DI MANA HILANGNYA BENDERA USANG DESA KAMI?(Part 4)

Rupanya sulit melupakan kegagalan itu. Sebab aku dan keenam temanku masih merasa sedih akan kekacauan agenda tujuhbelasan. Kami semua murung selama dua hari itu. di sekolah kami tak berminat berbuat onar seperti biasanya. Bahkan Usman yang paling pintar di kelas pun tak seaktif biasanya. Hari-hari kami dijalani dengan tanpa gairah. Dari pagi sampai petang kami tak jauh-jauh berada di pos ronda atau lapangan desa mengenang semua kejadian yang sungguh ngeri di mata anak-anak kami. Kami memandang jauh hamparan sawah dan sejejeran kuburan di seberang jalan sana.

Soal bendera kami akhirnya menyerah. Kami tak mau ikut campur. Itu urusan orang dewasa. Kami juga tak mau mendengar desas-desus soal teroris, khilafah, musyrik, atau apa pun itu. Kami tak peduli.

“Pagi tadi sebelum berangkat sekolah kulihat Kang Adam balik ke rantau. Saat berpamitan dengan Emak dan Bapaknya wajahnya menampakkan kekecewaan mendalam.” Ujar Syafar menceritakan kabar tak mengenakan. Rumahnya dengan rumah Kang Adam memang tidak terlalu jauh. Kami semua berpandangan. Tak ada sepatah kata pun yang keluar. Wajah kami menampakkan kesedihan. Lalu serempak kami semua menunduk. Merasa ikut kecewa.

Sebenarnya sejak ditangkapnya Kang Adam aku tidak setuju saat dia dituduh bersalah. Sebab Kang Adam selalu berbicara soal keberagaman, toleransi, persaudaraan, serta saling menghargai sesama manusia. Entahlah dengan anggapan orang tentang Kang Adam.

Maghrib kami ke Masjid. Dan tidak seperti biasanya Kang Raghib mengajak kami berkumpul membuat lingkaran. Kami semua, dari anak-anak kelas 1 SD sampai 3 Smp, laki-laki maupun perempuan, mendengarkan wejangan dan cerita dari guru ngaji anak-anak desa itu. Ini merupakan pertama kalinya Kang Raghib mengajak kami bercerita.

            “Berpuluh tahun kita merdeka, tapi rupanya hanya secara lahiriyah, secara harfiyah kita masih dijajah oleh pikiran-pikiran yang membelenggu, yang menjerat, yang menjadikan kita budak nafsu,” ucapnya membuka percakapan itu.

“Maksudnya apa, Kang?” tanya Usman.

“Maksudnya, jangan hanya negara dan bangsa kita saja yang merdeka. Kita pun harus merdeka, semisal merdeka dari rasa malas, hawa nafsu, dan merdeka dari pikiran yang mengajak pada hal-hal yang tak patut. Contohnya, bolos ngaji, malas ngederes, mencuri, bahkan berpikiran untuk menyakiti orang lain, berkata kasar, jangan, ya?” jawabnya sambil memandang wajah-wajah kami.

“Terakhir, merdekalah secara pikiran juga.”

“Contohnya, Kang?” tanyaku.

“Contohnya, banyak. Tidak menyebut teman kita dengan sebutan binatang, padahal jelas-jelas dia berwujud manusia. Berkata kasar terhadap teman saja tidak boleh, apalagi sampai menyakiti, melukai, dan membahayakan. Kepada orang lain pun sama. Selain itu, maksud merdeka dari pikiran itu, ketika kita mencari ilmu atau berguru kepada seseorang, jangan langsung asal menyimpulkan. Tetapi kita lihat dan kaitkan dulu dengan manfaat-mudhorotnya, serta menyesuaikan dengan tempatnya.”

Aku tahu Kang Raghib mengajak bercerita lantaran ingin membuka dan menghidupkan pola pikir kami supaya jangan sampai seperti Bang Waridin. Sepertinya teman-temanku pun berpikiran sama denganku. Meski kami hanya seorang bocah, atas apa yang kami lihat dan kami alami, aku sedikit mengerti bahwa pemikiran kami lebih jauh dari anak desa kebanyakan. Bahwa apa yang menimpa Kang Adam adalah pelajaran agar tidak asal menghakimi orang bahkan sampai menuduhnya. Dan seperti yang pernah kukatakan, bahwa Kang Adam merupakan sosok yang justru amat berkebalikan dengan Bang Waridin. Kang Adam justru ingin mengajak warga desa berpikiran lebih maju namun tidak sampai mengesampingkan agama. Justru Kang Adam mengajak warga supaya menjadi muslim yang produktif dengan memulainya dari memerdekakan cara pandang dan saling terbuka antar sesama warga. Kang Adam bahkan mendekati anak-anak, yang kutahu dari ucapan warga bahwa itu adalah bagian dari dakwah.

“Adam menancapkan pemahaman sederhana kepada anak-anak dengan ikut bermain dan bergaul bersama mereka. Anak-anak jadi tujuan awal sebab memang pemikiran mereka harus dibuka dulu, seperti air keran, yang kelak ketika dibuka akan mengeluarkan air. Airnya itu adalah pola pikir terkait pentingnya memahami agama secara mendalam.” Yang berbicara itu adalah Mang Amrun. Aku mendengarnya dari teras Masjid saat tengah mengantri mengaji dan Mang Amrun bersama temannya berbincang di serambi masjid.

            Aku menangkap Mang Amrun menyesal telah menuduh Kang Adam. Aku yakin orang-orang yang menginterogasi Kang Adam malam itu pun menyesal. Warga desa tentunya akan terus mengingat kejadian itu dan menjadikannya topi utama di setiap obrolan selama beberapa bulan ke depan. Siapa pula yang tidak tertarik akan obrolan tentang seorang teroris yang ternyata berasal dari desa kami nan terpencil ini, anak sulung seorang marbot masjid pula.

            Di hari ketiga kemerdekaan kami masih belum bisa merdeka dari kesedihan itu. Hari itu entah kenapa kami ingin berlama-lama di dalam masjid setelah mengaji. Tidak bermain-main di halaman masjid seperti biasanya sembari menunggu adzan isya berkumandang. Kami lebih memilih tidur-tiduran di bawah kipas angin. Kami semua menikmati hembusan kipas angin itu. Tak ada yang bicara. Mata kami memandang langit-langit Masjid sembari tak sengaja mendengar bisik-bisik dari bapak-bapak yang nongkrong di serambi masjid. Berbincang tentang sesuatu yang jika diketahui orang banyak akan tak kalah menghebohkan; perihal bendera asli milik Ki Mujahidin pemberian Presiden yang hilang!

Kami berenam bangkit dari rebahan kami. Saling bertatapan. Saling sepakat dalam diam untuk mendengarkan cerita mereka dari dalam masjid. Lalu mulai menajamkan telinga kami.

Mulanya mereka bercengkerama soal kejadian penangkapan Bang Waridin yang tidak hanya geger di desa kami, melainkan sampai desa sebelah, sebelahnya lagi, dan sebelahnya lagi, dan sebelah-sebelahnya lagi. Lalu dari sana merembet pada kabar kehilangan bendera asli yang terasa begitu aneh.

            “Padahal sudah tertangkap. Tapi bendera asli malah hilang,” entah itu suara siapa, suaranya pelan sekali namun kami bisa mendengarnya.

            “Pak Kades baru menyadarinya tadi siang. Padahal dia yakin kalau baru mengeceknya pagi tadi dan masih ada. Katanya hilang saat warga ribut soal Waridin itu,” ucap bapak yang lain.

            “Memangnya di mana, sih bendea itu disimpannya?” tanya seseorang. Yang sepertinya si paling tidak tahu atas bendera itu.

            “Dikubur di bawah pohon beringin,” jawab seseorang dengan berbisik. Pelan sekali bisikan itu namun angin menghembuskan bisikan itu sehingga terdengar juga oleh kami.

            “Pohon beringin raksasa di balai desa itu? Yang katanya juga ditaman Ki Mujahidin? Hadiah dari seorang wali dari Kediri?” desak sebuah suara. Yang sepertinya ingin dibenarkan atas pengetahuannya.

            Memang desaku tak lepas dari bermacam-macam keyakinan. Ada beragam mitos yang aku yakini menjangkit warga desa, dan yang kutahu ini cuma sejentiknya aja.

“Siapa kira-kira yang mencuri bendera asli?” tanya seseorang. Terdengar misterius.

Seketika tak ada yang berbicara. Hanya deru napas dan hembusan rokok saja yang terdengar.

            “Bendera itu, konon memang sakti, bisa menjadi azimat seseorang untuk memenangkan pemilu.” Seseorang melanjutkan perbincangan. Sepertinya mulai mengarah pada sebuah kepentingan dengan memanfaatkan kekeramatan bendera pusaka peninggalan itu.

            “Pemilu 2024 nanti?”

            Hening.

            “Kata siapa lagi itu?”

            Tidak ada yang menjawab.

            “Pastinya memang banyak yang mengincar untuk dijadikan benda sakti supaya bisa terpilih saat pemilu nanti,” komentar seorang bapak.

            Tidak ada yang berbicara. Senyap cukup lama.

Sampai seseorang membuka suara namun topiknya keluar dari pembahasan awal, “Aku jadi teringat ucapan Adam. Tentang bendera peninggalan itu yang menimbulkan polemik,” kenangnya.

            “Jangan-jangan Adam memang tahu beberapa hal tentang pencurian bendera itu tapi dia diam saja,” ujar seseorang. Seperti baru menyadari sesuatu.

            “Sepertinya, Adam ini orangnya memang sudah kritis. Lantaran kritis itu dia bisa membaca situasi. Ya, memang Adam ini tidak bersalah sama sekali tapi dia dituduh macam-macam karena kemerdekaan dan keterbukaan pikirannya itu. Padahal, ucapannya itu banyak benarnya. Ucapannya dan cara pandangnya berkebalikan dengan si Waridin itu.” tanggap yang lain. Yang kebetulan ucapannya itu menjadi penutup obrolan sebab waktu isya telah tiba.

            Sepulangnya dari masjid, setelah menunaikan shalat isya aku dan keenam temanku mendapat kabar dari Mang Amrun bahwa kami diundang ke rumah Pak Rt.

“Datanglah sekarang,” perintah Mang Amrun. Katanya untuk mengambil sedikit hadiah atas jasa kami membantu memeriahkan agustusan. Padahal jelas-jelas acara itu berantakan total. Aku tahu itu hanya basa-basi. Beliau mungkin ingin menghibur kami atas kegagalan semua usaha kami yang  ingin meramaikan acara tujuh belasan dan kami yang ingin mengikuti lomba panjat pinang.

Kami pun sepakat datang. Sesampainya di sana kami disambut Bu Rt yang langsung menyuruh kami masuk ke ruang tamu. Ini pertama kalinya aku masuk ke rumah Pak Rt. Saat menginterogasi Kang Adam tempo hari kami hanya berkumpul di teras dan belum sempat masuk ke rumah orang nomor satu di desa kami itu.

baca juga :

DI MANA HILANGNYA BENDERA USANG DESA KAMI?(Part 3)

DI MANA HILANGNYA BENDERA USANG DESA KAMI? (Part 2)

Baru kali ini aku melihat bagian dalam rumah Pak Rt. Rumahnya luas. Ruang tamunya memanjang dan untuk ruangan lain terletak di bagian dalam melewati pintu berhias gorden yang terbuat dari rangkaian kerang. Kami dipersilakan duduk di kursi yang menurutku mewah itu. kursi itu empuk dan kami nyaman duduk di atasnya. Saat menikmati foto-foto di ruangan itu Pak Rt datang. Bu Rt menyusul di belakangnya membawa minuman dan jajanan.

Pak Rt duduk sementara Bu Rt menata jamuan itu. Pak Rt bertanya kabar dan sekolah kami. Lalu bercerita soal hadiah-hadiah yang masih teronggok di rumah bendahara desa.

“Karena eman, beberapa hadiah itu buat kalian saja,” ujarnya diiringi senyuman ramah. Sembari berharap ucapannya itu menyenangkan kami.

Inilah yang dimaksud hadiah itu, saudara. Barang-barang yang tadinya akan dipajang di kayu pinang dan barang-barang hadiah lomba kemerdekaan. Mendengarnya lami senang. Sekaligus merasa sedih.

Tepat setelah Pak Rt mengucapkan itu segerombolan orang datang. Aku tak tahu mereka siapa. Jumlahnya 6 orang. Pakaian mereka rapih. Ada yang memakai batik, ada pula yang memakai seragam dinas PNS. Yang memakai kemeja polos berkerah pun ada. Celana mereka licin dan membentuk lekukan bekas setrika. Jika semut main perosotan di sana aku yakin semut-semut itu pasti tidak dapat menikmati saking cepatnya mereka terjun ke bawah lantaran celana yang amat licin itu.

Pak Rt izin sebentar kepada kami hendak menemui tamu-tamu itu yang sudah dipersilakan Bu Rt untuk duduk di luar. Dia meminta agar kami menunggunya.

Saat Pak Rt keluar Bu Rt masuk ka dalam. Mungkin hendak membuat kopi dan mengambil jamuan untuk para tamu.

Kami menunggu. Tetapi duduk terlalu lama membuatku ingin ke kamar belakang. Aku bertanya pada Syafa bolehkah kalau aku ikut ke kamar kecil? Dia menjawab dengan tak meyakinkan namun memberiku saran, “Coba kau masuk barangkali berpapasan dengan Bu Rt, lalu tanyalah kamar mandi padanya.”

Aku pun masuk ke dalam ruangan itu yang kukira akan banyak pintu-pintu menuju kamar atau ruangan lain. Namun ternyata di dalam lebih luas lagi. Di sana adalah ruangan keluarga dengan lemari berisi buku-buku dan satu lemari berisi pajangan-pajangan. Ada televisi besar di meja kayu yang di depannya terhampar kasur lantai berbulu. Di sekelilingnya terdapat beberapa pintu kayu.  Aku melihat satu ruangan yang pintunya terbuka. Aku berpikir aku akan nekat saja untuk masuk ke sana sebab aku sudah tidak tahan.

Saat kubuka, rupanya bukan kamar mandi, melainkan sebuah ruangan lagi yang tidak dikunci. Sepertinya itu ruangan kerja Pak Rt. Aku masuk ke dalamnya dan kudapati tempat sembahyang minimalis. Di sampingnya terdapat pintu tertutup. Aku yakin itu kamar mandinya sebab bukankah kamar sembahyang umumnya dekat dengan kamar mandi?

Aku pun membukanya.

Dan ternyata aku salah lagi. Itu bukan kamar mandi. Melainkan sebuah kamar yang tidak terkunci. Kamar itu hanya berisi sebuah ranjang, satu lemari di depannya dan satu meja kecil di sampingnya. Tak ada apapun di atas meja itu dan tak ada apa-apa lagi selain ketiga benda itu. Sepertinya itu kamar kosong.

Tapi, saudara, tak segera kututup pintu kamar itu sebab mataku menangkap sebuah kotak kayu jati tua. Kotak kayu itu berada di atas ranjang di sudut paling pojok. Tertindih bantal-bantal yang menumpuk. Kotak itu tertutup, namun dari dalamnya menyembul kain lusuh dan usang. Warnanya sudah coklat. Jelek sekali. Tapi kain itu berwarna merah-putih. Sayangnya bagiku kain berwarna merah putih yang sepertinya bendera itu sudah tidak layak lagi jika masih disebut bendera kebangsaan.

            Entah kenapa saat melihatnya aku jadi teringat ucapan Bapakku yang berkata bahwa Pak Rt telah mencalonkan diri menjadi Camat Desa. Namun, saudaraku, aku sadar bahwa ingatan itu muncul tepat saat mataku terpaku pada sebuah bordiran nama seseorang di sudut bendera usang itu.

Meskipun bordiran yang indah itu sangat kecil dan benangnya sudah mencuat di sana-sini, aku masih bisa membacanya: Mujahidin, Bangkaloa.[]

TAMAT.

{{ reviewsTotal }} Review
{{ reviewsTotal }} Reviews
{{ options.labels.newReviewButton }}
{{ userData.canReview.message }}

Bagikan :

Artikel Lainnya

Muludan Bisa Menjadi Obat dari B...
Beberapa hari kemarin kita memasuki bulan yang sangat mulia, d...
Yang Pertamakali Tahu Tanda-tand...
Saya mendengarkan keterangan ini dari salah satu pengajian Gus...
Bullying itu Menyakitkan, Jangan...
Melihat banyaknya berita tentang bullying akhir-akhir ini, ras...
Peran Mahasiswa KKN Plus 2024 In...
Dalam upaya untuk mempererat ukhwah Islamiyah, Mahasiwa/i Kuli...
الحرمة خير من الطاعة
Di manapun dan dengan siapapun kita hidup pasti ada yang naman...
Perempuan dalam Sistem Pendidika...
Indonesia adalah negara dengan masyarakat yang agamis dan juga...

Hubungi kami di : +62851-5934-8922

Kirim email ke kamikebonjambu34@gmail.com

Download APP Kebon Jambu Coming Soon