Pertarungan sengit. Duel menegangkan.
Yah.
Ini adalah sebuah turnamen kejuaraan. Turnamen besar di pusat kota Akuteko, demi memperebutkan gelar Sang Jawara.
Di dalam ring, kedua lawan sudah terlihat kelelahan. Napasnya terengah-engah. Entah sudah berapa banyak keringat yang mengalir deras. Sejenak mereka saling pandang, mencari celah menyerang satu dengan lain.
Yang satu bernama Pansa. Seorang pendekar dari Negeri Api. Ia datang ke pusat kota untuk mencari petarung yang setara dengannya.
Dan lawan di depannya ialah Ngindi. Sang Jawara bertahan. Ia berhasil mempertahankan gelarnya selama sepuluh tahun ke belakang. Sepuluh tahun? Yup! Kekuatannya jangan ditanya, ia adalah keturunan terakhir Keluarga Es. Pengendali es handal.
“Kenapa kau tidak cepat-cepat mencair? Dasar es batu!” teriak Pansa bernada mengejek.
Ngindi tersenyum kecil. Sebelah alisnya naik. “Kenapa harus mencair? Bahkan panasmupun tak terasa sama sekali!” jawab Ngindi tak mau kalah.
“Oh, yah! Akan kutunjukan caranya meleleh yang benar!”
Sekoyong-koyong tangan Pansa mengepal, dari situlah keluar kobaran api yang menjontai-jontai, makin membesar dari detik ke detik.
Pansa menyeringai culas. Ia berteriak garang. “TAMATLAH KAU!”
Tepat di akhir kalimatnya itu Pansa melemparkan api di tangannya, berusaha mengincar Ngindi.
Rupanya Ngindi sudah siap sejak tadi. Kaki kanannya menghentak keras ke depan. Sepersekian detik muncul benteng es yang tinggi menjulang.
BRAK!
PRANG!
CESS!
Beberapa bongkahan es pecah oleh bola api, tetapi masih bisa melindungi tubuh si Jawara bertahan.
“Api kecil tak akan bisa mengalahkanku, dasar bodoh!” cicitnya. Namun sial, Ngindi tersentak kaget. Lihatlah di depan sana. Ternyata Pansa sudah bersiap dengan lima bola api yang lebih besar di belakangnya.
Pansa tersenyum menyeringai. Lalu tertawa lepas.
“Terimalah kenyataan pahit ini! AAARRRGGGHHH!!!”
Tepat di ujung kalimatnya, Pansa melempar satu per satu bola api besar itu ke arah Ngindi.
Dengan segera Ngindi merapal mantra sembari memainkan jari-jari kedua tangannya.
“Zen! Zen!”
Entah bagaimana tiba-tiba muncullah lingkaran sihir di bawah Pansa. Lima bola api menghilang seketika.
Pansa bingung. Di depan sana Ngindi melanjutkan mantranya.
“Zeno! Quella!”
BRAK!
Seketika tubuh Pansa membeku. Keluar hawa dingin dari lingkaran sihir, yang membuat tubuh Pansa membeku.
Pansa masih sadar. Matanya terbuka di dalam es yang membeku. Tubuhnya tak bisa bergerak. Namun syukurlah tangan kanannya tidak ikut membeku. Pansa berpikir sejenak. Kedua belah matanya terpejam. Selanjutnya ia menjentikan jari tangan kanan yang tidak membeku itu, membuat tubuhnya memanas.
Perlahan sihir es itu pecah.
PRANG!
Pansa terbebas dari sana. Tidak ingin kalah lagi, ia mulai merapal mantra. Sebuah Mantra Kuno Negara Api.
“Berkobar
Menjuntai
Si Merah Liar
Hanguskan kenangan…”
Di depan sana, seakan tahu apa yang akan terjadi, Ngindi ikut merapal Mantra Rahasia Keluarga Es.
“Wahai, Roh Kutub
Kedinginan alami hanyalah milikmu
Datangkan…
Bekukan…
Jadikan semua, menjadi kenangan tak berarti…”
Secara serempak, mereka menyelesaikan mantranya.
“BANGKITLAH!!! ASMARA MUDA!!!”
“BANGKITLAH!!! ROH KUTUB MULIA!!!”
***
Mantra Kuno Negara Api adalah mantra pemanggil. Tidak sembarang orang bisa melakukannya. Perlu banyak latihan dan waktu yang tidak sebentar. Belum pantangan-pantangan yang harus dijauhi. Ini adalah mantra yang sulit digunakan. Ada banyak syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukannya.
Dulu, saat masih latihan dengan gurunya, Pansa adalah murid berbakat. Ia sering dipuji gurunya karena kepintaran dan kekuatan yang ia miliki. Setiap kali gurunya memberikan materi, Pansa selalu fokus mendengarkan. Mengabaikan semua yang ada di sekitar. Yang ia dengar, yang ia lihat, yang ada difokusnya hanyalah guru dan penjelasannya. Termasuk ketika gurunya memberikan pelajaran tentang Mantra Kuno Negara Api. Tak terlewat satu kata pun di telinga Pansa.
Namun setelah lulus, Pansa dengan semua ilmu dan kekuatan yang ia peroleh, bukannya menjadikannya seorang teladan, Pansa menjadi seorang brandal. Ia bertarung dengan semua orang yang ia pikir kuat. Kemuian mengalahkannya. Mencari lagi, bertarung lagi, menang lagi, begitu terus tiada henti. Hingga akhirnya ia merasa sombong. Ia berpikir sudah tak ada lagi makhluk yang bisa mengalahkannya.
Kemuian kabar itu terdengar. Sebuah kabar tentang duel perebutan gelar Jawara di pusat kota Akuteko. Pansa tersenyum, dengan kesombongannya membayangkan ia bisa mengalahkan semua peserta di sana. Ia pun berangkat ke pusat kota. Mengalahkan puluhan peserta hingga sampai di babak final, bertemu dengan seorang keturunan Keluarga Es. Nyatanya ia kewalahan. sekalipun menggunakan Mantra Kuno Negara Api.
Ah, ya, Pansa melupakan sesuatu. Satu syarat untuk menggunakan Mantra Kuno Negara Api.
BOOM!
DUK!
Di tribun para penonton kian ribut, bertepuk tangan, bersorak-sorai menyebut nama Ngindi.
Yah. Beberapa menit lalu. Setelah Ngindi selesai dengan mantranya. Munculah hawa dingin yang sangat menusuk tulang. Hawa dingin itu berkumpul di tengah-tengah ring. Membentuk sosok menjulang tinggi kesatria zirah yang terbuat dari es. Wajahnya ditutupi topeng dari es tebal. Dengan senjata mirip pedang besar di tangannya. Salju berguguran di sekitarnya sampai di tribun. Penonton menatap takjub. Inilah Mantra Rahasia Keluarga Es. Roh Kutub tepat berada di tengah-tengah mereka.
Beberapa detik kemudian Roh Kutub itu berteriak sembari mengangkat tinggi-tinggi pedang besarnya dengan kedua tangannya.
AARRGGHH!!!
BOOM!
DRAK!
Tepat pedang besar itu menyentuh tanah, Roh Kutub menghilang digantikan gunung es yang menjulang tinggi, menimbun Pansa.
Bagaimana dengan Pansa? Bagaimana dengan sihirnya? Itulah masalahnya. Sihir itu gagal. Tidak berhasil digunakan. Pansa melupakan satu syarat penting.
Pansa duduk lemas di antara guratan-guratan es yang dingin. Napasnya mengepul. Badannya terasa nyeri di mana-mana.
“Bagaimana mungkin? Sihirku tidak keluar?” pikir Pansa dalam hati.
“Kau sudah kalah, Pendekar Api.” Ujar Ngindi.
“Tak ada kesalahan dalam merapal, ini aneh, kenapa tidak ada yang keluar?” Pansa menunduk dalam-dalam.
Tiba-tiba semua suara-suara, sorakan-sorakan para penonton hilang, senyap.
“Ada apa, Pansa?”
Di tengah keterpurukan, suara itu datang, terdengar jelas di telinga Pansa. Pansa mengangkat kepalanya. Ia terkejut, itu adalah gurunya.
“Gu-guru…” Suara Pansa tercekat. “tapi, bagaimana bisa—“
“Kau pasti terkejut dengan kedatanganku. Tapi lupankanlah hal itu, ada yang lebih penting dari itu sekarang.” Guru itu mendekati Pansa. Memegang pundak Pansa.
“Bagaimana bisa murid terbaikku kalah oleh seorang Pengecut Pengendali Es? Ayolah jangan buat gurumu kecewa. Mana hasil belajarmu selama ini? Kau taruh di mana selama bertahun-tahun latihanmu?”
“A… Aku tidak bisa mengeluarkan Mantra Kuno, guru. Entah apa lagi yang harus kulakukan.”
Guru tersenyum lembut.
“Sepertinya kau melupakan satu syarat untuk menggunakan Mantra Kuno Negara Api. Coba kau ingat-ingat.”
Pansa berpikir sejenak. Mulai mengingat-ingat pelajaran yang pernah ia pelajari. Dan yah, ia melupakan sesuatu.
“Jangan-jangan…”
Guru tersenyum lagi, memperlihatkan kerutan-kerutan di wajahnya yang kian jelas.
“Untuk menggunakan Mantra Kuno Negara Api ada satu syarat yang harus dipenuhi….” Guru berhenti sejenak. “satu syarat yang sangat penting, yaitu kesucian hati. Hatimu harus bersih, tidak boleh ada iri dengki dan sombong. Aku tahu kau adalah pendekar api yang disegani. Tapi meskipun begitu, kita tetap tidak boleh sombong. Meskipun sudah tidak ada makhluk lain yang bisa menandingi kekuatan kita, tetap saja kita tidak boleh sombong sama sekali. Karena itu akan membuat hati kita kotor dan jika sudah kotor maka sulit untuk membersihkannya. Bukan mustahil, tapi butuh waktu lama untuk kembali bersih seperti semula.
“Dan karena itulah Mantra Kuno tak bisa kau gunakan. Kau mulai sombong setelah mendapatkan sedikit ilmu. Kau bertingkah seakan tak ada lagi makhluk yang bisa mengalahkanmu. Itu salah, muridku. Sangat salah sekali.
“Maka dari itu, sebelum semuanya terlambat, perbaikilah hatimu. Buang jauh sifat sombong itu. Memang sulit, tapi berusalah. Kau pasti bisa. Kau pasti bisa mengalahkan sifat sombong dan si Pengecut Pengendali Es itu. Karena kau murid terbaik yang pernah kumiliki.”
Guru tersenyum. Tangannya mengelus kepala Pansa. Perlahan menghilang.
Yah. Pansa belum kalah. Ia bangkit, berdiri, meregangkan otot-ototnya. Itulah alasan kenapa sihirnya gagal. Hati Pansa kotor oleh rasa sombong. Ia menarik napas perlahan, mencoba menghilangkan rasa sombong di dalam hatinya.
“Hei!” Pansa dengan suara lembut tidak membentak.
“Wahai Tuan Es yang baik hati. Izinkan saya, Si Pendekar yang lemah ini mengalahkan tuan.” Pansa tersenyum lembut. Bukan menyeringai. Tapi senyum ikhlas.
Di depan sana, Ngindi tidak mengerti apa-apa. Kenapa dia bisa sesantai itu?
“Berkobar
Menjuntai
Si Merah Liar
Hanguskan kenangan…”
Tubuh Pansa mulai dilapisi api merah menyala. Ngindi bersiap dengan segala kemungkinan. Ia menguatkan kuda-kudanya.
“BANGKITLAH!!! ASMARA MUDA!!!
***
Kemenangan milik si penantang.
Kejadian itu terjadi begitu cepat. Tepat setelah Mantra Kuno itu diucapkan, tubuh Pansa diselimuti api yang sangat besar. Seolah Pansa mengenakan zirah api. Pansa mulai menyerang Ngindi. Serangan pamungkas. Serangan terakhir. Pansa berkonsentrasi penuh. Pansa mendorong tangannya ke arah Ngindi. Muncul ombak api yang sangat besar, menyerang Ngindi.
Ngindi tak bisa apa-apa. Ia tak sempat menghindar, terkena serangan mematikan itu dalam sepersekian detik.
BOOM!
DUARRR!
Pertarungan final itu selesai di sini.
***
Penonton semakin bersorak-sorai. Mereka mendapatkan Jawara hari ini. Si penantang yang datang dari jauh. Sang Pendekar dari Negara Api.
“Selamat atas kemenanganmu.” Ngindi bangkit. Berjalan tertatih mendekati Pansa. Beberapa bagian tubuhnya terluka, nyeri di mana-mana. Tapi itu semua tidak membuatnya urung memberikan selamat. Ia menjulurkan tangan. “Kau memang pantas mendapatkan gelar Jawara.”
“Terima kasih.” Pansa pun sama. Mantra Kuno itu memberikan efek yang lumayan sakit. “Maaf karena telah menyebutmu es batu. Aku kalut dalam amarah kesombongan. Maaf juga karena telah membentakmu kasar, itu tidak baik. Tidak sopan. Aku terlalu berambisi mengalahkanmu…” Pansa berhenti. “Tapi kau tahu, benteng esmu itu, harus aku akui, memang sangat sulit untuk ditembus, kawan.” Pansa tersenyum.
Ngindi tersenyum.
Beberapa detik, mereka saling tatap, tersenyum. Pansa terkejut, Ngindi tiba-tiba memegang tangannya, mengangkatnya tinggi-tinggi.
“Kita sambut. Jawara baru kita, si Pendekar dari Negeri Api. Yah. Berikan tepuk tangan untuk PANSA!”
Teriakan penonton pecah. Tribun dipenuhi tepuk tangan dan sorak sorai para penonton. Satu dua bersiul, tertawa. Bahkan sampai ada yang menangis saking terharunya.
***