(Di Balik Kisah Hancurnya Pasukan Abrahah Pada Tahun Gajah)
Sehubungan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ada sebuah kisah menarik yang sarat dengan hikmah pada peristiwa penyerbuan Kota Makkah oleh pasukan Gajah Abrahah.
Nabi Muhammad Saw. dilahirkan di Kota Makkah pada hari Senin tanggal 16 Mei 570 M. atau bertepatan dengan tanggal 12 Rabi’ al-Awwal, dan dilahirkan secara normal sama seperti manusia pada lainnya. Beberapa bulan sebelum dilahirkannya manusia yang paling mulia, teladan bagi seluruh umat, dan juga kekasih Tuhan yang paling dicinta, terjadi peristiwa yang menggemparkan tanah Arab saat itu, sehingga orang-orang Arab menyematkan tahun itu dengan sebutan “Tahun Gajah”.
Abrahah al-Habsyi al-Asyram, seorang hakim tanah Ethiopia dan menjadi musta’mir tanah Yaman, merasa marah dan tersinggung atas apa yang dilakukan oleh orang-orang Arab yakni selalu memuliakan Ka’bah bait al-haram, akhirnya timbullah keinginan untuk merebut supremasi Ka’bah dengan membangun sebuah katedral atau gereja di daerah Yaman yang diberi nama al-Qullays. Rencana Abrahah untuk menarik masyarakat agar beribadah dan berkunjung ke Qullays miliknya, nampaknya dianggap sebagai sebuah candaan, bahkan ada sebagian yang menganggapnya sebagai sebuah ancaman bagi kelangsungan ibadah mereka di Ka’bah. Sehingga perasaan ini membuat orang-orang Arab mulai mencemooh Qullays-nya Abrahah.
Bahkan diceritakan oleh Ibnu Hisyam, ada seorang pemuda yang sengaja datang dari jauh dan diam-diam memasuki Gereja al-Qullays untuk membuktikan ketidaksakralan gereja tersebut, serta dengan tujuan untuk mengolok-ngolok buah karya Abrahah itu, di dalam sana pemuda tadi buang hajat sebelum kemudian ia kabur dalam pelukan malam gulita. Hal-hal demikian membuat Abrahah naik pitam, padahal sebelum perlakuan orang-orang menghinakan al-Qullays, ia sudah membenci Ka’bah karena iri dengan kemakmuran dan kemasyhurannya. Oleh karena itu, atas peristiwa penistaan ini, ia memiliki alasan dan dengan kemarahannya yang menjadi dendam kesumat, ia bersumpah akan menghancurkan Ka’bah lalu memaksa orang-orang untuk berpaling ke al-Qullays miliknya di Yaman.
Berangkatlah pasukan besar yang dipimpin langsung oleh Abrahah, yang mana pasukan terdepan diisi oleh pasukan gajah besar yang dikirim dari Afrika. Tujuan mereka adalah: menghancurkan bait al-haram Ka’bah.
Julukkan “Al-Asyram” memiliki arti “Wajah Terbelah” disematkan pada raja satu ini, Abrahah. Dengan nama besarnya tersebut, ia mampu membuat gentar seluruh orang dari setiap sudut kota bahkan sampai pelosok-pelosok perbukitan, tentunya dengan kekuatan pasukan yang besar tersebut. Tidak sulit untuk menjalankan misinya meluluhlantakkan Ka’bah, juga tidak akan kewalahan jika ada segerombol orang-orang yang menghalangi misinya tersebut.
Ka’bah diketahui adalah sebuah tempat sakral yang biasa digunakan orang-orang semenanjung Arab untuk berziarah, bahkan dalam bulan-bulan tertentu, Ka’bah sering dipakai sebagai tempat merayakan festival yang menjadi agenda setiap tahunnya.
Ketika Abrahah sampai di sekitaran kota Makkah, para pasukan Abrahah berlari secara brutal menuju pemukiman warga sekitaran Makkah, mereka menghancurkan, menginjak-injak, merampok harta kepunyaan warga sekitar, kemudian mereka berhenti di gerbang kota Makkah, mereka bersiap-siap untuk memasuki bait al-haram. Pada saat itu pemimpin kota Makkah adalah Abdul Muthollib, kakeknya Nabi Muhammad Saw. ia sangat mengagungkan bait al-haram dan mensucikannya. Kemudian ia hendak menemui Abrahah, ketika Abrahah tahu bahwa Abdul Muthollib ini hendak menemuinya, ia memerintahkan pasukannya untuk mempersiapkan tempat layaknya perjamuan antara raja, ia meminta tempatnya itu dihias sedemikian rupa dengan emas dan kain sutra dengan tujuan memberikan rasa takjub dan takut kepada Abdul Muthollib akan dirinya. Kemudian Abrahah mempersilakan Abdul Muthollib untuk masuk.
baca juga :
Cinta di Dalam Gelas; Perempuan, Kopi dan Catur
Ketika mereka bertemu, Abdul Muthollib tanpa basa-basi langung berkata kepada Abrahah, “Hai Abrahah! Sungguh pasukanmu telah merampok kambing dan unta-untaku, maka saya datang kepadamu untuk memintamu mengembalikannya kepadaku!” Sontak Abrahah kaget dan terheran-heran, ia berkata “Kamu datang kepadaku semata-mata hanya untuk memintaku mengembalikan untamu, dan bukan karena negaramu yang akan aku hancurkan?!” Abdul Muthollib menjawab “Unta-unta itu akulah pemiliknya, sedangkan Ka’bah itu milik Allah, Dialah yang punya kekuasaan untuk melindungi atau menghancurkannya. Kamu bukan tandingan kami suku Quraisy. Tapi, tolong prajuritmu untuk berlaku adil. Kembalikanlah unta-unta kami yang mereka rampas”. Lalu dengan emosi yang meluap-luap karena merasa direndahakan, Abrahah berkata kepada pasukannya, “Kembalikan unta-unta mereka!” kemudian ia berpaling menghadap wajah Abdul Muthollib seraya berbicara lantang “Katakan kepada Tuhanmu! Sesungguhnya Abrahah datang untuk menghancurkan rumah-Mu, maka cegahlah jika Kau mampu untuk itu!” Lalu Abdul Muthollib pun mengambil untanya dan bertemu dengan penduduk Makkah dan meminta mereka untuk segera mengungsi ke pegunungan sekitar dan menyaksikan apa yang akan terjadi esok hari.
Keesokan harinya, kesunyian melanda kota Makkah pada pagi itu, tak ada seorang pun yang terlihat lalu lalang di sana, mereka semua menuruti perintah Abdul Muthollib untuk mengungsi, hampir bersamaan dengan munculnya matahari, debu pasir membumbung tinggi di belakang pasukan Abrahah yang merobek kesunyian Makkah pagi itu. Ya, mereka ingin menghancurkan Ka’bah!
Lalu apa yang terjadi, pada saat itu anti klimaks terjadi.
Ingatlah! Allah tidak akan lupa dengan apa yang dilakukan oleh orang zalim, dan Allah mendengar do’a Abdul Muthollib. Allah Swt. mengutus ribuan burung-burung yang berwarna hitam, mereka secara bergerombol menutupi teriknya matahari pagi itu. Mereka memenuhi angkasa, yang masing-masing dari burung itu melemparkan batu-batu neraka dari paruh dan cakar mereka, dengan tambahan angin yang mendadak kencang, seolah menjadikan batu-batu neraka tersebut laksana hujan badai yang sangat deras, yang siap menghujani dan menembus siapa saja yang ada di bawahnya. Seketika itu juga, deru pasukan gajah yang tadinya gagah berubah menjadi suara lengkingan ketakutan dan jerit kesakitan yang tidak bisa lagi untuk digambarkan.
Nasib Abrahah dan pasukannya sudah tidak tertolong, tubuh Abrahah mengelupas tak berdaya, pasukan besarnya terbirit-birit menjemput ajal. Raja yang tadinya ditakuti seantero Arab mati tak berdaya di hadapan digdaya Allah Swt. tubuhnya yang compang-camping dibawa oleh sisa pasukannya menuju Yaman.
Seperti inilah lukisan yang termaktub dalam Al-Quran surat Al-Fiil 1-5, pasukan gajah yang gagah itu “laksana daun-daun yang dimakan ulat”. Namun, dibalik kisah digdayanya Allah Swt. dalam meluluhlantakkan pasukan besar Abrahah, ada sebuah hikmah yang patut kita garis bawahi, yakni keteguhan iman seorang Abdul Muthollib untuk meyakini bahwa ada kekuatan besar yang akan melindungi “kepunyaan-Nya”. Ia tidak gentar menghadapi musuh sekelas Abrahah yang gagah dengan pasukan gajahnya, ia yakin bahwa dibelakanya ia memiliki Allah Yang Maha Kuat lagi Maha Mendengar.
Tabik!