Cerpen by Iqbal Syarifuddin Muhammad & Ilustrasi by Muhammad Faisal
Tiga bus rombongan Kyai Mahfudz itu baru tiba di halaman pondok. Para jamaah berseragam batik hijau turun satu persatu. Romo Kyai Syafi’i –pengasuh pondokku– dengan sigap menyambut tetamu agung yang berasal dari Malang itu.
Aku tidak jadi masuk ke kamar mandi tatkala Mbak Nafisah –khodimah pengasuh– menyuruhku mendekat.
“Sampean wonten kegiatan ndak, Mbak?” tanyanya bernada cemas. Perempuan berkerudung seadanya itu beberapa kali menengok ke arah lapangan pondok.
Aku menggelengkan kepala pelan. Dalam hati sudah bisa menebak pasti Mbak Nafisah hendak memintaku ngerewangi dapur pengasuh. Apalagi di waktu liburan seperti ini yang sebagian besar para santri maupun khodim-khodimah sedang pada pulang.
Mbak Nafisah nyengir. “Biasa yo, Wa.”
“Nggih, Mbak,” ucapku pasrah. Aku memang bukanlah khodimah pengasuh, tetapi sering kali ikut membantu apapun yang menjadi tugas mereka.
“Oh, ya, ajak salah satu temanmu, Wa. Ayo! Sekarang juga ditunggu di dapur.”
Mbak Nafisah tipikal orang yang sat-set, sehingga mau tidak mau aku pun mesti begitu kalau tidak mau terkena omelannya. Usai mengajak Maya -si santriwati gampang disuruh-, kami segera masuk ke dapur griya.
Di meja dapur itu sudah tersedia segala jamuan, rupanya Mbak Nafisah sudah menyiapkan sejak pagi. Bahkan lauk-pauk untuk prasmanan pun berjejer rapi di atas meja, siap dihidangkan.
Namun keningku mengkerut tatkala perempuan berkerudung seadanya itu tampak sibuk mematut di depan cermin -merapikan kerudungnya.
“Hilwa, Maya, Mbak tinggal dulu, yo. Mbak mau jemput Gus Ahmad sama Ning Mariah. Iku segala-galane wes beres. Tugas kalian tinggal menjamu tamu-tamu saja. Koyok biasa. Ojo isin-isin. Nanti Pak Kyai sama Ibu Nyai bakal mengintruksi. Mbak wes ijin. Daah. Assalamualaikum,” cerocos Mbak Nafisah tanpa membiarkan kami mengelak.
Aku melongo. Sementara Maya mengendikkan kedua bahu seolah berbicara ‘mau bagaimana lagi?’.
Jangan bertanya! Tentu saja aku cemas bukan main. Ya, karena cuma kami berdua di sini. Sementara tamu-tamu dari Malang itu jumlahnya banyak sekali.
Belum sempat aku berpikir jernih Ibu Nyai Farihah datang ke dapur. Ia membagi tugas kepada kami dan segera kami jalankan.
Sekitar pukul lima sore rombongan Kyai Mahfudz dari Malang itu meninggalkan pondok. Sampai tugas terakhir belum selesai dilaksanakan Mbak Nafisah tidak kunjung datang. Sementara kami masih berada di dapur membersihkan piring-piring, mangkuk-mangkuk dan segala perlengkapan lainnya di bak cucian.
Kalau boleh jujur, sejak siang itu kami belum makan-minum apapun. Bukan karena sibuk melayani tamu saja, melainkan kami tidak berani seenaknya mengambil ini-itu yang ada di depan mata. Jalan terakhirnya selain menunggu Mbak Nafisah datang ialah menunggu Ibu Nyai atau Pak Kyai mempersilahkan. Namun sampai kami kelelahan di bak cucian, belum juga bantuan itu datang.
Maya terinsak-insak sembari mengelap keringat di keningnya menggunakan ujung kerudung.
“Maya, kamu kenapa?” tanyaku khawatir.
“Aku ndak kuat, Wa. Pengin minum, makan. Capek aku, Wa,” keluhnya tampak lemas menyabuni piring-piring kotor.
“Iya, sama saja, May. Aku juga.” Kuhela napas berat. Mataku berkelakar menatap piring-piring kotor yang masih menggunung.
“Ke mana sih Mbak Nafisah kok belum datang juga.”
“Masih di jalan mungkin, May. Sabar.”
Kali ini Maya memelankan suaranya. “Tapi … Tapi mosok pengasuh kita diem-diem bae, sih, Wa. Mosok nggak kasihan sama kita. Nggak mempersilahkan sama sekali. Sekarang lagi ngapain coba. Kan tamu-tamunya wes pada pulang.”
Mendengar kalimat Maya yang terdengar kurang baik aku langsung menegur, “Hus! Jaga bicaramu, May. Ndak boleh kayak gitu, ih, ke guru kita. Sembarangan kamu kalau ngomong.”
“Ya, masalahnya aku lapar sekali, Wa.”
“Ya, sama aku juga. Tapi tetap saja kita kudu sabar, May. Selesaikan dulu saja pekerjaan ini.”
Maya mencak-mencak tak jelas. Wajah pucatnya cemberut. Ia memang santriwati yang selalu mau disuruh-suruh apapun. Baru kali ini aku melihat ia mengeluh. Ah, aku jadi tidak tega. Apalagi berkali-kali ia melirik gunungan apel-apel segar di atas meja dapur. Apel berwarna hijau yang berasal dari tetamu dari Malang itu.
“Maya, kamu lapar, kan?” tanyaku pelan sesaat setelah ide cemerlang muncul di otakku.
Maya menatapku kesal. Ia berseloroh, “Ya, ndak usah ditanya”
Aku nyengir. “Mau apel itu ndak? Kayaknya seger bener itu, May.”
Kedua bahu Maya makin turun. “Sedari tadi aku pengin apel-apel itu, Wa. Duh, perutku makin keroncongan ngeliatnya.”
Tanpa basa-basi aku segera melesat mengambil dua buah apel itu. Lalu menyerahkannya kepada Maya yang langsung ditolak olehnya.
“Eh … Eh … Ndak mau, ah. Itu namanya mencuri, Wa. Ndak halal,” elak Maya.
Aku mendecak. “Wes ndak papa. Aku yang nanggung. Dari pada kamu pingsan. Wes terima.”
Kupaksa ia menerima apel yang kucuri itu dengan ogah-ogahan. Aku berusaha meyakinkannya. “Nanti tak kasih tahu Mbak Nafisah atau bila perlu Ibu Nyai, Pak Kyai sekalipun. Tenang saja.”
Maya cengengesan. Selanjutnya kami mulai memakan apel hijau itu dengan sangat lahap. Memang benar dugaan kami. Rasanya manis, asem dan segar sekali.
Sampai selesai bertugas dan keesokkan harinya aku pulang ke kampung halaman, aku belum juga menunaikan ucapanku sore itu. Tentu saja perasaanku tidak tenang. Seperti ada yang mengganjal amat besar di benak, tetapi sulit untuk diungkapkan.
***
“Abah, Umi, Hilwa pengin cerita.”
Pagi itu sebelum berangkat ke pondok aku bercerita panjang lebar kepada kedua orang tuaku perihal insiden pencurian apel di dapur pengasuh. Mereka malah tertawa bernada meledek.
“Hilwa, Hilwa … Ada-ada saja kamu,” komentar Abah.
Umi menarik tanganku. Ia tersenyum lembut. “Jangan begitu lagi, ya, sayang. Nggak boleh loh. Nggak baik.”
Aku mengelak. “Ya, masalahnya kan ….”
Cepat-cepat Abah memotong, “Masalahnya itu bukan karena laparnya. Tetapi karena kalian masih mengharapkan sesuatu dari pekerjaan itu.”
Kutatap dalam-dalam sorot mata serius milik Abah. “Wa, pengasuhmu itu bukan diem-diem bae. Bukan pula menyengsarakan atau membiarkan kalian kelaparan. Beliau itu lagi mbelajari sampean-sampean iki sing arani ikhlas. Ngelakoni segala laku lampah tanpa mengharapkan imbalan apapun. Ngerti?”
Tanpa sadar air mataku bercucuran. Perasaan menyesal bertubi-tubi menyesakkan dadaku. Aku merasa tak tahu diri.
“Terus aku kudu piye, Bah?”
“Ya, wes nanti Abah tak kasih tahu ke pengasuhmu. Nyuwun ikhlase.”
Sudah bisa dibayangkan bukan bagaimana keadaanku saat berada di hadapan Ibu Nyai dan Pak Kyaiku? Tepatnya ketika Abah bercerita soal pencurian apel itu serta meminta ikhlasnya.
Aku cuma bisa menunduk malu dengan kedua tangan mengepal.
“Pangapunteun kulo, Bu, Pak.” Hanya itu pula kalimat yang mampu kukeluarkan.
“Nggih, mboten nopo-nopo. Mugia jadi pembelajaran kangge Hilwa. Bener iku omongane Abahmu,” kata Romo Kyai Syafi’i dengan nada lembut.
“Ya, wes, jangan berani kayak gitu lagi, ya. Apalagi nanggung dosa orang lain. Berat, Wa,” ucap Abah disambung gelak tawa Umi dan kedua pengasuhku.
Tindakanku memang tampak konyol, sih. Sehingga Mbak Nafisah pun yang tahu perihal itu cekikikan. “Tahu ndak Wa kenapa aku belum juga datang?”
Aku menggelengkan kepala dengan raut wajah masih cemberut.
“Ya, karena Pak Kyai memintaku beli bakso dulu Wa kanggo sampean-sampean iki. Nggak kira-kira loh Baso Lava sing hargane lima puluh ribu.”
Mataku terbelalak. “Serius, Mbak?”
“Yo, iya. Kamu, sih, malah nyuri apel sing hargane ndak seberapa.“
“Terus piye basone?”
“Ya, wes tak makan, terus tak bagi-bagi. Soale Pak Kyai sebetulnya wes tahu soal itu, Wa. Hihi.” Mbak Nafisah kembali cekikikan.
“Apa? Jadi selama ini Pak Kyai tahu? Termasuk pas aku ijin pulang itu?” cecarku terkejut. Pantas saja ketika aku ijin pulang tao henti-hentinya Pak Kyai tersenyum sambil geleng-geleng kepala.
“Iyo. Hehe.”
“Aduh! Mati aku. Huahh … Mau ditaruh di mana lagi mukaku ini Ya Allah.”
Mbak Nafisah tertawa terpingkal-pingkal. Sementara aku meratapi nasib menyedihkan ini.
***