku paham betul letak kekhawatiran mereka. Tetapi akupun tidak menafikan bahwa usulanku tidak akan merusak tatanan keindahan pesantren jaman dulu yang bisa dirasakan di masa sekarang. Ya, di pondok pesantren Roudhtul Jannah.
Kamu akan bisa menyaksikan bangunan bilik-bilik bambu bertengger di tengah-tengah persawahan dan pepohonan menjulang. Jangan kaget. Pada malam harinya kamu akan ditemani nyala lampu-lampu minyak, suara-suara hewan malam serta air mengalir di sungai berair jernih. Kamu benar-benar akan menyaksikan kesyahduan itu di sini.
Usai peristiwa KOPDAR malam itu, aku agak sangsi untuk berbaur dengan para pengurus. Mereka pun seperti enggan mengajakku, terkecuali Kang Nawaf. Alhasil aku memilih bergabung dengan santri-santri junior, menghabiskan keseharian dan mengaji atau mengisi pengajian pasaran bulan Ramadan.
Ya, mau tidak mau tugasku di sini sebagai utusan pondok harus kusimpan dulu. Apalagi saat beberapa pengurus masih saja menyinggungku.
“Mending diam saja, Yad. Jangan sampai kedengaran Abah. Bisa berbae. Wong beliau yang membangun pondok ini dari nol. Mosok kamu berani-beraninya mau merusak,” kata Kang Ayas suatu hari. Tatkala kami memanen sayuran di ladang.
Tentu saja aku tidak membalas. Diam adalah jurus terbaik untuk saat ini. Meskipun kalimat terakhirnya amat menusuk.
Kang Hafiz tak kalah mencemooh saat tak sengaja berpapasan. “Lha, masih ada saja sih, Yad. Mending pulang aja deh. Usulanmu nggak akan kepake, terlalu duniawi.”
Tidak sampai di situ saja, sikap mereka akan kelihatan semakin menyebalkan saat aku diam-diam menggunakan handphone dan atau menulis laporan menggunakan laptop. Berbanding terbalik dengan santri-santri junior yang pada antusias. Dan ending-nya sudah bisa ditebak bukan?
Ternyata tidak semua santri yang dibekali ilmu agama memiliki sikap dan akhlak yang sama mulianya, khususnya bagaimana berperilaku kepada orang lain. Sebuah kesimpulan berbahaya yang segera kuenyahkan.
***
Rupanya peristiwa KOPDAR malam itu sampai ke telinga Abah Syafi’i. Maka kala sore menjelang buka puasa kelima pengurus dipanggil di griya. Termasuk aku sendiri yang sedang membuat takjil bersama santri-santri junior.
Baru saja memasuki griya pengasuh, aku langsung disambut tatapan mata tajam milik tiga santri lawas itu. Bahkan Kang Hafiz masih sempat-sempatnya berbisik begini, “Puas kamu, Yad. Tamat riwayatmu di tangan Abah.”
Aku tak mengindahkan. Walaupun sejujurnya hatiku mulai ketar-ketir.
Tak berapa lama lelaki berambut putih itu datang. Ia memutuskan duduk di kursi reyot. Tanpa basa-basi Abah Syafi’i bertanya langsung kepadaku, “Seperti apa memangnya usulanmu itu Kang Fayad?”
Aku tak berani menoleh. Pun kelima pengurus lainnya. Mereka sama-sama menunduk takdzim dengan mulut terkunci rapat.
“Nggak apa-apa, Kang. Silakan jelaskan dengan gamblang. Abah ingin dengar langsung darimu,” kata Abah lagi mempersilakan.
Bersama degup jantung berdebar tak keruan, aku mulai menjelaskan semua usulan yang telah kususun matang-matang itu, tanpa berusaha mengurangi. Justru aku tambahkan supaya tidak terjadi kesalahpahaman lagi.
Ya, semua tentang usulan baru demi kemajuan pondok Roudhotul Jannah. Seperti diadakannya listrik, dibangun fasilitas pendukung, kurikulum pengajian yang baru dan banyak hal lainnya, sampai perkara administrasi keuangan sekalipun.
“… begitu, Bah. Saya mengusulkannya tanpa berusaha melenyapkan kesalafan pondok ini. Sehingga ciri khas pondok pesantren salaf masih bisa dipertahankan, meskipun ada banyak perubahan yang mengikuti perkembangan zaman,” tuturku menutup penjelasan dengan perasaan lega.
Menit-menit selanjutnya hening menyelimuti. Semuanya terdiam, termasuk Abah Syafi’i sendiri.
Tak berselang lama, Abah mulai berucap lagi. Namun ucapannya berhasil membuatku mendongak kaget sekaligus senang.
“Baiklah. Usulanmu bagus Kang Fayad. Kalau begitu Abah setuju.”
Kang Hafiz langsung menyela, “Punten, Abah. Bukankah usulan Kang Fayad terlalu berisiko? Kesalafan pondok ini akan hilang, Bah. Tidak jauh berbeda dengan pondok pesantren di luar sana.”
“Insya Allah. Kekhawatiranmu tidak akan terjadi, Fiz.”
Untuk beberapa saat suasana griya tampak gaduh. Mereka berbisik-bisik tanpa menyadari Abah Syafi’i masih ada di depan mereka.
“Ekhem … Ekhem ….”
Suasana kembali hening. Abah kembali berbicara, “Sebetulnya keinginan Abah untuk merubah banyak hal di pondok ini sudah ada sejak dua tahun yang lalu. Abah sudah pikirkan matang-matang. Zaman makin berubah. Maka cara dakwah kita pun ya mesti dirubah. Kalau nggak gitu ya bakalan terbelakang terus. Abah sudah melihat tanda-tanda perubahan apa saja yang mesti dilakukan.
“Nah, maka dari itu Abah minta salah satu ustad kepercayaan di pesantren teman Abah dulu, Kyai Hanan namanya, untuk bisa membawa santrinya ke sini. Lalu ikut membangun pondok Roudhotul Jannah supaya lebih baik lagi dalam segala hal.
“Kalian jangan langsung menuduh Kang Fayad yang bukan-bukan. Justru kalian harus takdzim. Karena Kang Fayad itu salah satu pelopor, yang telah berjasa memajukan pondok pesantren Kyai Hanan, yang sekarang menjadi pondok pesantren percontohan di Jawa Barat.”
Aku semakin menunduk dalam. Agak malu saat Abah menyinggung tentangku yang selama ini berusaha kututup-tutupi.
“Jadi, Kang Fayad mohon bimbingannya, ya. Sekarang Abah utus kamu menjadi koordinator perubahan pondok Roudhotul Jannah. Siap, Kang?”
Refleks aku mendongak. Kali ini semua mata tertuju padaku. Rasa terkejut bercampur senang menjadi satu.
Dengan nada bergetar aku berucap tegas, “Muhun, Bah. Saya siap. Insya Allah.”
Ternyata pemikiran Kyai Hanan –pengasuh pondokku- kala itu mampu meluluhkan hati teman seperjuangannya juga.
Kyai Hanan pernah berbicara begini, “Kalau ada suatu hal yang mengarah ke arah yang lebih baik. Kenapa tidak kita lakukan? ”
Keluar dari griya pengasuh, sebuah tangan menyambut.
Kang Miftah tersenyum. “Selamat ya, Kang.”
Uluran tangannya kusambut. “Apakah Kang Miftah yang ngasih tahu Abah?” tanyaku menebak.
Lelaki berkumis tipis itu hanya mengendikkan kedua bahu sambil tersenyum penuh arti.
Aku bisa menebak arti senyumannya. “Terimakasih, Kang.”
Ucapan Kang Miftah selanjutnya membuatku semakin melebarkan senyum.
“Kalau ada suatu hal yang lebih baik. Kenapa nggak segera kita lakukan?”
***
Tentang Penulis
Iqbal Syarifuddin Muhammad
Iqbal Saripudin ialah nama aslinya. Lelaki yang biasa disapa Iqbal ini lahir di Cirebon pada 2 Juni. Ia salah satu santri pondok Kebon Jambu Al-Islamy yang gemar menuangkan imajinasinya lewat tulisan. Selain hobinya mengarang bebas cerita-cerita fiksi, ia juga berkecimpung di dunia Multimedia. Kini di antara kegiatannya ialah sebagai freelancer video editor dan content creator. Adapun novel yang pernah diterbitkan berjudul Kabut Cinta di Ujung Senja dan Sabda Cinta Dua Insan. Selain itu cerita lainnya bisa dibaca di akun wattpadnya @Iqbalangkasa .
Untuk mengenal lebih lanjut, kalian bisa menemukan Iqbal di :
Instagram : iqbalangkasa69