TEROR SAMPAH YANG MENGERIKAN

Oleh : Faris Naufal Baydar

            Di sebuah belantara yang jauh dari kota. Di dalam rawa yang becek, kotor dan basah. Di mana-mana hanyalah sampah yang menjadi tatapan. Pun sungainya, kiruh, hijau tak terawat. Airnya terlihat menggelembung. Seakan-akan ada yang ingin keluar dari sana.

            BLUBUK! BLUBUK!

            BYUUR!

            Beberapa detik, sosok itu terlihat. Sosok mengerikan. Sosok menyeramkan dan menakutkan. Yah. Itu adalah penghuni rawa basah ini. Penghuni yang akan menebar teror hingga ke kota. Membuat takut para penduduk. Ia adalah mimpi buruk bagi semua orang. Percayalah.

ooo

            “Aduuuh…” keluh Bara. “bagaimana mungkin? Lihatlah! Di sini juga ada sampah! Aku tidak habis pikir kepada semua orang, tidak di rumah, jalan-jalan kota, hutan belantara, bahkan di sini, di sekolah. Selalu saja ada sampah.”

            Aku mengangguk, setuju. “Ini belum seberapa, Bara. Di desaku bahkan tidak ada yang namanya tong sampah pinggir jalan. Makanya penduduk buang sampah, yah… seadanya, sembarangan. Dia ada di situ, yah … dia buang sampah di situ juga.”

            Namaku Ari. Di sini, semua orang pasti, setidaknya, memiliki satu ‘keistimewaan’ dari mereka lahir. Yah … Kekuatan supranatural. Tidak, ini bukan kekuatan alam ghoib seperti yang kalian kira. Ini lebih seperti bakat dari lahir. Misal saja, aku dari kecil bisa mengendalikan air, maka itulah keistimewaanku, kekuatanku, ‘Si Pengendali Air’.

            “Sungguh liar akal manusia. Tak tahu hormat, tak tahu dikata. Bahkan alam pun dirusak tak ada keseganan,” ujar Kerta. Dia memiliki kekuatan ‘Keindahan Kata’. Setiap kata yang diungkapkan biasanya sulit dipahami dan terkadang memang tak ada kaitannya sama sekali.

            “Maksudku, di mana letak kesadaran mereka. Ingat! Kita, manusia seorang makhluk yang hanya numpang di bumi ini. Tak ada hak untuk mengotori, apalagi sampai membuang sampah sembarangan, bukan pada tempatnya.” Lanjut Bara. Sedangkan Bara, wanita yang selalu semangat setiap saat, ia memiliki kekuatan ‘Berkobar, Api Membakar’.

            DONG!

            Di tengah perbincangan, di ambang pintu, terdengar suara besi beradu. Kami terkejut. Kompak kami menoleh ke asal suara. Lengang beberapa saat. Lalu tertawa.

            “Aduh ….” Itu adalah Gena. Dia gadis dengan kekuatan ‘Magnetik Dua Kutub’. Maka pantas saja, jika suara besi yang beradu tadi adalah suara aduan antara gentong panci dan kepala Gena.

            “Kamu tidak apa-apa, Gena?” Tanya Bara.

            “Dari rumah aku terus dikejar-kejar oleh gentong panci sialan ini. Sampai berlarian dikejar-kejar. Tapi untung saja yang mengejar adalah gentong panci, bukan kenangan yang sulit dilupakan bersama orang yang dicintai.” Ujar Gena, mengusap kepalanya.

            Terkejut. Bara terkejut ketika melihat ke luar jendela. Di luar, terlihat seorang pemuda yang dengan santainya minum teh kalengan sambil berdiri. Dan parahnya lagi, saat habis, kaleng minuman itu dibuang sembarangan. Tidak tinggal diam. Tubuh Bara keluar setengah dari jendela.

            “HEI!!! Kau yang di sana! Apa yang kau lakukan, heh! Membuang sampah sembarangan? Berapa umurmu? Sudah tinggal matinya saja, membuang sampah masih seenak jidat. Nih… Biar ku ajarkan cara membuang sampah yang benar! Pertama angkat tinggi-tinggi kaleng tehmu. Nih, seperti ini. Kemudian masukan ke dalam tong sampah!”

            PLUK!

            Bara mencontohkan dengan kasar. Banyak penekanan-penekanan dalam kalimatnya. Sehingga membuat takut si pemuda.

            “PAHAM?!” Lanjut Bara.

            Pemuda itu cepat-cepat mengangguk, ketakutan. Langsung pergi, meninggalkan Bara yang terus melihatnya sinis hingga kelokan jalan.

            “Lihat!” Lanjut Bara masuk ke dalam. “Di depan mata, tanpa malu, melemparkannya begitu saja. Aduh… Bagaimana nasib bangsa ini di dua puluh tahun ke depan, jika isinya adalah  orang-orang yang seperti ini? Yang bisanya hanya membuang sampah sembarangan?”

            BOOM!!!

            Di tengah perbincangan, terdengar ledakan besar dari kota. Kami melihat ke luar jendela. Asap hitam membungbung tinggi. Pekat. Mengerikan.

            Kami saling tatap. Beberapa detik. Mengangguk. Kami adalah tim. Satu pemikiran. Kami tahu apa yang harus kami lakukan sekarang. Kami bersiap. Menuju tempat terjadinya ledakan.

            Di tengah perjalanan.

            “Astaga! Demi kehangatan senja! Makhluk apa itu!” Kerta yang berlari paling depan berhenti. Terkejut dengan apa yang dia lihat.

            “Jangan berhenti, Kerta!” Bara menyemangati.

            “Eh… Teman-teman, kalian harus melihat ini.” Gena menghentikan langkahnya.

            Dan lihatlah. Dari jarak delapan kilometer, terlihat sebuah sosok. Sosok mengerikan. Tubuhnya tak berbentuk solid. Seperti buntalan besar tak teratur. Dengan lima tangan yang bergerak ganas, memukul membabi buta. Menghantam gedung-gedung di sekitarnya.

            Para penduduk berlarian menyelamatkan diri. Panik. Tidak ingat teman, saudara bahkan pasangan. Mereka berlari ke tempat yang dianggap aman. Berseliwuran tak teratur. Yang penting aku selamat, yang lain bisa cari lagi atau sama-sama selamat, itu lebih baik.

            “Itu adalah Monster Rawa Basah.” Ujar Bara. Intonasinya serius.

            Kami terdiam beberapa saat.

            “Kita harus menyelamatkan mereka!” Ujar Bara, kembali membara.

            “Tunggu, Bara! Kita harus menyusun rencana dul…” Terlambat. Bara sudah melompat. Masuk ke medan pertarungan.

            Dengan masih di udara, Bara mengepalkan tangannya. Keluar kobaran api dari sana. Kekuatan ‘Bekobar, Api Membakar’nya keluar. Api di tangannya membesar. Bara melemparkan apinya ke arah Monster Rawa Basah.

            WUSH!

            AARRGGHH!!!

            Monster itu meraung, kesakitan.

            Bara mendarat, setelah melemparkan api. Monster itu marah. Semakin membabi buta serangan. Salah satunya mengenai Bara.

            DUK!

            Bara terlempar keras, sangat jauh. Berhenti setelah tubuhnya mengenai bangunan kota yang separuh hancur.

            “Kita harus membantu Bara!” Kataku.

            Kerta dan Gena mengangguk.

            Kami adalah tim. Satu pemikiran. Ketika ada satu yang susah, maka yang lain akan membantu. Lagipula ini adalah tugas kelompok. Sesuatu akan lebih mudah ketika dikerjakan secara berkelompok. Tugas kelompok lebih cepat selesai ketimbang tugas individu. Maksudku, ayolah. Kalian bahkan mengerjakan tugas individu secara berkelompok, bukan? Menyontek?

            Tugasnya jelas. Aku dan Bara sebagai penyerang utama. Gena bertugas melindungi kami berdua dari belakang. Dan Kerta, karena suaranya nyaring, bertugas menjadi pengalih perhatian. Ia akan membacakan puisi dengan suara lantang, itu efektif sebagai pengalih perhatian.

            “Puisi ini berjudul Asmara, Rasa dan Monster Rawa.

            Duhai…

            Bukan kekalahan yang menanti

            Bara sudah berdiri. Kembali menyerang Monster Rawa. Mengepalkan tangan. Keluar kobaran api yang lebih besar. Memukulkannya.

            Monster tak sempat menghindar. Pukulan itu telak mengenai Monster Rawa Basah, membuatnya terpelanting setengah langkah.

            “Rasa itu

            Sore itu

            Terlihat benih-benih cinta diantara kita”

            Monster semakin marah. Kelima tangannya menyatu, menjadi satu tangan yang sangat besar. Memukul ke arah Bara.

            “OMBAK SEJUTA RASA!” Aku tidak tinggal diam. Segera ku tumbuk monster itu dengan ombak kencang.

            Sialan. Monster itu menghindar dengan cepat. Melanjutkan pukulannya. Memukul aku dan Bara bersamaan. Pukulan yang kuat. Kami terbanting jauh sekali.

            “HEI!!!

            Apa yang kau lakukan Romeo

            Dengan tega, kau hancurkan perasaan”

            Karena puisi tadi, Monster Rawa Basah merasa pusing, menghentikan serangannya.

            “AAARRRGGGHHH!!!”     

Kesempatan emas. Dari arah sana. Gena berteriak lantang. Mengumpulkan semua kekuatan ke tangan kanannya. Kekuatan ‘Magnetik Dua Kutub’ membuat barang-barang magnetik di sekitar mendekat, melekat, membuat suatu formasi mengerikan. Yah… Gena membuat Tangan Magnetik. Tangan besar yang terbuat dari barang-barang magnetik. Dengan segera memukulkannya ke arah Monster Rawa Basah yang akhirnya terpelanting satu meter.

Kesempatan emas kedua. Dengan lengahnya si Monster, aku dan Bara bisa mempersiapkan serangan pamungkas. Kami besiap-siap. Melompat menyerang bersamaan.

“PUKULAN PANAS ASMARA!!!”

“AIR MATA NAGA MASA LALU!!!”

Monster terpelanting jauh. Menabrak beberapa bangunan kota, membuatnya berlubang.

“Yah…

Inilah akhir

Aku dapat cinta

Monster kehilangan nyawa”

ooo

Setelah ditelusuri para ahli. Diketahui Monster itu berasal dari hutan belantara yang jauh dari kota. Sebuah rawa yang becek, kotor dan basah. Kami berempat dan para penduduk, di lain hari, pergi mengunjungi rawa kotor itu.

”Yah, kita harus mulai bersih-bersih sekarang.” Bara tersenyum.

Kerta dan Gena cemberut.

”Ada apa dengan kalian berdua?” tanyaku.

“Pagi-pagi begini, meneleponku, aku langsung bangun dengan semangat karena ku kira akan dikenalkan dengan lelaki tampan dari kota. Eh … Ternyata disuruh bersih-bersih sampah di rawa-rawa. Dasar,” jawab Gena. Gadis itu kembali cemberut.

“Kukira panggilan ini sebuah panggilan lomba teaterikal puisi drama. Ternyata disuruh bekerja. Memunguti sampah pula. Wahai. Kembalikan asrinya pagi padaku…” Jawab Kerta.

Aku, Bara dan penduduk kota tertawa.

“Sudah, sudah. Mari kita sama-sama membersihkan rawa ini. Karena sampah yang berserakan tak keruan, akhirnya monsterpun keluar. Daripada hal itu terjadi lagi, lebih baik kita bersihkan sekalian rawa ini. Jaga keasriannya seperti dulu. Supaya tak ada yang tersakiti. Dan tak ada monster yang keluar lagi,” ujar Bara.

“Eh. Wahai. Kau melupakan sesuatu yang penting,” ujar Kerta. “jikalau hanya memunguti sampah, pasti jemu akan terasa. Daripada begitu, biarkan aku bersaran. Berpetuah. Bagaimana kalau di tengah-tengah memunguti, izinkan hamba melontarkan lembut sebuah puisi.” Kerta tersenyum. “Dengan senang hati. Akan hamba turuti.” Kerta membungkuk.

“Jangan! Kalau Kerta membacakan puisi, bukan memunguti sampah yang ada. Malah nanti aku dan para penduduk akan bingung, melongo, tidak mengerti apa yang kau katakan.”

Kami semua tertawa.  

{{ reviewsTotal }} Review
{{ reviewsTotal }} Reviews
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...
الحرمة خير من الطاعة
Di manapun dan dengan siapapun kita hidup pasti ada yang naman...
Perempuan dalam Sistem Pendidika...
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang agamis dan juga...

Hubungi kami di : +62851-5934-8922

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon