“Bagaimana kabar kalian?” sapanya ramah. Kami menjawab bahwa kabar kami baik dan meminta maaf karena tidak mengenali wajahnya. Meski begitu, kami senang melihat Kang Adam pulang kampung setelah 4 tahun lamanya beliau merantau. Kang Adam tersenyum lalu duduk di bibir pos ronda dan mengambil satu perangkat peralatan makan.
Kang Adam menawarkan diri ikut membantu kami melaksanakan tugas kami. Kuperhatikan wajahnya telah berubah. Kini wajah 4 tahun lalu itu telah terbentuk sifat dan sikap dewasa. Dahunya mulai ditumbuhi jambang. Guratan otot di wajahnya pun menonjol, menampakkan usia dewasa yang matang.
Kami mengiyakan tawarannya dan malam itu pekerjaan kami tidak terlalu membosankan sebab ada Kang Adam yang tak berhenti bercerita. Mulanya kami bertanya tentang kedatangannya, menceritakan sekolah kami, ngobrol ngalor-ngidul, bercanda, dan lama-lama beliau ceritakan sendiri kehidupannya di rantau.
“Lama sekali, Kang? Betah rupanya di rantau?” ujar Amir.
Kang Adam tersenyum.
“Kota itu isinya orang-orang awam. 4 tahun lalu Kang Adam temui tak ada yang pandai mengaji. Mengaji pun masih terbata-bata,” kenangnya. “Karena itu sulit sekali rasanya meninggalkan barang sejenak.”
“Apakah 17 agustusan di sana ramai, Kang?” tanyaku.
“Ramai sekali. Ada pawai, ada karnaval dan festival. Ada lomba goes sepeda juga, jawabnya riang.
Kami terpana. Membayangkan sepeda-sepeda modern seperti yang kami lihat di android bekas Bang Idman dengan helm anti cederanya itu. Pasti keren sekali.
“Tapi, ya, itu, lingkungan mereka merdeka, tapi pemahaman mereka tentang pentingnya agama telah dijajah oleh kemerdekaan kemodernan itu.”
“Aih, tinggi sekali bahasa Kang Adam ini. Kami tidak mengerti maksudnya,” kata Syafar protes.
“Mereka orang-orang kaya modern tapi minim soal agama, begitu, kan, Kang, maksudnya?” jelas Usman menerjemahkan maksud ucapan Kang Adam.
Baca Juga :
DI MANA HILANGNYA BENDERA USANG DESA KAMI?
Cinta di Dalam Gelas; Perempuan, Kopi dan Catur
Kang Adam mengangguk, tersenyum. “Kalian pun, meski jaman sudah modern, agama itu tetap penting. Ingat itu, ya. Dan hati-hati soal peradaban yang semakin meminggirkan peran agama,” pungkas Kang Adam menutup percakapan malam itu.
Selama dua hari itu Kang Adam menemani kami. Dia selalu menasihati kami dan berbicara dengan kata-kata yang cukup dalam tapi bisa sedikit kami pahami maksudnya.
“Sekolah yang tinggi. Kalau boleh pergi ke pesantren. Belajar agama dengan serius. Pahami maksud al-Qur’an dan Hadits untuk menebar amar ma’ruf. Itu, kan perintah Nabi? Tholabul Ilmi agar tidak jahiliyah sembari meluruskan akhlak?” katanya sambil tangannya mengikatkan tali pada paku untuk lomba memasukan paku ke dalam botol. “Orang-orang di jaman ini beragam. Tapi kita bisa menyeragamkan mereka dalam perbedaan, yakni sikap saling toleransi karena kita saudara senegara atau Ukhuwah Wathaniyah. Kita, ini, kan Bhineka Tunggal Ika, betul? Negara yang kaya akan suku, bangsa, dan budaya?” ujarnya menggebu. Membuat kami terperangah akan susunan kata-katanya yang menurutku memang mengagumkan.
Satu hari menjelang kemerdekaan aku dan keenam temanku mendapat tugas terakhir, yaitu mengecek ulang semua persiapan untuk upacara dan perlombaan besok. Kedua kegiatan itu dilakukan di tempat yang sama; lapangan desa. Maka malam itu kami berkeliling lapangan mengecek kebutuhan upacara dan lomba. Kami bersama Kang Idman dan delapan panitia lainnya.
“Aku rasa ada yang berubah dari Kang Adam ini,” seseorang membuka percakapan. Tempat kami mengecek persiapan cukup berjauhan tapi percakapannya masih bisa kudengar. Dari keremangan aku tahu yang berbicara itu Kang Syamsiar.
“Ucapannya itu, kupikir agak sedikit menggangguku.”
“Mengganggu bagaimana?” Kang Idman menanggapi.
“Katanya, semoga desa selalu istikomah menerapkan praktik keagamaan dan terbebas dari perilaku-perilaku thagut. Syukur-syukur bisa kembali pada fitrahnya, yakni yang beragama secara normal seperti pada masa Nabi.”
“Apa maksud ucapannya itu?”
“Entahlah. Tapi aku teringat satu hal, tentang orang-orang yang ingin mendirikan negara khilafah itu,” ucapnya ragu tapi serius.
“Maksudmu, Kang Adam saat di rantau terkena doktrin pemikiran orang-orang itu, begitu?”
Kang Syamsiar terdiam. Dia tidak bisa memberi jawaban pasti. Matanya menatap temannya satu-satu. Lalu melanjutkan ceritanya, “Saat itu kutanya, apa maksud Kang Adam tentang istikomah itu? Katanya, ‘Ya, lihat saja, tidak ada penerus sealim Ki Mujahidin yang memimpin jamaah sedemikian welas dan apiknya. Atau minimal seperti Wak Tariman, pemuka agama kita yang wafat 5 tahun lalu. Orang-orang kita malah belum ada yang seperti beliau, bahkan para sesepuh pun lebih memilih berkiprah di ranah politik, di balai desa. Kita lihat, kan, karena kesibukan itu orang-orang jadi malas ke masjid. Masjid semakin sepi. Orang-orang saling tunjuk untuk masalah imam shalat saja.’ Begitu katanya.”
“Lalu kau tanya tidak, kenapa tidak dia saja yang menjadi penerus?”
“Katanya dia masih belajar di kota itu, katanya karena dia di sana dikenal sebagai ustadz jadi dia bisa bertemu orang-orang alim dan Kiai. Karena itulah dia ingin memperbanyak ilmu dulu. Selain itu dia merasa masih muda. Katanya lebih baik mendahulukan yang tua dulu sebab ajakan orang tua lebih dituruti karena orang-orang cenderung masih mengutamakan usia.”
“Mungkin itu alasannya saja,” celetuk pemuda lain.
“Atau…jangan-jangan benar kalau Kang Adam inilah pelaku pencurian bendera lantaran menganggap desa kita taghut, hal itu karena dia bermaksud ingin mendirikan negara khilafah, sehingga menganggap bendera kita itu perbuatan menyimpang?”
Seketika semua orang terdiam. Kami yang tadi berkeliling lapangan pun entah sejak kapan sudah disekeliling teman-teman Kang Idman. Tapi, ucapan terakhir itu berbarengan dengan sebuah suara. Tak begitu jelas itu suara apa. Dalam beberapa saat semua orang terdiam. Dan saat itulah, di kejauhan kami melihat seseorang mengendap-endap hendak menuju tiang bendera yang jaraknya dekat dengan pepohonan rimbun. Aku hendak berteriak namun salah seorang di antara kami keburu menyuruh diam. Sepertinya orang itu mendengar perintah diam itu dan telah sadar jika kami memperhatikannya, dia langsung berlari dalam kegelapan.
“Hantuuu!”
Aku tahu siapa yang berteriak itu. Itu suara Azma. Lengkingannya berhasil membuat kami semua lari pontang-panting.
“AAAAAA!!!”
Kami semua berhamburan ke segala penjuru arah.
“STOP!” Tiba-tiba Kang Idman berteriak meminta kami berhenti berlari. Tapi dari kami tak ada yang berhenti.
“SETOOOP!!!” kini suaranya lebih menggelegar.
Kami semua berhenti. Seketika kami menyadari sesuatu. Lalu merutuki kebodohan kami.
Bagaimana tidak? bukannya berlari pergi dari lapangan, kami malah berlari bolak-balik mengitari lapangan. Pantas saja dari tadi kepanikan kami meningkat sebab merasa masih di lapangan.
“Itu bukan hantu. Itu orang. Lihat. Dia lari. Kakinya napak!” Kang Idman menunjuk jejak telapak sandal seseorang di balik pohon randu.
Secepatnya Kang Idman berlari mengejar orang itu dengan mengikuti jejak sandal. Melihatnya, kami semua pun ikut mengejar.
“WOY! BERHENTI!!!”
Kami menejar orang itu sampai belakang masjid hingga jalan menuju pemakaman. Aku berlari paling belakang dan saat berhasil mengejar mereka, orang itu sudah tertangkap. Namun aku terperangah saat melihat orang itu.
“Kang Adam?” pekikku kaget.
Kang Adam langsung diadili. Dia dibawa ke rumah Pak Rt. Kami mengelilinginya di beranda rumah itu. Di sana ada Pak Rt, Wak Idhar imam masjid, Pak Mustam sekretraris desa, Mang Utomo bendahara desa, dan Pak Amrun guru madrasah kami.
“Bukan saya orangnya, Pak!” ucap Kang Adam sungguh-sungguh.
“Lalu kenapa kamu mengendap-endap di lapangan itu, Dam?” tanya Pak Rt.
“Saya di sana pun mengejar seseorang, Pak. Seseorang yang mungkin patut kalian curigai.”
“Apa maksudmu dicurigai?” tanya Wak Idhar.
“Tunggu, Dam. Kudengar orang-orang desa membicarakanmu karena ucapan-ucapanmu itu. Kudengar kata Syamsiar kau berbicara soal desa kita seperti desa thagut?” todong Pak Rt.
“Ya, aku mendapat pencerahan di kota bahwa memang zaman sekarang ini orang-orang menjadikan agama sebagai bahan politik, imbasnya adalah, ya, kekeramatan itu, dan desaku telah terjangkit hal itu,” ujar Kang Adam. Saat berbicara begitu, entah mengapa aku melihat tatapan ganjil di matanya, yang ditujukan kepada Pak Rt.
“Apa maksudmu?” tanya Pak Amrun meminta penjelasan.
“Kita telah menyaksikannya. Warga mempercayai bendera itu, yang padahal iktikadnya baik, supaya Hubbul Wathon, malah dicuri, tujuannya apa kalau bukan untuk sebuah kepentingan? Seharusnya bendera itu terang-terangan saja diperlakukan sebagaimana adanya, sebuah bendera, warga semua seharusnya tidak disembunyikan terkait sejarah bendera itu, tidak papa ditahlili, tapi, ya kalau sangat dirahasiakan orang-orang malah menganggapnya sakti, akhirnya dicuri, dijadikan benda sakti. Kita tidak tahu reaksi orang luar soal bendera peninggalan ini, maka dari itu seharusnya sejak awal kita bersikap sewajarnya saja, bukan terhadap bendera itu? Tidak papa diazimatkan tapi jangan sampai menimbulkan mitos-mitos yang membuat polemik.”
“Maksudmu apa polemik itu?”
Kang Adam tak menjawab.
“Jangan-jangan kau lagi yang mencurinya!” tuduh Pak Amrun.
“Bukan saya, Pak. Saya bersumpah. Tapi, sepertinya saya tahu orangnya!” sergahnya.
Orang-orang itu saling bersitatap. “Siapa?”
“Saya tak yakin, tapi, coba telusuri salah seorang putra Wak Bin.”
“Wak Bin marbot masjid?” tanya Mang Utomo.
Orang-orang itu saling berpandangan.
“Putra Pak Bin marbot masjid itu bukannya si Waridin? Yang katanya sudah berkeluarga di rantauan itu? Sudah 14 tahun, kan tidak pulang?” tanya Pak Rt.
“Mengada-ngada, kau! Bahkan si Waridin itu sudah pindah kependudukan,” sanggah Mang Utomo.
Kang Adam terdiam. Mungkin dia kesal. Mungkin juga putus asa.
“Kang Adam, katakan saja yang sebenarnya tentang negara khilafah itu? Apakah benar Kang Adam sudah terkena doktrin itu?” Kang Syamsiar akhirnya buka suara.
Kang Adam terperanjat. Wajahnya memerah tak terima, “Hati-hati kalau bicara, Syam, itu bisa jadi fitnah!”
“Lalu apa maksudmu soal beragama secara normal?” tanya Pak Amrun.
Sepertinya Kang Adam lelah menjelaskan. Dia menarik nafas dengan kasar, “Ya, normal, beribadah sewajarnya saja. Shalat, puasa, tanpa menyelipkan mitos pada hal-hal selain kaitannya dengan agama. Apalagi mitos yang diadakan untuk sebuah kepentingan dengan membawa-bawa agama.”
“Bukan mitos, Dam. Keyakinan lokal itu bagian dari tradisi atau kebiasaan. Tradisi itu budaya. Budaya itu bagian dari negara. Dan negara bagian dari iman, betul, kan begitu?” ujar Wak Idhar tenang.
“Betul, tapi hal itu menimbulkan mudhorot, bukan? Dan sekarang bahkan kita bertengkar hanya karena tuduh menuduh soal pencurian bendera itu.” Kang Adam menarik nafas. Menekuri lantai kemudian menambahi, “Nabi mencintai arab, karena itu negaranya. Kita pun seharusnya mencintai Indonesia, dan salah satu bentuk mencintainya ialah menerapkan hakikat dasar negara, yakni, pancasila, dengan musyawarah, sikap terbuka, saling mufakat, lha, kita, ini, tidak saling terbuka! Terlebih soal bendera!”
Sejenak orang-orang di sana terdiam. sibuk dengan pikiran masing-masing sampai suara Pak Rt memecahkan diam mereka.
“Sebelumnya maaf, Dam. Kami tidak bermaksud apapun. Kami hanya bersikap hati-hati sekaligus awas terhadap sedikit saja gerakan mencurigakan. Mari kita selesaikan baik-baik dan secara kekeluargaan. Karena itu, kau, kami tahan dulu di sini. Biar kami yang pergi ke rumah Wak Bin kalau memang si Waridin putranya itu yang mencuri bendera.”
Selesainya berkata begitu, lagi-lagi kulihat kilat ganjil di mata Kang Adam kepada Pak Rt.
Aku tidak mengetahui kelanjutannya sebab Kang Idman menyuruh kami pulang. Katanya kami harus beristirahat untuk upacara dan mempersiapkan diri untuk lomba panjat pinang besok. Dan esoknya aku tahu bahwa masalah belumlah selesai. Bukannya selesai, malah semakin membingungkan.
Upacara 17 agustus.
Pagi itu, ibu-ibu, bapak-bapak juga anak-anak berkumpul di lapangan. Beragam pakaian mereka, ada yang berjilbab, ada yang memakai setelan yang diserasikan berwarna merah putih, ada yang memakai sarung, daster, baju seperti hendak pelesir, bahkan seperti hendak kondangan. Hanya para petugas dan anak-anak yang masih sekolah yang memakai seragam rapih. Termasuk aku, memakai seragam merah-putihku. Namun semuanya menekadkan satu tujuan yang sama, yakni khidmat kepada kemerdekaan negara.
Speaker memberitahu bahwa upacara akan segera dimulai. Semua orang terdiam. Suasana menjadi hening. Mencoba meresapi dan fokus pada upacara kemerdekaan. Namun upaya khidmat itu segera dipecahkan oleh sebuah teriakan.
“Teroris!”
BERSAMBUNG…