Teknologi memberikan kemudahan dalam lalu lintas informasi, mempercepat komunikasi, dan meningkatkan efisiensi di berbagai sektor. Inovasi dalam bidang kesehatan, seperti teknologi medis canggih, telah menyelamatkan nyawa dan meningkatkan kualitas hidup umat manusia. Oleh karena demikian, teknologi memiliki dampak positif bagi penggunanya, karena memudahkan mereka dalam keberlangsungan hidup. Hal ini selaras dengan prinsip agama yang mengharapkan kemudahan bagi umatnya. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah :
عَن أَبِي هُرَيرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنهُ, أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلّمَ قَالَ : إِنَّ الدِّينَ يُسْرٌ ، وَلَنْ يُشَادَّ الدِّينَ أَحَدٌ إِلاَّ غَلَبَهُ ، فَسَدِّدُوا وَقَارِبُوا وَأَبْشِرُوا وَاسْتَعِينُوا بِالْغَدْوَةِ وَالرَّوْحَةِ وَشَىْءٍمِنَ الدُّلْجَة (رواه البخاري : 39)
Artinya : “Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a.bahwa Rasulullah Saw.pernah bersabda:” Sesungguhnya agama itu mudah (ringan), siapa yang memperberat dirinya dalam beragama, maka dia tidak akan bisa melaksanakannya, karena itu amalkanlah agama sesuai tuntunannya, berusahalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Bergembiralah dengan pahala yang akan kau terima, dan kerjakanlah salat pada pagi hari, siang, dan penghujung malam.”
Namun, jika dibandingkan dengan dampak positif yang dihasilkan oleh teknologi, dampak negatif yang timbul darinya jauh lebih banyak. Salah satu di antaranya adalah smartphone. Ibaratnya air dan basah, smartphone tidak bisa dipisahkan dengan teknologi. Karena smartphone itu sendiri adalah salah satu bagian dari perkembangan teknologi. Pada zaman milenial sekarang, smartphone seolah-olah telah menjadi teman wajib semua orang. Di manapun kita berada, baik itu di jalan, di sekolah, stasiun, bahkan masjid sekalipun, ada saja orang-orang yang sedang mengoperasikannya. Komunikasi antar sesama akhir-akhir ini jarang terlihat. Orang-orang memilih mengelus-ngelus layar smartphone-nya dibandingkan mengobrol dengan orang di sampingnya. Bahkan saat bangun tidur, hal pertama yang dicari ialah smartphone alih-alih bergegas menyiapkan semua rencana untuk hari ini. Begitupun sebelum tidur, selalu hal yang terakhir ditatap adalah smartphone. Entah itu scroll tiktok, twiter, instagram, dan lain-lain.
Manunggaling kawula wi-fi, mungkin itulah istilah yang cocok dengan kondisi orang-orang pada saat ini. Kata-kata yang oleh penulis kutip dari salah satu buku filsafat memang benar adanya. Karena, orang-orang zaman sekarang seolah-olah telah ‘manunggaling’ atau bersatu dengan wi-fi. Lah kok wi-fi? Tadi kan ngebahas tentang smartphone? Tunggu, tunggu, ada jawabannya. Kalau tadi teknologi berkembang menjadi smartphone, maka smartphone pun memiliki ‘anak’ bernama internet yang dapat diakses menggunakan data seluler, wi-fi, atau hotspot (khusus bagi kaum gak modal).
Istilah manunggaling kawula wi-fi terinspirasi dari kisah syekh Siti Jenar yang memiliki ajaran tasawuf Jawa yaitu manunggaling kawula gusti. Salah satu ajaran kejawen ini bermakna menyatunya makhluk (kawula) dengan pencipta (gusti). “Tidak usah banyak tingkah, saya inilah tuhan. Ya, betul-betul saya ini adalah tuhan yang sebenarnya bergelar Prabu Satmata. Ketahuilah bahwa tidak ada bangsa tuhan yang lain selain saya. Saya ini mengajarkan ilmu untuk betul-betul dapat merasakan adanya kemanunggalan.” (Boekoe Siti Djenar, Tan Khoen Swie, halaman 18 ). Kurang lebih seperti itu ucapan Syekh Siti Jenar dalam salah satu versi. Intinya beliau berkeyakinan bahwa semua makhluk sejatinya menyatu atau satu wujud dengan Tuhan. Manunggaling kawula gusti merupakan ajaran makrifat tingkat tinggi, yang dapat membuat orang-orang awam salah pemahaman, sehingga para wali pada zaman itu memberikan hukuman kepada Syekh Siti Jenar dengan membunuhnya.
Begitu khawatirnya para wali saat itu terhadap ajaran yang dibawakan oleh Syekh Siti Jenar, meskipun belum tentu ajaran itu diikuti oleh semua orang sampai-sampai mereka menghukumnya. Bagaimana jika para wali dulu mengetahui realita zaman sekarang yang orang-orang (kawula) telah menyatu (manunggaling) dengan wi-fi, yang jika dibandingkan dengan pencipta (gusti) tidak ada apa-apanya? Kayanya udah dikutuk jadi kartu voucher Indosat deh. Hehe..
Karena smartphone pada zaman sekarang sudah sangat manunggaling, perlu sekiranya pembatasan penggunaan terhadapnya. Ini merupakan salah satu di antara riyadhah pada zaman milenial ini. Jika orang-orang dulu melakukan riyadhah di hutan-hutan, mengembara, menahan makan dan minum berhari-hari, semua itu demi melatih jiwa dari dorongan hawa nafsu. Dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, Imam Ghozali menerangkan definisi dari riyadhah :
وَالرِّيَاضَةُ عَلَى أَرْبَعِ أَوْجُهٍ القُوَّتِ مِنْ الطَّعَامِ وَاْلغَمْضِ مِنَ اْلمَنَامِ وَاْلحَاجَةِ مِنَ اْلكَلَامِ وَحَمْلِ اْلأَذَى مِنْ جَمِيْعِ اْلأَنَامِ فَيَتَوَلَّدُ مِنْ قِلَّةِ الطَّعَامِ مَوْتُ الشَّهَوَاتِ وَمِنْ قِلَّةِ اْلمَنَامِ صَفْوُ اْلإِرَادَاتِ وَمِنْ قِلَّةِ اْلكَلَاِم السَّلاَمَةُ مِنْ اْلآفَاتِ وَمِنَ احْتِمَالِ اْلأَذَى اْلبُلُوْغُ إِلَى اْلغَايَاتِ
Artinya :“Riyadhah ditempuh dengan empat jalan, yaitu (memenuhi) makanan pokok, memejamkan mata dari tidur, dan menelan pahit perilaku menyakitkan dari orang lain. Sedikit makan meredam gejolak syahwat. Sedikit minum dapat menyucikan kehendak dan pikiran. Sedikit bicara membawa keselamatan dari bencana dan kecelakaan. Menelan pahit perilaku menyakitkan dari orang lain (yang tidak masuk pidana) dapat menyampaikan kita pada tujuan-tujuan spiritual”
Tapi, jika dikaitkan dengan era saat ini, riyadhah yang paling utama adalah pembatasan penggunaan smartphone. Bukan tanpa alasan kita membatasi diri dari hal itu. Karena dalam smartphone itu sendiri banyak hal-hal negatif yang ditimbulkan. Seperti adanya berita-berita hoax, ujaran kebencian, konten-konten mengadu domba, dan banyak lagi unsur-unsur yang unfaedah.
Tapi kan, zaman sudah berkembang, masa mau ketinggalan zaman, sih?
Loh..loh..loh.. nanti dulu, sini ngopi bareng..
Pembatasan bukan berarti pelarangan dalam penggunaan. Tapi, pembatasan waktu penggunaan. Seperti anak-anak. Mereka harus dapat mengatur kapan waktunya belajar, kapan waktunya bermain smartphone. Dalam hidup berumah tangga juga, antara suami-istri harus bisa saling mengerti, kapan waktunya scroll instagram, kapan waktunya saling tukar cerita sambil saling menggenggam tangan. Pun dalam proses kegiatan belajar mengajar, interaksi antara murid dan guru harus terjalin. Karena banyak di zaman sekarang, guru yang terlalu fokus bermain smartphone, dan membiarkan murid-muridnya bermain-main. Kalau boleh bertanya, emang dunia akan langsung kiamat ya kalau kamu gak bermain smartphone sejenak? Sekedar mengajar satu-dua pelajaran saja?
Untuk itu, sikap kita terhadap smartphone di zaman sekarang adalah dengan membatasinya. Sedikit demi sedikit cobalah kita riyadhah untuk tidak terlalu manunggaling terhadapnya. Carilah kegiatan yang lebih produktif guna mengisi waktu senggang. Seperti membaca buku, menulis, membantu orang tua, belajar, dan lain sebagainya. Latihlah mulai dari sekarang, serta contohkan kepada anak cucu kita, para penerus bangsa ini untuk tidak menganggap bahwa smartphone itu segalanya. Dia hanya berguna untuk membantu sedikit dari kehidupan kita.
Sekian dan Terimakasih.
Semoga hari-hari kita senantiasa diisi dengah hal-hal yang produktif.