Selama kita hidup, seringkali kita dihadapkan dengan berbagai macam problem, baik yang terjadi pada diri kita ataupun orang lain. Contoh yang terjadi pada diri kita, semisal kita sedang belajar, setiap hari kita belajar, mencoba terus mengulang, tapi kita seringkali merasa susah mengerti pelajaran tersebut. Dan ketika kita dalam keadaan tidak punya, bahkan mungkin kita selalu terjerumus melakukan berbagai macam dosa. Bertahun-tahun lamanya problem itu seolah mengganggu diri kita yang kemudian menjadi sebab kita putus asa.
Tidak hanya problem, kita juga terkadang lupa dan lalai, ketika kita dihadapkan dengan berbagai macam nikmat yang Allah berikan kepada kita, seperti kecerdasan otak atau kelapangan rezeki. Bahkan mungkin kita selalu diberi taufiq oleh Allah untuk selalu melaksanakan segala bentuk ketaatan kepada Allah dan tidak melakukan hal-hal yang dilarang. Terkadang semua itu membuat kita terlena, sehingga kita lupa untuk bersyukur dan terus berharap agar tetap di jalan-Nya.
Di sisi lain, karena kita makhluk sosial, mau tidak mau hidup bersama orang lain adalah hal yang pasti. Ketika kita melihat orang lain, dari sisi problem misalnya, tidak jarang kita berspekulasi bahwa orang itu tidak akan lepas dari problemnya. Problem tersebut bentuknya macam-macam, bisa dari segi finansial, kecerdasan, atau bahkan nasib orang di sekeliling kita yang tidak sama dengan kita. Seolah mereka yang sedang dalam posisi itu memang sudah ditakdirkan demikian dan mereka tidak akan keluar dari takdir itu.
Mengutip dari dawuh Gus Baha, beliau menyampaikan, “Kita harus yakin seyakin-yakinnya, bahwa semua kemungkinan itu mungkin”. Beliau juga menerangkan bahwa takdir tidak bisa diubah itu bagi kita, sedangkan bagi Allah bisa. Beliau mengutip dalil yang ada dalam Al-Qur’an surah Ar-Ra’du ayat 39:
يمحو الله ما يشاء ويثبت
“Allah akan menghapus apapun yang Dia kehendaki dan menetapkanya”
Banyak tafsiran mengenai ayat ini, salah satunya dari Imam Ibnu Abbas. Menurut beliau bahwa ada beberapa hal yang terkecualikan dari objek ayat ini, yakni jenis kelamin, bentuk tubuh, rezeki, jatah umur, bahagia dan celaka. Dalam Hadits Nabi juga disebutkan bahwa Allah itu menghapus dan menetapkan sesuatu yang Dia kehendaki kecuali الشقاوة celaka atau ketidak beruntungan dan السعادة kebahagiaan atau keberuntungan.
Dalam Tafsir Baghowi, Imam Sa’id bin Jubair berpendapat bahwa يمحو الله ما يشاء itu Allah melebur dosa kita dengan bentuk ampunan kepada kita dan ويثبت itu Allah menetapkan dosa yang Dia kehendaki lantas tidak Dia ampuni. Begitupun dengan pendapat Imam Ikrimah, beliau menyampaikan bahwa Allah melebur dosa-dosa kita dengan cara memberi taufiq kepada kita kemudian kita bertaubat, dan menetapkan kebaikan-kebaikan sebagai bentuk pengganti untuk kita dari dosa-dosa yang telah kita lakukan lantas ditaubati tersebut. Penjelasan ini sesuai dalam surah Al-Furqon ayat 70:
فأولئك يبدل الله سيئاتهم حسنات
yang artinya “Bahwa mereka yang Allah gantikan kesalahan kesalahannya dengan kebaikan-kebaikan” Dalam artian ketika kita berbuat salah lantas bertaubat dan kita menyesali apa yang kita perbuat maka dosa-dosa kita akan Allah ganti dengan kebaikan-kebaikan.
Namun, menurut Imam al-Qurthubi ayat ini tidak bisa dibatasi dengan pendapat atau ijtihad, melainkan harus dimauqufkan atau dikaji ulang. Yang mana ayat ini tidak dibatasi oleh sesuatu apapun dalam artian berlaku untuk semua hal, baik rezeki, umur, ataupun lainnya yang sudah disebutkan di atas. Imam Qurtubi juga mengutip doa sayyidina Umar:
اللهم إن كنت كتبتني في السعداء فأثبتني فيهم وإن كنت كتبتني في الأشقياء فامحني من الأشقياء واكتبني في السعداء فإنك تمحو ما تشاء وتثبت وعندك أم الكتاب
“Ya Allah, kalau memang Engkau tulis diriku masuk dalam bagian orang-orang yang beruntung maka tetapkanlah aku dengan mereka. Dan jikalau Engkau tulis diriku termasuk dari golongan orang-orang yang celaka maka hapuslah diriku dalam daftar itu dan masukkanlah aku kedalam golongan orang-orang yang beruntung, karena Engkau Maha menghapus dan menetapkan segala sesuatu yang Engkau kehendaki”.
Dari doa Sayyidina Umar kita bisa mengambil benang merah bahwa memang kuasa itu milik Allah, dan Allah Maha Kuasa untuk menentukan segalanya. Banyak juga kita temukan di beberapa kutipan hadits keterangan yang berbunyi “Barang siapa yang ingin Allah panjangkan umurnya dan lapangkan rezekinya, hendaklah ia untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dan menyambung silaturrahmi”. Hadits seperti ini dan semacamnya yang masih banyak lagi seolah memberi bocoran bahwa untuk mengubah takdir ajal kita, kita harus melakukan hal tertentu, dan itu sah juga di jadikan dasar bahwa Allah Maha kuasa untuk menambahkan jatah umur dan rezeki kita.
Lantas apa korelasinya dengan prolog di atas?
Jadi begini, terkadang kita itu terlalu fanatik, sedangkan fanatik kita ini kebanyakan fanatisme yang tidak baik, sehingga kita mudah untuk menjustifikasi, baik terhadap sesuatu yang ada pada diri kita ataupun orang lain. Seolah apa yang terjadi pada diri kita ataupun orang lain itu selamanya ada, padahal kita tidak tahu ke depanya.
Sama halnya dengan problem yang saya ceritakan diatas, baik yang dialami kita sendiri ataupun orang lain, kita tidak pernah tahu nasib ke depan dari semua problem itu. Bisa jadi kita yang sedang baik baik saja, kelak berada dalam posisi mereka yang di bawah. Begitupun sebaliknya, mungkin pula kita yang tadinya tidak bisa apa-apa kelak menjadi serba bisa. Begitupun orang lain yang mungkin sekarang menjadi teman atau bahkan murid kita, kita tidak tahu ke depannya seperti apa.
Banyak sekali cerita yang masyhur kita dengar, seperti cerita Wahsyi yang menombak paman tercinta Baginda Nabi kemudian dapat hidayah dan akhirnya masuk Islam. Begitupun dengan cerita Syekh Barsiso yang ilmunya sudah mencapai haqiqat dan tapi berakhir su’ul khotimah. Qorun seorang kaya raya pada zamanya yang kemudian berakhir binasa. Nabi Yusuf yang dibuang ke dalam sumur dan diperjual belikan sebagai budak berakhir menjadi pemimpin yang kaya raya, dan masih banyak lagi. Semua itu pasti diluar dugaan mereka, dan Allah Maha Kuasa untuk merubahnya. Begitupun dengan hidup kita, kita tidak boleh putus asa maupun jumawa. Jangan pula mudah men-judge orang lain, karena semuanya mungkin terjadi. Rasa optimis dan husnudzon harus selalu kita latih agar kita tidak mudah putus asa dan tidak mudah berburuk sangka. Harap-harap cemas juga harus selalu kita pegang, karena dengan itu kita menjadi tahu akan batasan kita sebagai makhluk dan Allah sebagai Tuhan.
Wallahu a’lam bisshowab…